KRL Jakarta-Bogor, Stasiun Gaib

BriiStory
Jangan baca sendirian..
Konten dari Pengguna
27 Juni 2020 9:17 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari BriiStory tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
serem kan? :)
zoom-in-whitePerbesar
serem kan? :)
ADVERTISEMENT
Aku Adi, pekerja swasta yang berkantor di kawasan Sudirman Jakarta, tapi tinggal di Bogor. Sudah lebih dari 10 tahun aku jalani pulang pergi Jakarta Bogor setiap hari.
ADVERTISEMENT
Iya, 10 tahun lebih, karena dulu kampusku juga di Jakarta. Waktu itu aku gak mau ngekost, lebih senang pulang pergi setiap harinya. PP Jakarta Bogor ini menjadi kebiasaan sampai aku bekerja, menikah, dan akhirnya memiliki rumah sendiri, di Bogor.
Entahlah, aku lebih senang tinggal di Bogor, gak pernah sedikit pun terpikir untuk tinggal di Jakarta, gak mau.
Toh aku bisa jalani semuanya tanpa harus tinggal di Jakarta, transportasi Jakarta Bogor sudah semakin mumpuni. Salah satu alat transportasi umum yaitu kereta api, atau sekarang KRL namanya.
Sejak kuliah aku sudah sangat akrab dengan moda transportasi umum ini. Sejak masih acak-acakan sampai rapi dan teratur seperti sekarang. Walaupun sudah memiliki kendaraan pribadi, aku lebih memilih naik kereta dari pada harus bergulat dengan penatnya kemacetan jalanan Jakarta.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanannya, banyak suka duka yang aku rasakan dalam ketika harus bergumul dengan penumpang lain di dalam kereta. Suka dan duka..
Tapi pada intinya, aku menikmati perjalanan kereta Jakarta Bogor ini. Lebih banyak sukanya sih.
Nah, aku akan mulai masuk ke pembahasan seru, pembahasan hal-hal mistis tentang kereta Jakarta Bogor ini.
Sudah sejak lama aku mendengar banyak cerita-cerita janggal dan seram yang dialami oleh penumpang kereta, dari kisah yang hanya terdengar dari mulut ke mulut sampai dengan cerita sampai viral ke seluruh penjuru negeri.
Semua mungkin sudah tahu cerita tentang kereta gaib di stasiun Manggarai, atau kereta hantu di stasiun UI, atau stasiun-stasiun yang terkenal angker, dan masih banyak lagi kisah yang bisa membuat bulu kuduk berdiri.
ADVERTISEMENT
Aku termasuk orang yang lebih sering mengedepankan logika, termasuk orang agak skeptis untuk urusan mistis dan hantu-hantuan. Walau gak bisa dipungkiri, aku juga pernah beberapa kali mengalami hal janggal menjurus seram, tapi ya itu tadi, aku akhirnya terus mengedepankan logika.
Tentang cerita-cerita seram yang beredar tentang kereta Jakarta Bogor, sikapku juga sama, sampai tahun 2015 aku gak terlalu percaya dengan cerita-cerita itu, karena sama sekali belum pernah mengalami kejadian seram ketika naik kereta.
Iya, hanya sampai tahun 2015, karena pada tahun itu akhirnya aku mengalami sendiri kejadian seram di luar nalar, yang terjadi di dalam KRL Jakarta Bogor.
Begini ceritanya..
***
Oh iya, sepertinya ada yang harus aku ceritakan dulu.
ADVERTISEMENT
Ada kejadian janggal yang beberapa kali aku alami ketika sedang berada di atas kereta.
Sebelum tahun 2015, entah ketika sedang berangkat atau pulang, beberapa kali aku melihat pemandangan aneh, janggal, atau apalah namanya.
Tapi Pemandangan ini lebih sering terlihat kalau hari sudah gelap, paling banyak malam.
Dan kalau dihitung, pemandangan ini sangat jarang kelihatan, mungkin hanya empat atau lima kali terlihat dalam satu tahun, jarang banget kan? memang begitu adanya.
Pemandangan apa sih?
Sudah agak lupa, tapi sepertinya pertama kali melihat pemandangan aneh ini ketika masih kuliah, itu pun hanya satu atau dua kali, selebihnya gak pernah melihatnya lagi.
Sampai ketika aku sudah mulai bekerja, baru mulai kelihatan lagi dengan intensitas yang sama, sangat jarang.
ADVERTISEMENT
Jadi begini, walaupun jarang, tapi sangat yakin kalau aku beberapa kali melihat ada stasiun misterius yang dilintasi oleh KRL.
Ketika lewat stasiun ini, KRL terus melaju tanpa berhenti, hanya melintas aja dengan kecepatan tinggi.
Aku sudah lama jadi anak kereta, urutan stasiun di Jakarta Bogor sudah sangat aku hafal letak dan jaraknya, sudah di luar kepala, dan stasiun misterius ini di luar dari semua stasiun yang aku tahu itu.
Letak di antara Depok dan Bojong Gede, letak pastinya aku gak pernah tahu karena berbagai alasan.
Alasan pertama, KRL selalu dalam kecepatan tinggi ketika aku sadar kalau tengah melintasinya, jadi hanya beberapa detik saja, gak cukup waktu buatku untuk memperhatikan secara detail.
ADVERTISEMENT
Kedua, entah aku yang salah ingat atau gimana, tapi menurutku letak stasiun ini selalu berpindah, atau mungkin saja aku yang lupa, karena sangat lama jeda waktu penampakannya. Yang pasti ya itu tadi, letaknya antara UI dan Bojong Gede.
Sampai akhirnya, karena begitu penasaran, pada suatu hari aku catat di notes ponselku, di mana posisi stasiun ini ketika aku lihat terakhir kali, waktu itu aku catat kalau posisinya di antara UI dan Pondok Cina, aku catat.
Tahu gak sih, beberapa bulan kemudian, ketika melihatnya lagi, ternyata stasiun ini sudah berpindah tempat, berada di antara Citayam dan Bojong Gede. Aneh kan?
Ah mungkin aja aku yang salah catat, salah ingat, mungkin aja. Berkali-kali aku mencari alasan logis dari kejadian itu.
ADVERTISEMENT
Pernah juga karena sebegitu penasarannya, aku susuri pinggir jalur kereta antara UI dan Bojong Gede menggunakan sepeda motor, dengan tujuan mencari stasiun aneh ini.
Hasilnya? aku gak menemukannya. Sekali lagi, mungkin saja aku salah lihat, salah ingat, atau salah catat.
Aku pikir juga, mungkin itu adalah stasiun tua yang sudah gak terpakai lagi, karena aku melihatnya selalu dalam keadaan kosong san sepi, sama sekali gak ada orang yang terlihat.
Penerangan juga seadanya, hanya beberapa lampu menyala yang memberi cahaya. Jadi mungkin karena itulah jadinya stasiun ini gak kelihatan dari jalan raya dan keramaian. Mungkin.
***
Walaupun jarang melihatnya, tapi aku sudah agak hafal dengan bentuk dari stasiun ini. Sama dengan stasiun lainnya, sebelum masuk ke bangunan utama, terlebih dahulu ada pagar memanjang berdiri di kanan kiri rel kereta,
ADVERTISEMENT
Pagar besi inilah yang biasanya menjadi alert buatku kalau sebentar lagi akan melintasinya.
Gak lama dari itu baru masuk ke bangunan utana. Peron panjang gelap jadi pemandangan, di belakangnya ada bangunan berbaris yang aku menebaknya sebagai kantor stasiun.
Bangunan khas stasiun di Indonesia, masih terlihat sisa-sisa bangunan tua desain zaman Belanda. Berdiri megah sendirian di dalam gelap, menyiratkan kelam dalam sepinya situasi.
Oh iya, ada yang khas dari stasiun ini, kelihatan ada tangga yang bentuknya lebar dengan pembatas besi di tengahnya, ada dua tangga, letaknya di ujung sebelah utara dan ujung selatan, dua tangga itu menuju ke bangunan lantai atas stasiun.
Ujung tangga dua-duanya selalu dalam keadaan gelap, aku sama sekali gak pernah bisa melihat jelas ada apa di atasnya.
ADVERTISEMENT
Begitu gambaran stasiun ini.
Oh iya, yang pasti, aku gak pernah melihat ada orang di dalamnya, selalu dalam keadaan sepi dan kosong.
Benar-benar sepi dan kosong..
***
Waktu itu hari rabu, menjelang akhir tahun 2015.
Aku masih ingat sekali, karena hari rabu adalah hari di mana aku harus berkeliling ke beberapa kantor cabang di Jakarta untuk audit kecil.
Kegiatan ini memang rutin selalu dilaksanakan pada hari rabu di setiap minggunya, wajib dilaksanakan.
Pada hari rabu inilah aku hampir selalu pulang malam, karena kegiatan audit gak bisa dilakukan terburu-buru dan kantor cabang yang harus dikunjungi juga cukup banyak dan berjauhan jaraknya.
Biasanya aku baru selesai kunjungan pada sore hari, setelah itu hampir selalu aku akan balik lagi ke kantor pusat untuk langsung menyusun laporannya, dengan tujuan keesokan pagi aku tinggal menyerahkan hasilnya kepada atasan.
ADVERTISEMENT
Pembuatan laporan hasil kerja ini juga sangat memakan waktu, paling cepat aku baru bisa pulang pada jam sembilan malam, itu kalau gak ditemukan masalah di laporan cabang. Kalau kebetulan ada masalah yang harus ditelusuri penyebabnya, aku akan baru bisa pulang lebih malam lagi.
Nah, hari itu termasuk hari yang lumayan melelahkan, banyak temuan janggal pada laporan kantor cabang yang mana aku harus mencari penyebabnya. Cabang yang harus dikunjungi juga berjauhan, membuatku baru bisa kembali ke kantor lagi nyaris menjelang jam tujuh malam.
Sesampainya di kantor pusat pun aku harus menyusun laporan hasil kunjungan, belum bisa pulang.
Benar-benar hari yang melelahkan.
Singkat kata, sekitar jam setengah sebelas malam pekerjaan baru selesai.
ADVERTISEMENT
“Lo ikut gw aja yuk Di, tapi ke Manggarai, gak mau ke Sudirman gw ah.” Daniel menawarkan tumpangan ketika aku masih berdiri di pos sekuriti menunggu ojek untuk mengantarku ka stasiun.
Tawaran Daniel cukup membuatku mempertimbangkannya, karena sama sekali gak melihat ada ojek yang mangkal.
Sementara aku mulai sedikit panik karena malam semakin larut, khawatir gak akan terkejar naik kereta terakhir menuju Bogor.
Daniel menawarkan tumpangan menuju ke stasiun Manggarai karena memang itu searah dengan jalan pulangnya, bukan ke stasiun Sudirman tempat aku biasa setiap hari naik turun kereta.
“Ya udah, gw ikut lo deh Dan, Manggarai juga gpp kok. Hehe.” Jawabku.
Beberapa detik kemudian aku sudah duduk manis di jok belakang motor Daniel.
ADVERTISEMENT
Masih jam 22.40, masih ada waktu untuk mengejar kereta terakhir yang kalo gak salah jam 23.15.
Motor Daniel melaju dalam kecepatan normal, kira-kira dalam 15 menit seharusnya aku sudah sampai di stasiun Manggarai.
Dan benar, jam hanya tinggal beberapa menit lagi jadi pukul 23.00 ketika akhirnya sampai di stasiun Manggarai, aku turun dari motor, sementara Daniel melanjutkan perjalanan pulang menuju rumahnya.
Jam sebelas malam, masih ada beberapa orang yang terlihat berseliweran di stasiun ini. Tentu saja gak seramai di jam normal dan jam sibuk, malahan tergolong sangat sepi buatku.
Pulang menjelang tengah malam seperti ini cukup jarang aku jalani, seperti yang sudah aku bilang di awal tadi, biasanya paling malam jam sembilan aku sudah duduk manis di dalam kereta.
ADVERTISEMENT
Malam itu layaknya malam normal seperti biasanya, geliat kota Jakarta masih berdenyut menandakan kalau dia selalu hidup. Pengapnya udara sedikit berkurang ketika hari beranjak terus menuju puncaknya, udara yang terhirup sedikit lebih segar dari pada jam-jam sebelumnya.
Tapi ya tetap saja keringatku mengalir ketika harus berjalan kaki menuju peron tempat menunggu rangkaian kereta datang.
“Kereta Bogor masih ada kan Pak?”
Aku bertanya kepada Pak Sekuriti yang masih setia menjaga, memastikan kalau kereta terakhir masih ada, belum lewat.
“Masih ada mas. Barusan yang lewat juga kereta ke Bogor, naik yang berikutnya aja, tapi bakalan agak telat, katanya tadi ada gangguan di Tanah Abang.” Begitu penjelasan Pak Sekuriti.
Ah, agak menyesal aku karena tadi sedikit terlambat, jadi gak sempat naik kereta jam sebelas, ketinggalan beberapa menit saja. Dengan begitu, harapanku hanya tinggal menunggu kereta terakhir.
ADVERTISEMENT
“Ok pak, makasih ya.”
Setelah itu aku melangkah menuju peron, mencari tempat duduk sambil menunggu kereta datang.
Tubuh sangat lelah, karena kegiatan yang dilakukan sepanjang hari. Ditambah dengan mata sudah mulai mengantuk. Sambil memeluk tas, aku duduk di kursi besi, memperhatikan sekeliling, anehnya sudah sangat sepi, aku pikir keadaan seperti ini gak seperti biasanya, ini terlalu sepi.
Iya, sangat sepi,
Aku melihat dua orang sekuriti yang berdiri di kejauhan, mereka menjaga pintu penyebrangan orang ketika harus menyebrangi rel kereta.
Selain mereka, ada dua atau tiga orang lagi yang terlihat, sepertinya sama sepertiku, menunggu kereta ke Bogor, karena berdiri di sisi yang sama walau jarak kami berjauhan.
Untuk sekelas stasiun Manggarai, yang notabene letaknya ada di Ibu kota negara, situasi seperti ini agak janggal, karena sangat sepi. Benar-benar sepi..
ADVERTISEMENT
Semilir angin malam mulai bertiup membawa udara dingin, menyentuh tubuh, mengelus wajah. Kantuk yang sejak tadi aku sudah rasakan semakin menjadi-jadi karenanya.
Sudah jam 23.13, seharusnya beberapa menit lagi kereta datang, tapi aku langsung teringat dengan omongan pak sekuriti tadi, kalau kereta akan datang sedikit terlambat karena ada gangguan teknis. Jadi aku sudah pasrah bersiap dengan keterlambatan kedatangannya.
Akhirnya, aku gak tahan lagi, semilir angin perlahan mendorong tubuh untuk bersandar di tembok belakang. Kantuk semakin menjadi, beberapa kali aku terkesiap sambil duduk memeluk tas di pangkuan.
Sampai akhirnya, aku benar-benar tertidur, tapi mungkin hanya beberapa menit.
***
Kilatan cahaya terang menembus pelupuk mataku yang masih terpejam, sangat terang sehingga menyilaukan. Terbangunlah aku dari tidur sejenak karenanya.
ADVERTISEMENT
Setelah mengucek-ngucek mata sebentar untuk memperjelas penglihatan, akhirnya aku melihat kalau cahaya terang menyilaukan itu berasal dari lampu kereta.
“Ah akhirnya datang juga keretanya.” Aku bersyukur dalam hati.
Benar saja, ketika sudah sangat dekat, aku dapat melihat ada tulisan “Bogor” di atas rangkaian kereta yang paling depan.
Benar, ini kereta yang aku tunggu. Lalu aku berdiri menunggu sampai kereta sudah benar-benar berhenti.
Pada saat inilah aku baru sadar, setelah melihat sekeliling, ternyata di sekitarku gak ada orang sama sekali.
Eh sebentar, setelah benar-benar memperhatikan, ternyata ada beberapa orang yang aku lihat sedang berdiri di kejauhan, berposisi sama seperti aku, sedang menunggu kereta untuk benar-benar berhenti dan terbuka pintunya.
Beberapa orang itu kelihatan olehku hanya berbentuk siluet, bayangan hitam, tapi lalu aku berpikir mungkin karena di ujung sana gelap tanpa penerangan, membuat mereka jadi terlihat seperti itu. Ya sudah, aku gak berpikir macam-macam, lalu menunggu sampai pintu kereta terbuka.
ADVERTISEMENT
Akhirnya pintu terbuka, tanpa pikir panjang aku masuk ke dalamnya.
Hanya beberapa detik, kemudian pintu tertutup.
Setelah di dalam, aku lalu berjalan untuk mencari tempat duduk.
Proses mencari tempat duduk ini ternyata sangat mudah, karena kereta dalam keadaan nyaris kosong.
Iya, gerbong kereta yang aku naiki itu ternyata isinya nyaris kosong, hanya ada aku dan seorang penumpang laki-laki yang duduk di paling ujung.
Ah ya sudahlah, mungkin memang karena ini sudah nyaris tengah malam, jadi gak ada penumpangnya lagi, begitu pikirku dalam hati. Jam di tangan menunjukkan sudah pukul 23.30 ketika aku sekilas melihatnya.
Aku memilih tempat duduk di tengah, gak jauh dari pintu keluar.
Dengan mata yang masih sangat mengantuk, aku duduk bersandar dengan niat meneruskan tidur.
ADVERTISEMENT
Sekilas aku melirik penumpang laki-laki yang duduk di ujung, dia diam memandang ke depan, seperti sedang memperhatikan keadaan di luar.
Seorang laki-laki berumur sekitar 50 tahun, berkemeja putih, celana panjang hitam, berkumis tebal, kumis yang sudah banyak beruban seperti rambut di kepalanya. Sesekali dia tersenyum sendiri sambil memperhatikan entah apa yang sedang dia perhatikan di luar.
Setelah itu, aku gak memperhatikannya lagi, lebih memilih untuk rehat sejenak memejamkan mata, tidur sebentar.
***
Kira-kira beberapa menit kemudian aku kembali terbangun, kali ini karena mendengar suara bunyi klakson kereta yang sangat keras.
“Ini sudah sampai di mana?” Tanyaku dalam hati.
Tiba-tiba aku melihat kalau kereta sedang melintas di salah satu stasiun, tapi aku gak tahu pasti kalau itu stasiun mana karena baru saja sadar dari tidur.
ADVERTISEMENT
“Itu stasiun Pasar Minggu,” Kata bapak yang duduk di ujung, sambil tersenyum. Lalu aku membalas senyumnya.
Mungkin karena melihat aku kebingungan, jadi dia memberikan info stasiun apakah itu yang sedang kami lewati.
Tapi, kenapa kereta ini gak berhenti di stasiun Pasar Minggu? Kenapa terus melaju hanya melintas? Ah mungkin sebenarnya tadi sudah berhenti, tapi aku tadi masih tertidur, jadinya gak tahu.
Agak sedikit aneh, karena kereta masih saja kosong, gak ada penambahan penumpang, masih hanya ada aku dan Bapak yang duduk di ujung. Tapi ya sudahlah..
Setelah itu aku memposisikan badanku lagi seperti awal tadi, bersandar dengan niat untuk meneruskan tidur.
Dari stasiun Pasar Minggu, berikutnya adalah stasiun Tanjung Barat, Lenteng Agung dan seterusnya.
ADVERTISEMENT
Tapi aneh, setelah sampai di Tanjung Barat, lagi-lagi kereta terus melaju gak berhenti, terus berjalan dengan kecepatan konstan.
Kereta ini kenapa? Kok gak berhenti di setiap stasiun.
“Ini kereta ekspres malam hahaha. Akan langsung ke tujuan, gak berhenti di stasiun-stasiun antara.”
Aku kaget, karena bapak yang tadinya duduk di ujung tiba-tiba sudah duduk beberapa meter di sebelah kananku, kami jadi berdekatan.
“Ekspres gimana Pak? Kan sekarang gak ada kereta ekspres.” Tanyaku penasaran.
“Kereta ini langsung ke tujuan.” Jawab bapak itu pendek, sambil matanya terus menghadap ke depan, wajahnya tersenyum kecil memperhatikan entah apa yang sedang dia perhatikan.
Ya baguslah kalau kereta ini langsung ke Bogor, jadi waktu perjalanan akan lebih cepat, begitu pikirku yang sungguh asal.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya kantukku jadi hilang, aku jadi terus memperhatikan perjalanan.
Benar seperti yang bapak itu bilang tadi, kereta kami gak berhenti di seluruh stasiun berikutnya, UI, Pondok Cina, Depok Baru, dan seterusnya, kereta terus melaju melewati stasiun-stasiun itu dengan kecepatan yang konstan.
“Benar ya Pak, keretanya gak berhenti di setiap stasiun. Baguslah, hehe.” Aku bilang begitu ke bapak teman satu keretaku.
Tapi dia gak menjawab, hanya duduk diam menghadap depan sambil senyum-senyum sendiri.
Sampai detik ini aku belum merasa kalau ada yang aneh.
Tapi perasaanku akan berubah drastis dalam beberapa belas menit ke depan.
***
Stasiun Citayam,
Seperti stasiun-stasiun sebelumnya, kereta terus melaju melewati stasiun Citayam. Berikutnya kereta akan sampai di stasiun Bojong Gede, seharusnya begitu.
ADVERTISEMENT
Tapi..
Waktu tempuh Citayam Bojong Gede yang seharusnya gak lama, tapi kali ini setelah lebih dari 15 menit lamanya gak juga sampai. Ini terlalu lama, karena kereta gak melambat kecepatannya. Di sini aku mulai merasa ada yang aneh, mana stasiun Bojong Gede? Kok gak sampai-sampai?
“Sabar, sebentar lagi.”
Lagi-lagi suara bapak ini mengagetkan, mungkin karena dia melihat ada kepanikan di wajahku.
Tapi ternyata benar kata Bapak itu, beberapa menit kemudian kereta mulai melambat, mengurangi kecepatannya. Klaksonnya berbunyi beberapa kali, menandakan kalau kereta sedang mendekat ke salah satu stasiun di depan, tebakanku di depan adalah stasiun Bojong Gede.
Menegakkan badan, aku coba untuk melihat ke luar, coba mengenali stasiun apa ini.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, kereta masuk ke dalam area stasiun.
Tapi,
Tapi beberapa menit berikutnya aku baru sadar, ketika kereta sudah sangat lambat berjalan, sebelum benar-benar berhenti.
Aneh, aku bertanya-tanya, karena ternyata ini bukan stasiun Bojong Gede, bukan, aku yakin.
Lalu ini stasiun apa?
Stasiun ini nyaris gelap tanpa penerangan, mungkin cahaya hanya didapat dari beberapa lampu kecil di sudut stasiun.
Akhirnya kereta benar-benar berhenti, lalu pintunya terbuka.
Penasaran, aku berdiri dari duduk, berniat untuk memperhatikan lagi, stasiun apakah gerangan ini.
“Sudah sampai, saya turun di sini ya.”
Bapak itu mengucapkan permisi kepadaku, Aku yang masih merasakan keanehan, hanya menganggukkan kepala.
Lalu dia berjalan turun meninggalkan kereta.
Bapak itu berjalan menjauh, menuju tangga yang ada di ujung. Aku terus memperhatikan.
ADVERTISEMENT
Lalu dia berjalan menaiki tangga itu, ke atas, lalu hilang di telan gelap.
Tunggu, ada tangga?
Akhirnya aku sadar sedang berada di stasiun apa.
Ini bukan stasiun Bojong gede, ternyata ini stasiun misterius yang sudah membuatku penasaran selama bertahun-tahun lamanya. Stasiun yang letak pastinya gak aku ketahui.
Aku sudah hafal bentuk bangunannya, itu yang membuatku yakin kalau ini benar stasiun misterius!
Sontak aku langsung merinding, tapi masih penasaran. Aku terus memperhatikan tempat itu dari pintu kereta yang gak juga kunjung menutup.
Seperti yang aku lihat sebelum-sebelumnya, stasiun ini kosong, sama sekali gak ada orang, gak ada kehidupan.
Sepinya menggurat urat nadi, menghentikan waktu. Sangat sepi..
Aku semakin ketakutan, karena sepertinya hanya tinggal ada aku di tempat ini sepeninggal bapak itu tadi.
ADVERTISEMENT
“Kenapa pintu ini terus terbuka? Gak menutup? Kapan keretanya akan bergerak maju?” Bertanya-tanya dalam hati, aku mulai panik.
Beberapa menit lamanya aku berdiri di pintu, sampai akhirnya berniat untuk turun saja dari kereta dan meninggalkan stasiun ini.
Tapi sebelum menjalankan niat itu, aku melihat sesuatu, sesuatu yang membuatku harus mundur beberapa langkah menjauhi pintu..
Di atas tangga sebelah kiri, aku melihat ada pergerakan.
Aku melihat ada beberapa orang bergerak turun menuruni tangga.
“Akhirnya, ada orang juga” Agak sedikit lega aku melihat mereka.
Beberapa orang itu berbentuk seperti bayangan hitam, aku gak bisa jelas melihat bentuk wajah dan perawakannya, mungkin karena gak adanya cahaya penerangan.
Mereka terus mendekat ke arahku, ke gerbong kereta tempatku berada, menuju pintu tempatku berdiri.
ADVERTISEMENT
Tapi, beberapa detik kemudian, perlahan aku melangkah mundur, menjauhi pintu, ketika beberapa orang itu semakin dekat dan semakin mendekat. Tiba-tiba aku jadi sangat ketakutan..
Kenapa aku takut?
Karena wujud mereka gak berubah, bentuknya masih sama dengan bentuk yang aku lihat ketika jarak kami masih berjauhan, mereka tetap terlihat seperti bayangan hitam, iya bayangan hitam.
Gak berapa lama kemudian, di belakang mereka muncul lagi beberapa sosok bayangan hitam yang bentuknya sama seperti mereka, lalu di belakangnya muncul lagi beberapa.
Akhirnya jumlah mereka menjadi banyak, semuanya menuju pintu gerbong kereta yang aku tempati.
Kemudian aku jatuh terduduk di tempat duduk yang sama ketika aku duduk pertama kali tadi.
Aku ketakutan, memperhatikan sosok-sosok bayangan hitam itu satu persatu memasuki kereta.
ADVERTISEMENT
Bentuk mereka seperti manusia, perawakan seperti orang-orang pada umumnya, ada yang kelihatan seperti perempuan, ada yang kelihatan laki-laki, bahkan ada anak-anak juga. Tapi ya begitu, mereka berbentuk seperti bayangan hitam sedikit tembus pandang.
Akhirnya, mereka semua sudah berada di dalam, satu gerbong kereta denganku, hanya aku saja satu-satunya yang masih berbentuk manusia.
Beberapa detik kemudian pintu tertutup, lalu perlahan kereta mulai bergerak maju, meninggalkan stasiun menyeramkan itu.
Kereta melaju dengan kecepatan konstan.
Aku duduk diam dengan keringat dingin bercucuran, duduk didampingi sosok-sosok misterius berbentuk bayangan hitam.
Detik berikutnya aku gak berani lagi menatap mereka, karena merasa kalau mereka semua menatap balik ke arahku, menatap dalam diam.
Tuhan, aku sangat ketakutan. Entah sosok apa yang tengah melaju bersama denganku ini.
ADVERTISEMENT
Tapi syukurlah, semuanya gak berlangsung lama, karena berikutnya kereta kembali melambat, berkurang kecepatannya, menandakan kalau sedang mendekat ke stasiun berikutnya.
Benar, ternyata ada stasiun.
Dalam hati aku berniat akan turun di stasiun ini, apa pun stasiunnya, aku gak mau berlama-lama di dalam kereta berhantu ini.
Akhirnya kereta berhenti, lalu aku berdiri dan mendekati pintu. Sambil berdoa dan berharap semoga pintu benar akan terbuka.
Doa terkabul, tiba-tiba pintu terbuka, lalu aku segera turun!
Sangat lega, akhirnya aku bisa meninggalkan kereta itu.
Beberapa detik setelah aku turun, kereta langsung bergerak maju meninggalkan stasiun, terlihat sepertinya kereta itu berniat hanya untuk membiarkan aku turun, aneh.
Gontai aku melangkahkan kaki dalam kelegaan di peron stasiun ini.
ADVERTISEMENT
“Bogor? Ini stasiun bogor?”
Iya, ternyata ini stasiun Bogor, kenapa tiba-tiba aku sudah ada di stasiun Bogor?
Tiba-tiba ponselku berbunyi, lalu aku mengangkatnya.
“Mas di mana sih? Kok dari tadi gak ada kabar?”
Suara istriku terdengar di ujung telepon.
Belakangan akhirnya aku tahu, ternyata istriku sudah berada di parkiran stasiun Bogor bersama adiknya.
Mereka berniat untuk mencari dan menjemputku di stasiun ketika sudah selama beberapa jam aku hilang kontak.
Hilang kontak? Iya, kata istriku aku hilang selama beberapa jam, gak bisa dihubungi, paniklah istriku.
Setelah aku bertemu dengan mereka di parkiran, ternyata saat itu jam sudah menunjukkan di pukul tiga pagi.
Sudah jam tiga pagi.
Padahal tadi sepertinya aku gak sampai satu jam berada di dalam kereta aneh itu.
ADVERTISEMENT
***
Hai, balik lagi ke gw ya Brii..
Begitulah kisah yang dialami oleh Adi, ketika akhirnya dia berhenti di stasiun gaib. Adi bilang, sampai saat ini dia masih melihat stasiun itu sesekali, di malam hari,
Sampai saat ini.
Sekian cerita kali ini, sampai jumpa lagi.
Tetap sehat supaya bisa terus merinding bareng.
Salam,
~Brii~