Pengemis Musiman dan Bangkitnya Anomie di Tengah Pandemi

Konten dari Pengguna
23 Juni 2020 12:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bonna Nur Ischaq Darmadji tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dok: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Dok: Pixabay
ADVERTISEMENT
Pekerjaan yang layak merupakan hal yang sangat diimpikan oleh semua orang. Akan tetapi akhir-akhir ini banyak sekali saudara kita yang kehilangan pekerjaannya dikarenakan pandemi COVID-19. Hal ini sangat luar biasa dampaknya bagi roda perekonomian Indonesia, sebab hilangnya pekerjaan berarti juga menurunnya daya konsumsi.
ADVERTISEMENT
Kita dipaksa memutar otak, bahkan jungkir balik menghadapi pandemi ini. Rasanya sangat berat sekali mengeluarkan uang untuk membeli sesuatu yang tidak penting. Kita dipaksa berhemat untuk membeli seperlunya, dan bahkan ada sebagian dari kita yang sampai menggadai harta benda hanya untuk bisa makan.
Sayangnya krisis ekonomi ini juga disusul dengan krisis mental. Sehingga mulai bermunculan pengemis musiman di tengah krisis ini. Saat ditanya alasan mengapa meminta-minta, jawaban mereka hanya berputar pada keputusasaan dalam memenuhi kebutuhan hidup di tengah pandemi dan kebingungan mereka yang tidak tahu harus kerja apa lagi. Mereka adalah orang-orang yang kebingungan dan gelagapan dalam menyikapi pandemi.
Di sinilah saya akan meminjam pemikiran Emile Durkheim tentang Anomie. Istilah anomie pertama kali diperkenalkan oleh Durkheim lewat disertasinya yang berjudul De la division du travail social. Anomie muncul dari ketidakcocokan antara standar norma yang dibentuk pemerintah dengan nilai yang ada di masyarakat. Antara yang membuat kebijakan dan melaksanakannya sama-sama tidak menemukan ketidakcocokan, baik itu secara nilai dan norma yang seharusnya menjadi sebuah konsensus. Sehingga hasil di lapangan terlihat berbeda, norma yang dibentuk pemerintah tidak berfungsi dan tidak dapat mengikat pelaksanaan nilai sebagaimana mestinya.
ADVERTISEMENT
Seperti pada Pasal 504 KUHP, yang mengatur larangan mengemis. Bahkan dalam Pasal 40 Perda DKI 8/2007 juga menerangkan bahwa orang yang memberikan uang kepada pengemis diancam dengan hukuman pidana. Akan tetapi peraturan tersebut hanya dianggap sebagai angin lalu. Situasi pandemi ini menyebabkan masyarakat memaklumi tindakan mengemis, dan seperti tidak dapat menilai bahwa tindakan mengemis tersebut benar atau salah. Sehingga keadaan ini menyebabkan pelanggaran aturan dan terjadilah anomie.
Ketidakcocokan standar karena tidak adanya aturan yang diakui bersama inilah yang membuat kekacauan standar norma di masyarakat itu sendiri. Ternyata pandemi ini tidak hanya memukul telak ranah kesehatan dan ekonomi tapi juga aspek sosial-hukum yang ada di dalam masyarakat kita.
Dengan demikian perlu kita perhatikan bahwa keputusasaan publik dan munculnya pengemis musiman baru akan terus bergejolak apabila tidak segera diatasi. Landasan hukum yang dibuat juga harus sesuai dengan nilai yang berlaku di masyarakat saat pandemi ini. Lalu dipertegas dan disosialisasikan secara gamblang dengan pemahaman bahwa pengemis musiman adalah masalah dan tanggung jawab bersama.
ADVERTISEMENT