Wartawan, Mimpi yang (Hampir) Jadi Kenyataan

Brian Hikari Janna
Bukan wartawan bodrex.
Konten dari Pengguna
10 November 2018 11:17 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Brian Hikari Janna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Wartawan, Mimpi yang (Hampir) Jadi Kenyataan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Sejak dulu aku cuma punya satu impian: Jadi wartawan. Berawal dari iseng nimbrungin Bapak nonton berita, hingga sekarang jadi salah satu pewarta.
ADVERTISEMENT
Tepatnya enam tahun lalu, saat aku memantapkan niat untuk mengejar mimpi jadi wartawan internasional. “Bismillah,” kata diriku waktu itu, sambil menempel ‘poster impian’ ke dinding kamar.
Kutatap baik-baik poster itu dengan penuh ambisi. Kupenuhi diriku dengan rasa percaya diri. Cowok berumur 16 tahun itu akhirnya menemukan jati diri.
Sejak hari itu, aku terus menempa diri. Baca koran, majalah, nonton berita, hingga latihan memotret jadi makanan sehari-hari.
Bermodal kamera digital milik Bapak dan buku catatan kecil, aku mulai berusaha menjiwai profesi wartawan. Dua benda itu hampir tak pernah luput dari daftar barang bawaanku, bahkan saat di sekolah.
“Ngapain sih Bray bawa kamera setiap hari?” kata seorang temanku di sekolah.
ADVERTISEMENT
“Enggak apa-apa, iseng aja, hehehe,” balasku singkat. Bingung harus jawab apa. Aku malu, dan takut. Saat sekolah dulu aku acap kali di-bully. Daripada jadi olokan, lebih baik aku diam. Mereka boleh menertawai diriku, tapi jangan mimpiku.
Selang 1,5 tahun, aku berada di penghujung masa SMK. Kesempatan yang ditunggu pun datang. Ada lowongan beasiswa, dan ada program jurnalistiknya.
Usai melalui seleksi superketat, aku diterima. Bukan main, senangnya tak terkira. Adik kecilku yang mendampingiku melihat pengumuman pun langsung kupeluk, dan kami lompat-lompat kegirangan.
Lalu kuhampiri Bapak. Pria yang tengah mengidap kanker itu pun tak mampu menahan haru. Ibu pun demikian, lewat telepon, dia terdengar sangat gembira.
Selang beberapa bulan, masa kuliahku pun dimulai. Masa yang mungkin paling indah dalam hidupku. Mulai dari liputan investigasi pertama hingga bertemu belahan jiwa, semua kualami saat kuliah.
ADVERTISEMENT
Tak perlu lama-lama, 3 tahun aku lulus, Alhamdulillah dengan predikat Cum Laude.
Setelah lulus pun, puji Tuhan aku langsung dapat kerja. Di mana? Di kumparan. November ini sudah genap setahun aku berbakti kepada masyarakat, lewat kumparan.
Pengabdianku pun kini didukung oleh sertifikasi dewan pers usai lulus uji kompetensi. Kalau dulu cuma mimpi, sekarang aku wartawan sungguhan.
Yah, walaupun belum go international, tapi setidaknya, tiap hari aku selangkah lebih dekat menuju cita-cita.
Ah.. kalau menengok ke belakang mau menangis rasanya. Bukan karena sedih, tapi karena profesi yang kutekuni, adalah buah kerja keras bertahun-tahun melawan segala keniscayaan.
Bapak, aku harap Bapak bangga di atas sana. Pesanmu di akhir hayat akan selalu kuingat. Semoga di surga nanti, kita bisa nonton berita bareng seperti dulu. Yah itu pun kalau di surga ada wartawannya. Hahahaha.
ADVERTISEMENT