(Masih di) KRL Jakarta-Bogor

BriiStory
Jangan baca sendirian..
Konten dari Pengguna
3 Juli 2020 15:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari BriiStory tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi pixabay.com
ADVERTISEMENT
Kereta adalah alat transportasi yang cepat dan nyaman. Tapi, ada yang malah mengalami kejadian seram di dalamnya. Karena kereta juga punya banyak misteri di balik tirai dimensi.
ADVERTISEMENT
Teman kita, Bimo, akan cerita pengalaman seram di atas kereta, di sini, di Briistory.
***
“Bim, nanti kalo ke Jakarta lagi, kamu nginep di tempatku aja ya. Gampang ini bolak balik Jakarta Bogor, keretanya enak sekarang.”
Itu kalimat terakhir yang diucap Rendi pada pertemuan terakhir kami sekitar tahun 2017 lalu.
Rendi itu teman kuliah, kami sama-sama kuliah di UGM, universitas yang letaknya di kota asalku, Jogjakarta.
Selepas lulus kuliah, aku dan Rendi mengikuti jalan hidup kami masing-masing. Rendi kembali ke kota asalnya, Bogor, dan bekerja di sana gak lama setelah lulus.
Sementara aku tetap di Jogja, bekerja di salah satu Sekolah Menengah Pertama, sebagai guru Matematika.
Sebagai guru, beberapa kali aku harus ke Jakarta untuk mengikuti pelatihan ataupun seminar, tapi gak terlalu sering juga.
ADVERTISEMENT
Nah, pada bulan Juli 2019, aku ditunjuk oleh sekolah untuk mengikuti seminar pendidikan di Jakarta, sendirian aku harus mewakili sekolah. Ya sudah, tanpa keberatan aku berangkat ke Jakarta. Seminar akan diadakan selama tiga hari, di salah satu balai pertemuan di Jakarta Pusat.
Teringat pesan dari Rendi yang bilang aku harus mampir ke rumahnya di Bogor kalau sedang di Jakarta, lalu aku menghubunginya.
“Sudah, kamu menginap di rumahku aja. Pulang pergi dari sini aja, pokoknya gitu aja.”
Begitu Rendi bilang. Ya sudah, karena kangen dengan sahabat lamaku ini, akhirnya aku memutuskan untuk menginap di rumah Rendi selama mengikuti seminar di Jakarta.
***
Waktu itu hari minggu malam aku berangkat ke Jakarta menggunakan pesawat, mendarat sekitar jam sembilan malam. Rendi sudah tahu mengenai jadwal kedatanganku ini, dia bilang nanti akan menjemput di stasiun Bogor.
ADVERTISEMENT
Iya, aku akan menggunakan KRL menuju Bogor, transportasi yang menurutku nyaman, cepat, dan bebas macet. Juga, aku berniat untuk berkereta Jakarta Bogor selama mengikuti seminar di Jakarta.
Singkat cerita, aku akhirnya menginjakkan kaki di stasiun Sudirman sekitar jam 10 lewat sedikit. Di stasiun ini aku menunggu kereta menuju Bogor, perjalanan kurang lebih selama satu setengah jam, sudah sampai tujuan.
Sebagai orang Jogja, walaupun sudah sering kali melancong ke Jakarta, tapi tetap saja aku masih kikuk mengikuti ritme hidup di kota metropolitan ini. Semua orang seperti kesetanan dikejar waktu, berlomba-lomba saling berebutan, tuk mencari nafkah yang ada.
Tapi untung saja, hari pertama di Jakarta kali ini adalah hari minggu, bus dan kereta gak sepenuh pada hari kerja, aku bisa sedikit bernapas lega.
ADVERTISEMENT
Sama, Stasiun Sudirman juga sepi, sangat sepi malah, hanya beberapa orang yang sepertinya satu tujuan denganku, karena kami berdiri di jalur yang sama. Selebihnya hanya beberapa petugas yang terlihat wara-wiri di sekitar stasiun.
“Mau ke mana Dek?”
Suara seorang bapak membuyarkan lamunanku ketika aku sedang duduk di kursi besi panjang.
“Ke Bogor Pak.” Jawabku sambil tersenyum.
“Dari Luar kota ya?” Tanya bapak itu lagi, kali ini sambil tersenyum.
“Iya Pak, saya dari Jogja.”
Iya sih, menurut sedikit temanku yang ada di Jakarta, wajah dan penampilanku sangat terlihat kalau aku dari luar Jakarta, jadi akan sangat kelihatan kalau aku bukan orang Jakarta.
Kemeja gombrong lengan pendek, celana panjang kain, sepatu kets berwarna putih, kata teman-teman penampilanku sudah sangat ketinggalan zaman, tapi kalau aku merasa nyaman ya bagaimana?
ADVERTISEMENT
Oh iya, Bapak yang kemudian duduk di sebelah kiriku ini sudah kelihatan tua, perkiraanku umurnya sudah sekitar 60 tahun. Tubuh kurusnya berbalut jaket tebal berwarna biru, rambutnya sudah putih semua, tertutup oleh peci hitam yang dia pakai.
“Bapak mau ke Bogor juga?” Tanyaku kemudian.
“Nggak, saya gak sampai Bogor” Jawab Bapak itu Pendek.
Setelahnya kami saling diam tanpa percakapan, menunggu kereta datang.
Sudah nyaris jam setengah sebelas, ketika akhirnya terlihat ada kereta datang dari kejauhan.
Tapi aku gak tahu pasti kalau kereta ini akan sampai Bogor atau nggak, karena sepertinya gak sesuai jadwal yang tertera.
Menurut jadwal, harusnya kereta Bogor datang 10 menit lagi, tapi kereta ini datang lebih awal.
ADVERTISEMENT
Parahnya lagi, setelah kereta sudah dekat, aku gak melihat ada tulisan di gerbong kereta paling depan, tulisan yang menunjukkan tujuan kereta, “Bogor” misalnya, atau “Depok”, gak ada.
Tapi walaupun begitu, aku tetap berdiri dari duduk untuk bersiap menaiki kereta ini, kalau pun nantinya gak sampai Bogor, aku akan melanjutkan menunggu kereta di stasiun terakhir dari kereta ini.
“Kamu jangan naik kereta ini, naik yang berikutnya aja.”
Lagi-lagi Bapak itu menganggetkan aku yang sedang sedikit bingung.
“Kenapa memangnya Pak?” Tanyaku penasaran.
“Kereta ini bukan ke Bogor.” Jawab Bapak itu tanpa menatapku.
Oh begitu, ya sudah, baiklah, aku ikuti saran si Bapak tanpa banyak tanya, lalu duduk kembali.
Kemudian kereta berhenti, lalu pintunya terbuka.
ADVERTISEMENT
Sekilas aku perhatikan sekeliling, gak ada penumpang yang bergegas masuk ke kereta ini, satu-satunya penumpang yang naik adalah Bapak yang dari tadi duduk di sebelahku, hanya dia seorang.
Aku perhatikan juga, dalam gerbong kereta lampunya redup, gak seterang seperti biasanya. Ada beberapa penumpang yang aku lihat sedang duduk di dalamnya, tapi sama sekali aku gak bisa melihat jelas wajah mereka, karena ya itu tadi, lampu kereta sangat redup, nyaris gelap total.
Hanya beberapa detik setelah bapak itu naik, pintu kereta menutup, lalu kereta berjalan menjauh, meninggalkan stasiun sudirman.
Benar, kereta ini sepertinya hanya menaikkan satu penumpang saja, hanya Bapak itu.
Yang agak aneh lagi, aku perhatikan beberapa orang yang sedang menunggu kereta di jalur yang sama denganku, mereka seperti cuek ketika kereta tadi datang, gak mengindahkan.
ADVERTISEMENT
“Ah mungkin memang kereta tadi gak sampai Bogor. Dan orang-orang ini tujuannya ke Bogor semua.” Gumamku dalam hati.
Ya sudah, lalu aku kembali membuka ponselku, sambil menunggu kereta datang.
Benar, 10 menit kemudian kereta datang, kali ini aku yakin kalau ini keretanya, karena sesuai jadwal dan tertera tulisan “Bogor” di kereta paling dapan. Bangkit dari duduk lalu aku bersiap untuk masuk kereta.
Sambil menunggu kereta benar-benar berhenti dan terbuka pintunya, aku memperhatikan sekitar. Kali ini hampir semua orang yang menunggu di jalurku berdiri. Sama, mereka juga menunggu kereta berhenti dan terbuka pintunya. Gak seperti kereta sebelum ini, mereka sepertinya cuek.
Setelah pintu terbuka, aku dan beberapa penumpang lain masuk.
Setelah sudah berada di dalam, dengan santai aku berjalan mencari tempat duduk, karena memang kereta dalam keadaan cukup kosong, banyak kursi yang gak terisi.
ADVERTISEMENT
Lalu, setelah pintu menutup kembali, perlahan kereta mulai bergerak maju meninggalkan stasiun Sudirman, meninggalkan kota Jakarta.
***
Entah ya, aku selalu suka menggunakan transportasi umum, khususnya kereta.
Aku senang memperhatikan orang-orang sekitar sesama penumpang, gerak-geriknya, penampilannya, tapi memperhatikannya gak secara langsung ya, bukan memperhatikan in a creepy way.
Anyway, kereta terus melaju menuju Bogor, melewati satu stasiun dan stasiun berikutnya.
Kereta berjalan dengan kecepatan konstan menembus malam yang semakin larut.
Semakin mendekati Bogor, penumpang semakin berkurang.
Aku perhatikan, hanya ada satu dua orang yang masuk setelah semakin jauh meninggalkan Jakarta.
Sampai akhirnya ada kejadian yang menurutku sangat aneh, ada pemandangan di luar kereta yang sepertinya susah diterima akal.
Kejadian pertama ketika kereta tiba di stasiun Universitas Indonesia.
ADVERTISEMENT
Di stasiun UI ini, sama seperti stasiun-stasiun lainnya kereta juga berhenti. Sama dengan stasiun sebelumnya juga, kereta akan mengurangi kecepatannya ketika sudah mulai memasuki area stasiun.
Aku yang sejak tadi terus menikmati perjalanan dengan melihat pemandangan di luar, tentu saja juga akan memperhatikan stasiun UI ini.
Kereta melambat, lalu mulai memasuki area stasiun.
Semakin melambat dan terus melambat, sebelum akhirnya nanti benar-benar berhenti.
Ketika kereta sudah sangat melambat inilah aku melihat pemandangan yang kali ini bisa dianggap bukan pemandangan aneh, aku melihat seseorang. Seseorang yang sedang duduk di kursi tempat penumpang, tempat menunggu kereta di jalurnya.
Aku melihat ada seseorang yang sedang duduk, seseorang itu adalah Bapak yang berbincang denganku di stasiun Sudirman tadi.
ADVERTISEMENT
Kebetulan, posisi dudukku menghadap ke pintu keluar masuk, menghadap ke arah peron stasiun tempat penumpang yang akan naik atau turun kereta.
Aku yakin itu orang yang sama, aku masih sangat ingat dengan penampilannya, Jaket biru dan berpeci, aku masih sangat ingat juga dengan wajahnya.
“Oh, ternyata Bapak itu turun di UI tadi.” Begitu ucapku dalam hati.
Bapak itu gak melihatku, karena posisi duduknya sudah lewat agak jauh di sebelah kiri, jadi kami gak bisa bertegur sapa atau seenggaknya saling melempar senyum.
Singkatnya, pintu menutup kembali, lalu kereta bergerak berjalan lagi menuju stasiun-stasiun berikutnya di depan, Pondok Cina, Depok baru, dan seterusnya.
Aku gak terlalu memikirkan tentang kajadian yang baru aja terjadi, ketika melihat Bapak berpeci di stasiun UI tadi, karena memang gak ada yang aneh.
ADVERTISEMENT
Keanehan mulai masuk ke dalam pikiran ketika kereta memasuki stasiun Depok.
Sama seperti sebelumnya, kereta akan mengurangi kecapatannya ketika mulai mendekati area stasiun, sama juga dengan kali ini, ketika mendekati stasiun Depok.
Melambat dan semakin melambat, sebelum akhirnya kereta benar-benar berhenti.
Nah, ketika beberapa detik sebelum kereta berhenti inilah aku melihat pemandangan yang kali ini sudah mulai aneh. Aku melihat Bapak itu lagi!
Sontak aku langsung berdiri lalu mendekat ke jendela, memastikan kalau itu adalah orang yang sama.
Benar, aku benar-benar yakin kalau itu orang yang sama, Bapak berpeci yang di stasiun sudirman dan stasiun UI tadi.
Aku masih sangat ingat wajahnya, masih sangat ingat penampilannya, sangat ingat postur tubuhnya. Aku sangat yakin kalau itu adalah orang yang sama.
ADVERTISEMENT
Kali ini si Bapak berdiri di depan dinding stasiun, menghadap kereta, berdiri diam dengan tatapan yang kosong. Lagi-lagi posisi kami sudah gak terlalu dekat lagi ketika kereta sudah benar-benar berhenti.
Selama kereta berhenti yang cukup sebentar itu, aku terus memperhatikannya, kok bisa? Kok tiba-tiba Bapak itu sudah ada di Depok? Gimana?, banyak berkecamuk pertanyaan yang ada di kepala.
Lalu kereta mulai jalan lagi, menuju stasiun berikutnya.
“Mungkinkah itu orang yang berbeda?, ah tapi aku yakin sama, aku masih ingat betul wajahnya, ingat betul penampilannya.
Selanjutnya aku terus berperang batin, cari jawaban pasti atas peristiwa tadi.
Rasa kantuk yang sebelumnya mulai datang, jadi hilang, keanehan ini membuat pikiranku terus berputar.
Stasiun berikutnya adalah Citayam. Setelah dua peristiwa di dua stasiun sebelumnya, aku jadi berniat untuk memperhatikan stasiun ini dengan seksama.
ADVERTISEMENT
Untunglah, di Citayam aku gak melihat ada Bapak itu lagi, hanya ada beberapa penumpang yang lalu lalang di dalam stasiun. Sampai akhirnya kereta meninggalkan Citayam, aku benar-benar gak melihat Bapak itu lagi.
“Ah mungkin aku tadi salah lihat.” Bernapas lega aku tarik kesimpulan.
Stasiun berikutnya juga sama, di stasiun Bojong gede aku gak melihat ada yang aneh, gak melihat Bapak itu lagi. Semakin bernapas legalah aku, pikiranku yang tadinyasudah macam-macam menjadi lurus kembali.
Tapi kecemasanku muncul lagi ketika kereta sudah sampai di stasiun Cilebut, karena keanehan terjadi lagi.
Aku yang sebelumnya sudah lega dan plong pikiran karena gak melihat ada keanehan di dua stasiun sebelumnya, jadi gak terlalu memperhatikan pemandangan stasiun lagi ketika kereta mulai masuk area Cilebut.
ADVERTISEMENT
Lagi-lagi kereta melambat dan terus melambat, sampai akhirnya berhenti.
Setelah sudah benar-benar berhenti, pintu kereta pun terbuka.
Ketika pintu kereta sudah terbuka penuh inilah, aku terperanjat kaget, sangat terkejut.
Aku yang duduk nyaris tepat di depan pintu, tentu saja dapat melihat dengan jelas pemandangan di luar pintu kereta.
Iya, benar, aku melihat Bapak berpeci itu lagi. Bapak yang aku ajak ngobrol di stasiun Sudirman itu tadi.
Dia berdiri hanya beberapa meter di depan pintu yang dalam keadaan terbuka. Aku yakin itu orang yang sama.
Sekali lagi, aku masih sangat ingat penampilannya, raut wajahnya, semuanya, aku yakin kalau itu Bapak yang sama.
Aku semakin yakin kalau itu orang yang sama, ketika akhirnya kami saling berpandangan, bertatapan. Jarak kami sangat dekat, hanya beberapa meter saja. Iya, aku sangat yakin kalau itu orang yang sama.
ADVERTISEMENT
Kok bisa? Gimana Bapak itu sudah sampai duluan? Kok bisa dia muncul di tiga stasiun yang berbeda? Gimana?
Aku yang masih bingung terkesima, jadi mulai merinding ketika Bapak itu akhirnya tersenyum kepadaku. Lalu aku membalas senyumnya, mau gak mau.
Hanya beberapa detik lamamnya kami saling menyapa dengan melempar senyum, sampai akhirnya pintu menutup kembali.
Ketika pintu sudah tertutup, aku langsung berdiri lalu mendekat ke jendela untuk memastikan sekali lagi. Benar, Bapak itu masih ada, dia terus memandangku sampai akhirnya kereta membawaku menjauh dan hilang dari pandangannya.
Aneh..
Kok bisa?
Kira-kira sepuluh menit kemudian, akhirnya aku sampai di stasiun Bogor.
Lalu aku bertemu Rendi di tempat parkir, senang sekali rasanya melihat sahabat yang sudah lama gak ketemu ini.
ADVERTISEMENT
Setelah itu aku jadi lupa dengan peristiwa yang baru saja aku alami di dalam kereta tadi.
***
Singkat cerita, kemudian hari berlalu, aku sudah sampai di hari rabu, hari terakhir dari acara seminar yang aku hadiri.
Sesuai dengan rencana sebelumnya, selama di Jakarta aku tinggal di rumah Rendi di Bogor, setiap harinya aku pulang pergi menggunakan kereta.
Rencananya lagi, nanti setelah selesai seminar dan acara penutupannya, aku akan kembali ke Bogor dan menginap satu malam lagi di rumah Rendi, baru besok paginya baru akan ke bandara untuk kembali lagi ke Jogja. Begitu rencananya.
Tapi ternyata, pelaksanaannya meleset dari rencana.
Yang tadinya aku pikir kegiatan akan selesai jam 7 malam, ternyata molor dari jadwal karena ada beberapa acara tambahan. Acara baru benar-benar selesai ketika sudah nyaris jam sembilan malam.
ADVERTISEMENT
Akhirnya aku bisa sedikit bisa bernapas lega, karena sudah bisa pulang ke Bogor akhirnya.
Tapi ternyata lagi-lagi aku salah, beberapa teman seminar mengajakku untuk ngopi sebentar untuk sekadar berbincang, perpisahan informal katanya, acara santai.
Aku gak bisa mengelak, gak enak dengan teman-teman sejawatku itu. Iya sudah, akhirnya aku ikut mereka. Tapi aku bilang aku gak bisa lama-lama, karena harus naik kereta terakhir ke Bogor, mereka mengiyakan.
Akhirnya, malam terakhir seminar ditutup dengan bincang akrab sesama peserta, di satu café yang letaknya aku lupa, pokoknya gak jauh dari stasiun Manggarai.
Aku ingat sekali kalau dekat dengan stasiun manggarai, karena setelah acara selesai aku langsung diantar oleh salah satu teman yang tinggal di Jakarta, kebetulan pulangnya lewat stasiun manggarai.
ADVERTISEMENT
Bersukurnya aku karena ada yang mengantarkan, karena ketika acara selesai jam sudah di pukul 11, mendekati tengah malam
“Tenang aja Bim, masih ada kereta kok, gw pernah naik kereta yang jam 12 malam.” Begitu kata Arie, teman yang mengantarku dengan mobilnya.
Semoga saja dia benar.
***
30 menit menuju jam 12, ketika aku akhirnya sampai di stasiun Manggarai.
Untung saja aku gak bawa banyak bawaan, hanya tas selempang kecil menggantung di badan, jadinya bisa berlari masuk stasiun mengejar kereta.
Sudah nyaris tengah malam, tentu saja stasiun ini sudah sepi, sangat sepi malah.
Aku hanya melihat beberapa petugas stasiun dan segelintir penumpang saja. Beneran sepi..
Gak berapa lama, aku sampai juga di salah satu jalur, menurut info yang aku dapat dari petugas yang berjaga di depan tadi katanya jalur ini yang akan dilewati kereta menuju Bogor.
ADVERTISEMENT
Aku duduk di kursi panjang, menunggu kedatangan kereta. Petugas tadi juga bilang, kalau kereta akan datang pada pukul 11.45. Sukurlah, aku jadi gak perlu lama-lama menunggu.
***
Tubuh yang sudah sangat lelah, pikiran juga letih, membuat aku ingin cepat-cepat sampai di Bogor.
Ah, tapi ternyata aku juga sudah rindu Jogja, gak betah aku berlama-lama hidup di penatnya Jakarta. Sukurnya, besok pagi aku sudah terbang kembali ke Jogja.
Agak lama aku tenggelam dalam lamunan, ditunjang dengan sepinya stasiun Manggarai, semakin dalam saja aku melanmun.
Sampai akhirnya lampu terang kereta yang menyilaukan membuyarkan lamunan.
Ada kereta datang, akan melintas di jalur depanku.
Karena sudah sangat lelah dan mengantuk, tanpa pikir panjang aku langsung berdiri dari duduk, berniat untuk langsung masuk ke dalam kereta.
ADVERTISEMENT
Aku yakin ini kereta ke Bogor, karena jadwalnya kedatangannya benar dan aku berdiri di jalur yang benar juga.
Kereta melambat dan semakin melambat, sampai akhirnya benar-benar berhenti di hadapan. Aku langsung naik dan masuk ke dalamnya.
Setelah sudah berada di dalam, aku nyaris terjatuh. Kenapa? Karena hanya satu atau dua detik ketika aku baru masuk, pintunya langsung tertutup lalu kereta bergerak maju, seperti hanya menunggu aku seorang untuk masuk.
Ah ya sudahlah, mungkin karena sudah malam dan mungkin kereta terakhir jadinya terkesan buru-buru.
Setelah itu, aku berjalan menyusuri lorong untuk mencari kursi kosong.
Gak susah, karena kereta dalam keadaan gak penuh penumpang, cukup kosong malah, hanya ada beberapa penumpang di satu deretan kursi.
ADVERTISEMENT
Di detik ini harusnya aku sudah merasa aneh, karena seharusnya kereta Bogor gak sekosong itu, walaupun sudah tengah malam.
Tapi karena tubuh sudah sangat lelah dan mengantuk, aku gak terlalu mempedulikan hal itu.
Aku duduk di kursi yang lagi lagi nyaris tepat berada di depan pintu keluar, deretan kursi yang berada di depanku dalam keadaan kosong, gak ada orang sama sekali.
Sementara di kanan kiri, penumpang lainnya berjarak cukup jauh. Aku duduk bersandar, mencari posisi nyaman untuk terlelap, aku benar-benar lelah.
Ada yang gak seperti biasanya, aku baru sadar kalau ternyata dalam kereta keadaannya gelap, biasanya kan terang benderang, sekali lagi aku gak mempedulikan hal itu, lebif fokus untuk berniat tidur.
ADVERTISEMENT
Mungkin ada kerusakan lampu di gerbongku, jadinya gelap gak ada penerangan, begitu pikirku dalam hati. Benar, dalam kereta keadaanya gelap, pencahayaan hanya didapat lampu-lampu kota dari luar, sepanjang jalan.
Sekilas aku melihat sekitar, beberapa orang di dalam kereta duduk diam dalam gelap, gak ada yang berbincang satu sama lain. Kereta jadi sangat sepi, gak terdengar suara apa-apa juga dari luar, sungguh sangat sepi.
Berbagai faktor itulah yang akhirnya membuat aku benar-benar terlelap, gak sadarkan diri.
Gak sadar kalau telah masuk ke dalam kereta yang salah..
***
Entah sudah berapa menit kemudian, aku terbangun dari tidur. Entah kenapa juga aku tiba-tiba terbangun.
Mengucek-ngucek mata, aku coba untuk memperjelas penglihatan.
Kilatan cahaya lampu dari luar terlihat berkelabatan. Gerbong kereta yang aku tempati masih dalam keadaan gelap.
ADVERTISEMENT
Ada perasaaan aneh, ketika sudah benar-benar sadar aku merasa kalau tubuhku sangat lelah, kakiku pegal tak terkira. Dan ternyata juga, tubuh dan bajuku basah oleh keringat, aku basah berpeluh, aneh. Aku merasa lelah sekali.
“Sudah sampai mana ini?” Tanyaku dalam hati kemudian. Aku kebingungan, karena sama sekali gak mengenali daerah yang sedang dilalui oleh kereta.
“Sudah hampir sampai.”
Kaget, ada suara yang tiba-tiba terdengar dekat telinga sebelah kiri. Sontak aku langsung menengok ke sumber suara.
Ternyata, sudah ada seseorang yang duduk di sebelahku, seseorang yang aku kenal.
Ada Bapak berpeci.
Bapak berpeci yang pada hari minggu lalu bersamaku di stasiun Sudirman, Bapak yang secara misterius bisa berpindah dari satu stasiun ke satu stasiun lainnya dengan cepat.
ADVERTISEMENT
Aku menegakkan posisi dudukku, lalu diam, belum berani berkata apa-apa.
Perlahan memperhatikan sekeliling. Ada beberapa penumpang yang duduk di dalam gelap, duduk di satu gerbong kereta denganku. Duduk saling berjauhan, yang berdekatan hanya aku dan Bapak berpeci ini.
Pelan-pelan ketakutan mulai menyeruak memenuhi kepala, ketika dengan bantuan sedikit cahaya dari luar akhirnya aku dapat melihat wajah dan penampilan penumpang lainnya dengan jelas, samar tapi jelas.
Satu-satu aku perhatikan, wajah mereka pucat dengan lingkar gelap di sekitar mata, mereka semua kelihatan seperti mayat. Sangat mengerikan..
Keringat dingin mulai mengucur deras.
Aku semakin ketakutan, karena kereta terus melaju tanpa henti, melewati semua stasiun yang terlewati.
“Tenang, sebentar lagi sampai.” Bapak berpeci kembali bicara dengan suara datar.
ADVERTISEMENT
Aku gak menjawab, gak mampu berbicara.
Detik berikutnya lebih mengerikan lagi..
Salah satu penumpang yang sempat aku perhatikan tadi, tiba-tiba berdiri dari duduknya.
Sosok perempuan berambut panjang. Dia berdiri lalu berjalan, melintas persis di hadapanku, menuju pintu yang menghubungkan dengan gerbong kereta yang ada di depan.
Yang mengerikan, setelah sosok perempuan itu sedang tepat berada di depanku, aku melihat kalau dia bukan berjalan, tapi melayang, kakinya seperti gak menyentuh lantai kereta.
Setelah sosok perempuan itu, berikutnya aku melihat ada sosok anak-anak yang juga melintas di depanku. Sosok anak ini juga sama, bergerak seperti melayang.
“Ya Tuhan, kereta apa yang aku naiki ini.” Aku bergumam dalam hati.
Aku ketakutan, sangat ketakutan. Ketika semakin banyak “Penumpang” yang kemudian bangun dari duduknya lalu bergerak melayang seliweran di dalam kereta.
ADVERTISEMENT
Tubuhku gemetar hebat, aku menangis dalam diam sambil memejamkan mata.
Sampai akhirnya, aku gak sadarkan diri.
***
“Mas, bangun mas.”
Aku mendengar ada suara, membangunkan aku.
Kebingungan, tapi berikutnya aku sadar kalau sudah berada di stasiun, sudah gak di dalam kereta hantu itu lagi, Tapi aku belum tahu itu stasiun apa.
“Saya di mana Pak?” Tanyaku kepada Bapak yang membangunkan aku.
“Stasiun Cilebut Mas, tadi mas tiba-tiba sudah tidur di sini.” Jawab Bapak itu.
Aku terbangun di peron jalur stasiun Cilebut, tepat di samping rel perlintasan kereta.
Aku melihat jam tangan, ternyata sudah jam empat pagi.
Kemudian aku menelpon Rendi untuk menjemputku di Cilebut.
Sungguh perjalanan kereta yang gak akan pernah aku lupakan seumur hidup.
ADVERTISEMENT
***
Hai, Balik lagi ke gw ya, Brii. 🙂
Cukup sekian cerita seram malam ini.
Sampai jumpa lagi nanti dengan cerita yang lebih mengerikan lagi. Tetap sehat, supaya bisa terus merinding bareng.
Salam,
~Brii~