Skizofrenia: Sebuah Tinjauan Kritis Antara Penyakit dan Miskonsepsi

Baltasar Yosef Mnaku Gawen
Mahasiswa S1 Teknik Biomedis, Institut Teknologi Telkom Purwokerto.
Konten dari Pengguna
28 November 2023 15:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Baltasar Yosef Mnaku Gawen tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Skizofrenia ( Sumber Foto : www.istockphoto.com )
zoom-in-whitePerbesar
Skizofrenia ( Sumber Foto : www.istockphoto.com )
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Salah satu permasalahan krusial yang dihadapi dunia saat ini adalah penyakit kejiwaaan. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2022, terdapat 23 juta orang yang menderita penyakit kejiwaan, yakni skizofrenia atau psikosis. Namun, dari jumlah tersebut, hanya 31,3 persen yang mendapat layanan spesialis jiwa.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, data Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mencatat bahwa 9,8 persen penduduk berusia lebih dari 15 tahun atau lebih dari 20 juta orang terkena gangguan mental emosional. Selain itu, sebanyak 6,1 persen atau sekitar 12 juta orang mengalami depresidan dan 450.000 lainnya menderita skizofrenia/psikosis yang merupakan gangguan jiwa berat.
Skizofrenia merupakan sebuah gangguan otak yang memengaruhi cara seseorang berpikir, merasa, dan berperilaku, yang berujung pada suatu kondisi di mana individu tersebut, kehilangan kontak dengan realitas. Kondisi ini dapat muncul dalam bentuk delusi, halusinasi, dan perubahan perilaku yang drastis.
Skizofrenia sebagai suatu gangguan mental kompleks, sering kali disalahpahami oleh masyarakat umum. Meskipun telah banyak penelitian yang dilakukan untuk memahami esensi dan karakteristik skizofrenia, miskonsepsi tetap menjadi kendala dalam menyikapi kondisi ini. Pertama-tama, penting untuk memahami bahwa skizofrenia bukanlah sekadar "pembelahan kepribadian," seperti banyak yang salah dipahami. Skizofrenia adalah gangguan otak serius yang mempengaruhi persepsi, pikiran, dan emosi seseorang.
ADVERTISEMENT
Seiring dengan berkembangnya pengetahuan medis, pengklasifikasian subtipikal skizofrenia menjadi paranoid, hebefrenik, katatonik, dan undiferensiasi telah memberikan kerangka kerja yang lebih terinci untuk memahami spektrum gejala yang mungkin dialami penderita. Namun, masyarakat masih sering kali tertinggal dalam hal ini, dengan cenderung mengasosiasikan skizofrenia dengan kekerasan atau ketidakmampuan sosial tanpa memahami bahwa penderita skizofrenia dapat memiliki kehidupan sosial yang produktif dan bermakna.
Miskonsepsi lain yang perlu ditegaskan adalah bahwa skizofrenia bukan hanya "gangguan ganda kepribadian" atau efek dari pengalaman traumatis semata. Terdapat faktor genetik yang kuat dalam perkembangan skizofrenia. Dalam penelitian terbaru menunjukkan bahwa adanya keterlibatan kerusakan struktural dalam otak. Hal tersebut menunjukkan bahwa pandangan sepele terhadap akar penyebab skizofrenia tidak dapat menggambarkan kompleksitas sebenarnya dari gangguan ini.
ADVERTISEMENT
Penting untuk diingat bahwa skizofrenia bukanlah hasil dari kelemahan karakter atau kegagalan pribadi. Faktor genetik, lingkungan, dan ketidakseimbangan kimia otak dapat berkontribusi pada perkembangan penyakit ini. Oleh karena itu, pandangan masyarakat terhadap skizofrenia perlu disesuaikan agar dapat memberikan dukungan yang tepat kepada individu yang mengalaminya.
ilustrasi kepribadian ganda ( sumber: shutterstock )
Selain itu, stigmatisasi terhadap skizofrenia dapat menjadi penghalang dalam upaya pencegahan dan penanganan. Penderita skizofrenia sering menghadapi diskriminasi sosial yang dapat memperburuk kondisi mereka. Oleh karena itu, masyarakat perlu lebih terbuka terhadap informasi yang benar dan terkini mengenai skizofrenia, sehingga dapat membantu mengurangi stigma dan memberikan dukungan yang diperlukan kepada individu yang menderita.
Dalam rangka menciptakan lingkungan yang inklusif, perlu adanya pendekatan holistik yang melibatkan keluarga, masyarakat, dan tenaga kesehatan mental. Dukungan sosial dan edukasi adalah kunci untuk meningkatkan pemahaman kolektif kita terhadap skizofrenia. Hanya dengan menghadapi miskonsepsi-miskonsepsi ini secara kritis, kita dapat membangun masyarakat yang lebih empatik dan inklusif bagi mereka yang hidup dengan skizofrenia.
ADVERTISEMENT