Angkot Jatinangor

BriiStory
Jangan baca sendirian..
Konten dari Pengguna
19 Januari 2021 17:37 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari BriiStory tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi pixabay.com
ADVERTISEMENT
Perjalanan malam seringkali membuahkan kisah seram.
Seperti yang pernah dialami oleh salah satu teman kita Rizky, ketika dia menggunakan angkot untuk kembali ke tempat kost-nya di Jatinangor pada suatu tengah malam.
ADVERTISEMENT
Simak kisahnya di sini, di Briistory.
***
Aku Rizky, Mahasiswa angkatan 2005 salah satu kampus di Jatinangor, Jawa Barat.
Yang akan aku ceritakan kali ini adalah peristiwa yang aku alami sendiri pada tahun 2006.
Begini ceritanya..
Seperti mahasiswa lain yang berasal dari luar daerah di mana letak kampus berada, aku yang berasal dari Sukabumi harus ngekost juga.
Tempat kostku gak teralu jauh dari kampus, masih bisa dijangkau dengan jalan kaki untuk pulang pergi kuliah.
Dan, sama juga dengan sebagian besar anak kost lainnya, aku juga mengandalkan transportasi umum kalau harus ke tujuan agak jauh, salah satunya angkot.
Ngomong-ngomong soal angkot, boleh dibilang aku sangat jarang menggunakannya, karena tempat kost berada di tengah-tengah, jadi kalau mau ke mana-mana masih bisa dijangkau dengan berjalan kaki.
ADVERTISEMENT
Kalau mau ke tempat tujuan jauh naik apa dong?.
Nah, kalau melihat letak di mana Jatinangor berada, yaitu di antara kota Bandung dan Sumedang, aku dan teman-teman, kalau memang ingin bepergian cari hiburan ke kota besar akan lebih memilih ke Bandung.
Untuk menuju Bandung kami akan menggunakan bis Damri sebagai alat transportasi, karena kalau naik angkot entah kapan akan sampai, abadi macetnya.
Ya begitu, aku jarang naik angkot kalau gak terpaksa.
Lima belas tahun yang lalu, Jatinangor masih terbilang sepi, belum seramai sekarang, angkot masih belum banyak jumlahnya. Angkot juga masih sedikit penumpangnya, jarang sekali aku melihat angkot yang penuh penumpang.
Kenapa aku sampai memperhatikan penumpang angkot waktu itu? Ada alasannya.
ADVERTISEMENT
Jadi gini, pada semester awal aku kuliah, sempat beredar cerita seram mengenai angkot.
Yaaah.., namanya cerita seram, pasti akan cepat menyebar di kalangan mahasiswa dan masyarakat sekitar.
Waktu itu beredar cerita yang katanya di sekitaran Jatinangor ada angkot setan.
Angkot setan? Iya, angkot setan.
Cerita yang berawal dari (katanya) ada mahasiswi yang ditemukan pingsan di pinggir jalan pada malam hari, usut punya usut, sebelum pingsan dia naik angkot dari arah Cileunyi mau menuju Jatinangor,
ternyata angkot yang dia tumpangi berisi hantu atau setan atau jurig atau apalah sebutannya, lalu mahasiswi ini ketakutan setengah mati sampai akhirnya jatuh pingsan.
Aku sih percaya gak percaya dengan cerita itu, tapi tetap seru aja kalau ada teman yang menceritakannya lagi, hitung-hitung hiburan.
ADVERTISEMENT
Tapi, sikap skeptisku itu berkesudahan ketika akhirnya aku mengalami sendiri kejadian seram di dalam angkot, kejadian yang masih aku ingat detailnya sampai hari ini.
Angkot setan di Jatinangor.
***
Waktu itu awal tahun 2006, aku pulang mudik ke Sukabumi karena memang ada libur panjang, cukup lama aku di rumah sebelum akhirnya harus kembali lagi ke kampus Jatinangor.
Mungkin sama dengan mahasiswa lain, ketika awal-awal kuliah aku masih sangat merindukan rumah, jadi sangat betah kalau sudah pulang kampung, berat rasanya untuk kembali ke kampus lagi.
Waktu itu juga sama, malas sekali rasanya untuk balik ke Jatinangor, makanya memutuskan untuk berangkat sore saja, gak apa kalau harus sampai tengah malam.
ADVERTISEMENT
Tapi ya walaupun begitu aku tetap harus berangkat, harus kuliah.
Aku ingat sekali, kalau hari jumat aku ada jadwal kuliah awal, makanya memutuskan untuk berangkat dari Sukabumi hari kamis sore.
Singkatnya, jam tiga sore aku sudah ada di terminal.
Biasanya aku naik bis jurusan Sumedang, tapi entah kenapa hari itu aku sama sekali gak melihat penampakannya, gak ada bis ke Sumedang. Sampai menjelang jam lima, aku masih belum juga melihat bis yang aku tunggu-tunggu itu.
“Ah dari pada sampenya tengah malam, naik bis Garut aja ah.” Begitu pikirku dalam hati.
Ya sudah, karena sudah jam lima lewat, akhirnya aku naik bis arah ke Garut, nantinya aku akan turun di ujung tol Cileunyi, dari situ akan naik ojek ke tempat kost, atau kalau masih ada aku akan naik angkot.
ADVERTISEMENT
Begitulah rencananya.
Kamis itu cuaca Sukabumi gerimis seharian, mendung sudah pasti jadi kepastian.
Aku pikir hanya di Sukabumi saja yang seperti itu, tapi ternyata nggak, sepanjang jalan hujan tak berkesudahan, dengan intensitas ringan sedang.
Bis Garut yang aku tumpangi ini gak terlalu penuh, mungkin karena saat itu bukan akhir pekan.
Perjalanan akan memakan waktu empat sampai lima jam, perkiraanku paling lambat jam sebelas sudah sampai.
Tapi ternyata meleset, jam setengah sebelas aku masih di Ciranjang. Jangankan Jatinangor, Bandung pun masih jauh. Itu terjadi karena sebelumnya ada kecelakaan yang menyebabkan kemacetan panjang.
Untunglah, selepas itu perjalanan perlahan mulai lancar walau masih agak tersendat.
Sementara itu, di luar masih hujan, gerimisnya terus turun.
ADVERTISEMENT
Gelapnya malam, menjadikan aku gak bisa menikmati pemandangan, jadinya tidur yang ada. Apa lagi setelah lepas dari kemacetan, aku semakin terlelap.
***
Aku kaget lalu terbangun, mendengar teriakan keras kondektur kalau bis sebentar lagi akan sampai di ujung jalan tol Cileunyi.
Melihat jam tangan, ternyata sudah jam satu lewat sedikit.
“Lama amat perjalanan, masa sampe Cileunyi jam satu.” Aku terheran-heran setelah nyawa sudah terkumpul semua.
Ya sudah, aku lalu bersiap-siap untuk turun.
Karena bis ini jurusan Garut, jadi kalau aku perhatikan, penumpangnya kurang lebih masih sama jumlahnya, belum banyak berkurang. Mungkin nanti di Cileunyi akan banyak yang turun bis bersamaku.
Selanjutnya, roda bis terus berputar menggelinding menyusuri jalan tol Padaleunyi, kecepatannya berkurang perlahan karena gak jauh di depan sudah terlihat gerbang tol terakhir.
ADVERTISEMENT
Oh iya, ternyata hujannya rata, sampai di titik ini pun di luar masih hujan, cukup lebat malah.
Aku sudah berdiri dari duduk, dan benar dugaanku, ternyata memang banyak penumpang akan turun di tempat yang sama. Gak banyak sih, adalah beberapa, tapi melihat itu aku jadi agak lega karena gak akan sendirian di tempatku turun nantinya.
Sekali lagi aku melihat jam tangan, sudah pukul satu lewat sepuluh.
Setelah melewati gerbang tol, mungkin sekitar dua atau tiga menit kemudian bis akhirnya berhenti.
Waktu itu perhentian bis di ujung tol Cileunyi hanya di pinggir jalan, di depan warung-warung kecil, bukan di terminal.
Dalam keadaan hujan deras, aku akhirnya turun dari bis, bersama dengan beberapa penumpang lain. Kami berlarian menuju arah berbeda, menghindari hujan deras supaya gak basah kuyup.
ADVERTISEMENT
Aku bersama dua orang penumpang lain kemudian berteduh di depan warung kecil pinggir jalan yang sudah tutup. Sementara itu, bis yang aku tumpangi melanjutkan lagi perjalanannya.
Beberapa menit lamanya kami berdiri berteduh, sampai akhirnya gak lama kemudian ada dua motor ojek datang mendekat.
Aku yang masih berharap masih akan ada angkot, dan melihat hujan juga semakin deras, gak terlalu bersemangat melihat dua ojek itu, lalu membiarkan dua orang yang bersamaku untuk pergi naik dua ojek, meninggalkan aku sendirian.
Iya, akhirnya aku sendirian, karena memilih tetap berdiri berteduh di depan warung gelap, dengan masih berharap ada angkot yang akan lewat.
Saat itu, mungkin karena hujan deras dan sudah lewat tengah malam, suasananya sangat sepi, kendaraan yang lewat melintas hanya sesekali, begitu terus selama beberapa menit ke depan.
ADVERTISEMENT
Lalu, entah hanya perasaan saja atau gimana, tapi aku merasa kalau tiba-tiba suasana semakin sepi dan hening. Mengesampingkan suara hujan, sama sekali gak ada pergerakan atau suara lainnya.
Berdiri di bawah atap warung, bukannya aku jadi kering tanpa terkena air hujan, tapi tubuh tetap basah terkena cipratannya.
Menit berikutnya, suasana jadi tambah “Seru” ketika angin mulai bertiup kencang, membuat air hujan jadi lebih sering lagi mampir di badan.
Ah, aku jadi menyesal kenapa tadi gak naik ojek saja, malah memilih terus tabah menunggu angkot, yang harusnya aku sadar kalau saati itu hampir mustahil akan ada angkot yang lewat.
Entah apa yang ada di pikiranku saat itu.
ADVERTISEMENT
Detik berganti detik, menit berganti menit. Aku belum juga melihat ada kendaraan lewat. Sepi. Kosong..
Tapi, ketika mulai meratapi nasib, akhirnya aku melihat di kejauhan ada kendaraan yang muncul mendekat.
Kilatan cahaya lampu yang gak terlalu terang seperti berjuang mati-matian menembus gelap dan derasnya air hujan, aku yakin itu lampu mobil kecil kalau melihat dari bentuknya.
Terus aku perhatikan, lampu mobil berjalan ke arahku, mendekat dan semakin mendekat. Hujan deras membuat aku belum juga melihat sang empunya lampu dengan jelas.
“Semoga ini angkot.” Begitu harapku dalam hati.
Ah! Ternyata benar, itu angkot. Ketika sudah tinggal beberapa meter jarak kami, aku sudah bisa memastikannya.
Lalu angkot ini berhenti persis di hadapan.
ADVERTISEMENT
“Kampus Unpad Pak?” Tanyaku kepada supirnya.
Pak supir mengagguk, lalu aku masuk ke dalam angkot. Walaupun kursi depan kosong, tapi aku memilih untuk duduk di belakang, entah apa alasannya waktu itu.
Setelah sudah di dalam, aku akhirnya tahu kalau angkot ini dalam keadaan kosong, penumpangnya hanya aku seorang. Karena itulah aku memilih untuk duduk di dekat pintu, gak apalah terkena air hujan, toh sudah nyaris basah kuyup sejak dari warung tadi.
Sepertinya Pak Supir gak berniat untuk menunggu penumpang lain, setelah aku naik, dia lalu menjalankan mobilnya walau perlahan.
Dalam derasnya hujan kami menembus malam, menyusuri jalan yang masih saja sepi, sama sekali gak ada kendaraan.
“Ah mungkin karena sudah malam dan hujan deras pula.” Begitu pikirku dalam hati ketika melihat itu semua, melihat kalau sama sekali gak ada kendaraan lain di jalan raya kecuali angkot yang sedang aku tumpangi ini. Aneh sih, tapi ya sudahlah.
ADVERTISEMENT
Ada satu keanehan lagi.
Aku merasakan kalau angkot berjalan sangat-sangat pelan. Tapi itu terjadi mugkin karena angkot dalam keadaan kosong, jadi Pak supir berjalan pelan supaya dapat penumpang nanti di depan, mungkin begitu.
Sementara di luar, hujan masih turun dengan derasnya.
Aku terus saja melihat ke depan, memperhatikan jalan.
Di kejauhan, aku sudah melihat ada lampu lalu lintas/lampu merah, atau “Setopan” kalau kata orang Bandung. Kalau sudah sampai di lampu merah ini kami akan berbelok ke kanan, menuju kampus dan tempat kostku berada.
Tapi, sekitar dua ratus meter sebelum lampu merah, angkot tiba-tiba berhenti, seperti sedang akan menaikkan penumpang.
Nah, ketika angkot berhenti ini aku menggeser sedikit posisi duduk, untuk memberikan jalan kepada penumpang yang akan naik.
ADVERTISEMENT
Tapi ternyata gak ada orang, gak ada penumpang yang masuk.
“Gak ada yang naik Pak, gak ada orang.” Begitu aku bilang ke Pak supir, setelah celingak-celinguk memperhatikan sekitar.
Lalu Pak supir menjawab pendek, “Aya.” Begitu katanya, sambil terus melihat ke depan, gak menoleh ke arahku.
“Ah, mana penumpangnya sih, orang gak ada juga.” Sungutku dalam hati.
Setelah berhenti sebentar, angkot kemudian berjalan lagi, berjalan pelan.
Aku yang masih kebingungan kembali melihat ke depan, memperhatikan jalan.
Tapi, belum juga sampai lampu merah, lagi-lagi angkot berhenti!
Sama seperti sebelumnya, angkot seperti sedang mau menaikkan penumpang, padahal gak ada orang sama sekali, sepi.
Sekali lagi aku bilang ke Pak supir “Gak ada orang Pak, kosong.”
ADVERTISEMENT
Pak Supir, sambil terus menatap ke depan, lagi-lagi menjawab “Aya.” Yang artinya “Ada.”
Aku semakin bingung, mana penumpangnya sih?
Sama, lalu angkot kembali berjalan. Bedanya, kali ini jalannya lebih cepat, gak pelan seperti sebelumnya.
Karena angkot sudah berjalan cukup cepat, aku yang tadinya duduk sangat dekat dengan pintu dan menghadap ke depan, jadi bergeser sedikit ke dalam, membuat aku jadi menghadap ke samping, bukan ke depan lagi, paham ya?
Nah ketika menghadap ke samping inilah aku akhirnya melihat sesuatu yang mungkin jadi jawaban kenapa angkot ini tadi berhenti dua kali secara misterius.
Aku kaget tak terkira, merinding sejadi-jadinya, karena ternyata sudah ada dua penumpang di dalam, mereka duduk di belakang, berhadapan, keduanya laki-laki.
ADVERTISEMENT
Kapan mereka masuk? Aku yang duduk di samping pintu sejak tadi gak melihat mereka sama sekali.
Sementara itu angkot berjalan semakin cepat, aku yang mulai semakin ketakutan sudah gak lagi memperhatikan jalan.
Dua lelaki ini terus menundukkan wajah, sementara aku memandang mereka sesekali.
“Kiri, Pak. Kiri..” Begitu aku bilang ke Pak Supir, akhirnya memberanikan diri untuk minta angkot berhenti, aku semakin ketakutan,
Setelah bilang begitu, kemudian lagi-lagi aku menoleh ke belakang.
Betapa kagetnya aku, ketika melihat ternyata dua penumpang seram ini sudah gak duduk di tempatnya semula. Mereka sudah bergeser mendekat, yang satu duduk di hadapan, yang satu lagi duduk persis di sebelahku. Saat inilah aku dapat melihat wajah mereka dengan jelas.
ADVERTISEMENT
Sangat menyeramkan, wajah keduanya pucat berlumur darah, seperti baru saja mati karena kecelakaan. Tercium juga bau amis hanyir yang sangat gak mengenakkan.
Aku semakin panik, lalu reflek menggebrak langit-langit angkot dengan keras.
“Berhenti Pak! Berhentiiiii!!” Aku berteriak begitu.
Kemudian angkot yang tadinya melaju cepat, perlahan mulai mengurangi kecepatannya.
Ketika angkot sudah sangat pelan berjalan, aku nekat melompat turun. Hasilnya, aku jatuh terduduk di pinggir jalan, gak apalah, yang penting bisa berhasil keluar.
Lalu aku melihat angkot menyeramkan itu terus melaju pelan, sampai akhirnya hilang ditelan gelap.
***
Balik lagi ke gw ya, Brii.
Sekian cerita kali ini, sampai jumpa lagi di lain kesempatan.
Tetap jaga kesehatan, supaya bisa terus merinding bareng.
ADVERTISEMENT
Met bobok, semoga mimpi indah,
Salam,
~Brii~