Polemik dan Arus Kasus Korupsi Di Indonesia

PPI Dunia
PPI Dunia adalah wadah organisasi yang menaungi seluruh pelajar Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di luar negeri.
Konten dari Pengguna
7 Agustus 2022 7:47 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari PPI Dunia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pasca tertangkapnya Nur Afiqah Nurul Balqis yang masih berusia 24 tahun, tentu bukan berita baru terkait korupsi yang melibatkan generasi muda, hanya saja Nurul Balqis memecahkan rekor sebagai koruptor termuda. Kita tentu tidak mengharapkan rekor ini terpecahkan kembali dengan tertangkapnya the next koruptor yang mungkin berusia lebih muda daripada Nur Afiqah, ironi sekaligus menggelitik. Pemuda yang seharusnya lantang menyuarakan Indonesia sebagai negara yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme namun masih menjadi bagian dari lingkaran setan tersebut.
ADVERTISEMENT
Harapan Sukarno terhadap pemuda yang menguncang dunia tentu dalam artian positif, kini harus kita waspadai agar jangan sampai menguncang anggaran negara yang mereka contoh dari generasi-generasi sebelumnya. Oleh karena itu, menyambut Hari Anti Korupsi sedunia tentu KKN di kalangan generasi muda menjadi topik yang patut kita angkat, telaah, sekaligus antisipasi. Bagamanapun generasi inilah yang diharapkan membawa kejayaan bagi indonesia di usianya yang akan satu abad pada tahun 2045.
Tidak berlebihan kalau harapan ada pada golongan muda, bonus demografi Indonesia terjadi lebih cepat berbanding negara asia tenggara lainnya. Di mana berdasarkan sensus 2020, penduduk usia produktif kita sudah mencapai 70,72 persen. Oleh karena itu, di tahun 2045 nanti kita akan mengalami bonus demografi yang lebih besar berbanding negara-negara lain di kawasan asia tenggara.
ADVERTISEMENT
Namun dalam webinar yang saya ikuti di akhir Desember tahun lalu berjudul “Demografi di Era Pandemi: Proyeksi, Transisi, dan Bonus Demografi
”, Turro S. Wongkaren, Ph.D., Kepala LD FEB UI mengatakan jika bonus demografi bisa menjadi peluang sekaligus ancaman, jika tidak dibarengi dengan eksosistem yang multimendimensional. Tidak hanya mencakup kesehatan dan pendidikan, tetapi juga ekonomi, sosial, teknologi, pemerintahan, termasuk penguatan terhadap moralitas dan semangat kebangsaan yang anti terhadap KKN. Tentu kita tidak ingin jika Indonesia di usianya yang memasuki satu abad malah diisi oleh generasi-generasi pengerogot bukan penggerak.
Tiga Penyebab Generasi Muda Terjebak KKN
Sebelum kita beranjak pada solusi, kita harus mengetahui akar mengapa para generasi muda masih terjebak dalam budaya KKN. Selain karena pengaruh dari sebagian kecil golongan tua yang menormalkan segala aspek KKN, ada tiga faktor lain yang berperan dan jarang kita telaah.
ADVERTISEMENT
Yang pertama, terjebak dalam mata rantai kekerasan kebudayaan yang hanya meanggap kesuksesan, kehormatan, bahkan kepintaran terbatas pada material. Sehingga "Sikat Sana Sini" menjadi budaya demi bertahan, terutama di kalangan elit. Hanya saja kejahatan terbuka seperti kriminal, tak dimungkinkan karena alasan malu. Sehingga yang dinilai "Terhormat" adalah kejahatan ekstra (extra ordinary) seperti halnya korupsi. Sebab korupsi hanya mengurangi apa yang seharusnya dengan cara yang lebih canggih, dan kondisi ini yang terus-menerus dinormalisasi.
Yang Kedua, pendidikan yang terlepas dari paradigma hasil. Kalau kita cermati, sedari sekolah dasar kita selalu dipaksa berkompetisi. Segala cara dilakukan oleh orangtua ambisius agar anaknya menjadi peringkat pertama di kelas. Suap guru, gratifikasi, les privat, bimbingan belajar, dan sebagainya dilakukan demi ranking. Orientasinya hanya pada hasil. Orientasi pada hasil ini mengabaikan proses yang tertib, disiplin, juga bertahap. Akibatnya pragmatisme menjadi hal yg normal. Ranah pola pikir kita akhirnya terjebak pada pola mengajar yang induktif, bukan deduktif atau komparatif. Memang sekolah pada masa ini sebenarnya adalah pabrik, kondisi yang berterusan kemudian menjadi candu masyarakat.
ADVERTISEMENT
Karena berorientasi pada hasil maka narsisisme, hedonisme, egoisme menjadi kepercayaan dan prinsip. Segala yang abstrak berupa nilai etik, karakter, menjadi terlupa dan tidak penting untuk jadi acuan. Alih-alih cita-cita mulia membentuk manusia utuh itu tercapai--sebagaimana sudah dirumuskan negara dan para founding father, yang ada adalah manusia dengan mentalitas menerabas. Sikap senang menerabas ini yang membuat bergentayangan manusia-manusia rapuh yang nir-kemanusiaan.
Yang ketiga, ekosistem politik yang nir-kemanusiaan. Kalau kita percaya demokrasi itu bentuknya keterbukaan, materinya adalah keadilan, dan hasilnya adalah kemakmuran, maka mereka yang berada di ranah politik akan mengutamakan nilai bukan material yang berlebihan. Namun apalah daya, politik nyatanya hanyalah perbualan dan retorika kosong di tangan politisi tertentu, sehingga sampai saat ini keadilan dan kemakmuran hanya sekedar dimiliki oleh kaum satu persen.
ADVERTISEMENT
Melawan Yang Muda Malah Korupsi
Pemuda seharusnya mengubah yang usang dengan menolak yang ujub, namun pada praktiknya keterjebakan pada perilaku nir-kemanusiaan seperti KKN. Oleh karena itu solusi utama untuk menghadapi bukan semata-mata menerapkan pendidikan anti korupsi sebagai pencegahan, kecakapan lembaga anti riswah (Korupsi) sebagai pengawasan, dan penguatan produk hukum yang berkait dengan KKN sebagai penindakan tapi perlu diiringi dengan penguatan pada tataran nilai-nilai etika dan moral berbasis kebangsaan yang melampaui sekedar ritus-ritus formal khas birokratik karena generasi belia perlu ditempa menjadi generasi yang memiliki nilai kemanusiaan secara multidimensional.
Merombak eksosistem ekosospol yang usang nan dengan ekosistem berbasis pada perilaku bersih, jujur, dan amanah. Karena ketiga hal inilah yang akan melahirkan agen daya dukung (supporting agents) dalam pelaksanakan program-program pemerintah. Namun, Program Pencegahan Korupsi, baik yang membangun sistem serta yang meningkatkan level integritas manusia tetaplah bergantung pada pilihan bebas dari para individu itu sendiri untuk melakukan perbuatan korupsi atau tidak.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, pada level yang tidak bisa dijangkau oleh sistem pencegahan di level birokratis, kita perlu berperan aktif sebagai generasi belia yang masih menjunjung tinggi integritas, untuk menggugat belia lainnya, demi memberantas kolusi, korupsi, dan nepotisme. Memang butuh keberanian moral, ketajaman berpikir, dan sikap yang berani untuk melawan kemungkaran yang mungkin bisa menjadi bencana negara gemah ripah loh jinawi ini.
Penulis: Mansurni Abadi, anggota komisi perlindungan sosial dan budaya PPI Dunia periode 2021-2022.