Integritas dan Pergulatan Identitas

Birokrat Menulis
Sebuah komunitas yang bergerak melalui tulisan, untuk mendorong perubahan penyelenggaraan birokrasi agar lebih humanis dan bernilai bagi publik
Konten dari Pengguna
26 Maret 2019 8:52 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Birokrat Menulis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi foto: pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi foto: pixabay.com
ADVERTISEMENT
Selain loyal, profesional, dan inovatif, birokrat juga harus berintegritas. Begitulah gambaran singkat menjadi seorang birokrat sempurna masa kini. Bisa dikatakan, itulah identitas birokrat yang diramu (dikonstruksikan) oleh negara di era reformasi birokrasi sekarang ini.
ADVERTISEMENT
Dalam pemahaman yang ‘lurus-lurus’ saja, sepertinya semuanya ada dalam satu dimensi yang bisa dan wajib dilakukan sekaligus. Pemahaman lurus yang dimaksud adalah pemahaman dominan yang selama ini menganggap bahwa birokrasi adalah satu tubuh yang tunggal, yang dapat diseragamkan dengan cara-cara efisien.
Kontradiksi Identitas
Pada kenyataannya, birokrasi bukanlah tubuh yang tunggal karena terdiri dari banyak tubuh individu di dalamnya. Banyaknya individu tersebut mengisyaratkan bahwa masyarakat birokrasi selalu memiliki relasi sosial dalam kehidupan kesehariannya di organisasi, yang kemudian selalu berhubungan dengan budaya yang melingkupinya.
Dalam konteks ini, seperti yang dikatakan oleh John Storey, seorang pakar kajian budaya (culture studies), bahwa identitas menjadi sesuatu yang tidak tetap (dapat berubah dan bertambah) dan juga tidak pernah tuntas (pemaknaan dapat bergeser). Bahkan, identitas seringkali saling berkontradiksi atau juga melebur satu sama lain. Begitu juga dengan identitas birokrat yang tertera di atas.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh sekaligus bukti bahwa identitas tidak pernah tetap, tidak tuntas, dan berkontradiksi, adalah adanya slogan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berbunyi, “Berani Jujur, Hebat!”.
Apabila kita cermati lebih lanjut, slogan tersebut mengisyaratkan bahwa sikap jujur sebagai salah satu ornamen penting integritas seseorang tidaklah mudah dipraktikkan. Perlu keberanian bagi seseorang untuk bersikap jujur dalam rangka mempraktikkan integritasnya.
Pertanyaan berikutnya adalah, “Takut apa dan takut siapa?”.
Seperti yang kita duga, ketakutan terbesar justru berasal dari lingkungan sekitarnya, terutama internal birokrasi sendiri. Lingkungan birokrasi, yaitu relasi antara teman sejawat ataupun atasannya, seringkali membuat seseorang merasa tidak aman (insecure) karena adanya tekanan ataupun ancaman apabila seseorang tersebut ingin bersikap jujur.
ADVERTISEMENT
Tekanan dan ancaman itu pun bervariasi, mulai dari yang bersifat psikis yakni dikucilkan dari pergaulan, sampai kepada pengucilan tubuh yakni pemindahan tempat bertugas. Bahkan, beberapa birokrat yang terlalu takut dan putus asa dengan ketidakleluasaannya untuk berintegritas, terpaksa undur diri dari lingkungan birokrasi.
Masyarakat birokrasi yang ingin dibuat sama dan seragam, ternyata menemui kontradiksinya dengan adanya gejala ketakutan dalam relasi internal tadi.
Kultur Dominan
Ilustrasi rekan kerja Foto: Shutterstock
Pertanyaan pentingnya justru, “Mengapa muncul rasa takut?”. Jawaban atas pertanyaan ini memerlukan investigasi lebih mendalam, terutama dalam hal budaya (kultur) yang melingkupi birokrasi.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Alm. Agus Dwiyanto, guru besar UGM yang juga pernah menjabat sebagai Kepala Lembaga Administrasi Negara, bahwa kultur dominan dalam birokrasi kita adalah kultur paternalistik. Kultur yang berasal dari zaman feodal dan disuburkan oleh kolonial, sampai saat ini masih lekat dan sulit dihilangkan dari tubuh birokrasi.
ADVERTISEMENT
Kultur paternalistik menunjuk pada hubungan antara patron, dalam birokrasi biasanya adalah atasan/pimpinan, dengan client, yang biasanya adalah para staf/bawahan. Pihak atasan ditempatkan lebih dominan daripada bawahan, lebih kepada hubungan superior-inferior, powefull-powerless.
Adapun sistem hierarkis sebagai salah satu bentuk rasionalitas Weberian, meneguhkan kultur tersebut, yang pada akhirnya melahirkan ketergantungan bawahan terhadap atasan. Dengan demikian, perilaku birokrat yang ingin mempraktikkan integritasnya, seringkali tidak didukung secara kultural oleh lingkungan.
Dalam situasi demikian, muncul kontradiksi antara identitas birokrat loyal dengan identitas birokrat berintegritas. Kewajiban untuk loyal yang melahirkan ketergantungan tadi bukanlah situasi yang mudah bagi birokrat dalam membangun integritasnya.
Meskipun demikian, telah berulangkali disampaikan, dan juga dinyatakan dalam UU ASN, bahwa loyalitas yang dimaksud bukanlah loyalitas buta, artinya loyal terhadap atasan dan organisasi dilakukan sepanjang atasan tersebut tidak melanggar aturan dan ketentuan perundangan.
ADVERTISEMENT
Namun, sebetulnya kalimat tersebut hanyalah kalimat normatif yang mengesampingkan dimensi kultur dan sekaligus mereduksi makna integritas itu sendiri.
Karena pada dasarnya, integritas bukan hanya masalah kejujuran dalam hal tidak melanggar aturan ataupun hukum. Namun, lebih dari itu, integritas sebenarnya bermakna lebih luas, yakni tindakan etis seseorang dalam mengemban tanggung jawabnya. Sementara, aturan dan hukum tidak mampu mencakup semua tindakan etis dalam relasi sosial.
Lalu Bagaimana?
Ilustrasi diskusi dalam pekerjaan Foto: Dok.Pixabay
Dalam permasalahan ini, jalan keluar tidak cukup hanya menuntut birokrat untuk lebih berani bertindak jujur dan bersuara. Tidak cukup hanya dengan memberikan reward bagi pemberani dan punishment bagi yang menghalangi seseorang untuk bertindak jujur. Tidak cukup hanya dengan membuat kebijakan dan ketentuan yang mengatur whistleblower system. Bahkan, tidak cukup juga dengan mengupayakan ketiganya sekaligus.
ADVERTISEMENT
Namun, yang lebih penting dan mendesak adalah perlunya melonggarkan suasana hubungan patron-client dalam budaya paternalistik yang selama ini sudah mapan di birokrasi. Hal itu dapat dilakukan dengan cara membangun komunikasi secara lebih dialektis (timbal balik) antara patron dan client dalam suasana yang lebih cair, hingga jarak superioritas-inferioritas semakin mengecil.
Selain itu, jalan keluar tersebut juga tidak perlu menunggu niatan, arahan, apalagi keteladanan pimpinan.
Karena sebetulnya, jalan keluar bisa juga datang dari bawah, yakni para birokrat yang selama ini menjadi pihak inferior di birokrasi. Hal itu bisa dilakukan dengan cara merefleksikan kembali kultur paternalistik dan bersama-sama membangun komunikasi sejajar di antara teman sejawat untuk memupuk keberanian kolektif dalam melawan segala sesuatu yang bertentangan dengan prinsip integritas di lingkungan sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Epilog
Integritas bagi birokrat bukanlah sebuah identitas yang tetap dan sudah tuntas, karena seringkali bergulat dengan identitas lain yang juga ingin dibangun oleh negara. Uraian di atas adalah salah satu contoh bahwa integritas bergulat dengan identitas birokrat loyal.
Selain itu, integritas sebagai salah satu identitas birokrat seringkali mengalami pergeseran makna tergantung konteks pemahaman yang berkelindan dengan kepentingan.
Uraian di atas hanya menunjukkan upaya pemahaman integritas di dunia pengawasan, yang dominan berbicara tentang pencegahan tindakan tidak benar yang dapat mengarah pada tindakan koruptif.
Jika kita melihat dari sisi yang lain, misalnya sisi kinerja pelayanan kepada masyarakat, maka makna integritas dapat bergeser. Selain itu, integritas akan bergulat dengan identitas lain, semisal profesional, produktif, ataupun inovatif.
ADVERTISEMENT
Selamat berjuang, integritas!
Ditulis oleh: M. Rizal (professional writer di birokratmenulis.org)
---
Anda dapat membaca artikel menarik lainnya di birokratmenulis.org.