Masyarakat Taat Beragama adalah Masyarakat yang Suka Korupsi?

Birokrat Menulis
Sebuah komunitas yang bergerak melalui tulisan, untuk mendorong perubahan penyelenggaraan birokrasi agar lebih humanis dan bernilai bagi publik
Konten dari Pengguna
6 Agustus 2018 12:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Birokrat Menulis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Masyarakat Taat Beragama adalah Masyarakat yang Suka Korupsi?
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Foto Ilustrasi: pixabay.com
----
Ditulis oleh: Muhammad Rizki (associate writer pada birokratmenulis.org)
ADVERTISEMENT
---
Mungkinkah negara yang paling beragama justru menjadi negara yang paling korup? Rasanya mustahil. Namun, jika kita menyandingkan dua macam survei yang dilakukan oleh Transparency International dan Telegraph, keduanya menghasilkan temuan yang mencengangkan.
Survei yang dilakukan oleh Transparency International adalah survei mengenai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di berbagai negara. Sedangkan survei yang dilakukan oleh sebuah surat kabar ternama di Inggris, Telegraph, adalah survei tentang the world's most (and least) religious countries.
Perbandingan Negara pada Dua Hasil Survei
Sebagai gambaran, di tahun 2017, Yaman dan Somalia merupakan dua negara yang paling religius, yaitu 99% lebih penduduknya menganggap agama penting dalam kehidupannya. Namun, Indeks Persepsi Korupsi mereka tergolong sangat rendah. Yaman menduduki peringkat 175 dengan score sebesar 16. Sementara Somalia berada pada peringkat terbawah, yaitu 180 dengan score 9.
ADVERTISEMENT
Indonesia yang 82% penduduknya menganggap agama itu penting, IPK berada di angka 96 dengan perolehan skor sebesar 37.
Bagaimana dengan negara-negara yang memiliki IPK tinggi? Ternyata Norwegia yang menduduki posisi 3 dengan score 85, penduduknya tidak menganggap agama penting dalam kehidupan. Hanya 21% penduduknya yang mengatakan agama berperan penting.
Begitu pula dengan Swedia, tingkat penduduknya yang mengatakan agama berperan penting dalam kehidupan hanya 19%, tetapi peringkat IPK berada pada angka 6 dengan score 84.
Tentu saja kita perlu lebih teliti dalam melihat kedua macam survei tersebut. Selain survei tersebut adalah survei yang terpisah dan memiliki tujuan yang berbeda, tidak dapat pula kita serta merta mengaitkan keduanya sebagai suatu hal yang selalu berhubungan dan memiliki relasi sebab akibat. Bukan berarti negara yang paling korup adalah negara yang paling beragama, bukan pula berarti agama membuat negara menjadi korup.
ADVERTISEMENT
Berbagai faktor selalu ada mengelilingi keduanya, dan tidak dapat kita generalisasikan. Sebagai bukti, Singapura yang memiliki angka IPK 84 dan berada di urutan ke 6, religiusitasnya cukup tinggi yaitu 70%.
Namun demikian, selalu menarik memperbincangkan keduanya, yaitu agama dan korupsi, dalam rangka memahami keterkaitan keduanya dan berusaha menekan korupsi dengan jalan agama.
Berbagai pertanyaan seringkali hinggap di benak saya, mulai dari “Bagaimana masyarakat Indonesia menginternalisasikan ajaran agamanya?, sampai kepada “Lupakah para koruptor itu bahwa merekapun beragama?”
Beragama Hanya Sebatas Ritual?
Saya pun yakin bahwa setiap agama pasti mengajarkan kebaikan. Tidak ada agama yang mengajarkan umatnya untuk berbuat curang, menyakiti atau mengambil hak orang lain. Yang saya lihat adalah adanya kesalahan dari kebanyakan masyakarat kita dalam memahami ketaatan beragama.
ADVERTISEMENT
Taat beragama masih dipahami sebagai ketaatan melakukan ritual ibadah pokok (mahdhah) semata yang disertai dengan penampilan religius. Padahal taat beragama seharusnya berisi ketaatan terhadap sang pencipta melalui perilaku dan tutur kata yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari kepada sesama manusia.
Ketaatan itu adalah menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang merugikan orang lain, seperti menyakiti orang, mencuri atau merampas hak orang, dan berbagai tingkah laku yang secara jelas tersurat dalam kitab-kita suci.
Metode pengajaran agama yang menekankan pada aspek ritual yang bersifat personal juga harus diikuti dengan aspek perilaku yang bersifat sosial. Peningkatan penghanyatan makna ajaran agama dalam alam bawah sadar kita sangatlah penting untuk memunculkan kesadaran dalam berperilaku.
ADVERTISEMENT
Transformasi pemahaman menjadi tindakan harus melalui suatu proses yang panjang. Pengajaran agama ini harus dilakukan sejak kecil.
Peran guru seperti guru agama di sekolah, ustadz, pendeta atau pastur sangatlah penting untuk membentuk karakter orang melalui pesan-pesan keagamaan yang mengaitkan aspek ritual dan aspek perilaku.
Orang tua dan semua pihak juga berperan dalam mengajarkan agama baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kehidupan sehari-hari. Jika ada orang yang sudah tercerahkan secara agama, dalam arti mampu menyeimbangkan aspek ritual dan aspek perilaku dalam agama, maka dia adalah yang dibutuhkan saat ini.
Koruptor Tidak Takut Dosa?
Korupsi bisa saja dilakukan oleh siapapun dan dalam situasi apapun, tidak terkecuali praktik korupsi yang dilakukan terkait dengan urusan keagamaan.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, korupsi yang terjadi pada pekerjaan konstruksi pembuatan patung Yesus senilai Rp 6,2 miliar yang bersumber dari APBD Tapanuli Utara. Tindakan yang terjadi di tahun 2013 tersebut menjerat SMP selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan MAS selaku pelaksana kegiatan (rekanan).
Begitupun mantan menteri agama, SA, terbukti terlibat dalam perkara korupsi haji terkait penunjukan Petugas Penyelenggara lbadah Haji (PPIH), penggunaan sisa kuota haji nasional, proses pendaftaran haji, penyediaan perumahan haji, pengelolaan Biaya Penyelenggaraan lbadah Haji (BPlH), dan pengelolaan DOM tahun 2011-2013.
Siapa yang tidak tahu kalau agama melarang kita untuk berbuat curang, menyakiti atau mengambil hak orang lain? Begitu banyak ayat-ayat yang membahas tentang korupsi antara lain dalam surat Al-Imran ayat 161, Al-Baqarah ayat 188, Al-Anfal Ayat 27, dan Al-Muminun Ayat 8.
ADVERTISEMENT
Dalam hukum agama, ketentuan mengenai larangan korupsi sangat tegas berlandaskan dalil-dalil yang kuat, sama tegas dan kuatnya dengan larangan-larangan agama lainnya, seperti larangan berzina, larangan memakan riba, dan larangan meminum khamr.
Namun, larangan-larangan yang disebut terakhir relatif lebih dipatuhi daripada larangan korupsi. Seolah korupsi tidak sama dosanya seperti larangan yang lain.
Pemahaman keagamaan yang membahas tentang dosa dari korupsi sepertinya harus sering disampaikan pada setiap acara keagamaan seperti pada ceramah sholat jumat atau acara hari besar keagamaan demi meningkatkan kesadaran akan dosa tersebut.
Amal Baik Menghapus Dosa Korupsi?
Sepengamatan saya, modus seorang koruptor untuk mengesankan bahwa tindak korupsi dapat ditoleransi dari segi agama adalah kesukaan mereka membagi-bagikan sedekah.
ADVERTISEMENT
Seringkali kita lihat, mereka yang tertangkap adalah orang yang juga sering memberi sedekah mulai kepada kerabat, tetangga sekitar, rumah yatim dan panti-panti asuhan, serta kaum dhuafa, hingga ke mushalla atau masjid.
Bagi masyarakat awam, tindakan kedermawanan tentu saja suatu kebajikan yang menurut perspektif agama pelakunya patut mendapatkan pahala. Logika masyarakat awam sangat sederhana, mereka tidak mau tahu dari mana uang yang dibagi-bagikan asalkan pembagian tersebut dapat mendatangkan rezeki bagi mereka.
Tidak mengherankan bila kemudian sering terjadi anomali, masyarakat awam menganggap para koruptor dermawan ini sebagai pahlawan.
Uang hasil korupsi pada dasarnya merupakan harta yang diperoleh dengan cara yang tidak halal. Oleh karena itu hukumnya sama dengan harta-harta haram lainnya.
ADVERTISEMENT
Dalam agama Islam, terdapat sabda Rasulullah:
“Tidaklah diterima shalat tanpa bersuci, tidak pula sedekah dari ghulul (harta haram)” (HR. Muslim no. 224).
Pemegang harta haram, jika ia mengeluarkan sedekah atau zakat atas harta tersebut maka amal sedekah atau zakatnya tidak sah dan tidak akan diterima apalagi menghapus dosa korupsinya.
Epilog
Sebagai penutup, kita perlu membangun kesadaran banyak pihak untuk mendalami hubungan ketaatan beragama dan praktik korupsi. Hal ini bukan berarti kita antipati terhadap ketaatan beragama, tetapi kita ingin lebih memahami kembali latar belakang pelaku korupsi yang juga terlihat taat beragama, agar justru kita dapat meminimalkan korupsi dengan menggunakan pendekatan agama.
---
Tulisan menarik lainnya dapat Anda baca di laman birokratmenulis.org
ADVERTISEMENT