
“Pa, bangun, Pa. Ada suara itu lagi.”
Malam itu, April 2010, Bu Anwar berbisik pelan ke telinga suaminya. Suaranya bergetar.
Pak Anwar bergeming, nyenyak dalam tidurnya.
“Pa, aku takut, Pa.”
Sekali lagi Bu Anwar berbisik, kali ini sambil mengguncang pelan badan suaminya.
“Ada apa lagi sih, Ma?”
Pak Anwar mulai terjaga.
“Ada suara itu lagi di luar.”
“Suara apa, Ma?”
“Suara itu, sama kayak seminggu lalu Mama cerita.”
Suara Bu Anwar masih terdengar bergetar.
Kali ini Pak Anwar benar-benar bangun. Ia duduk bersandar di atas tempat tidur. Ia perhatikan wajah istrinya dan menyadari sang istri benar-benar ketakutan.
Pak Anwar menajamkan pendengarannya.
“Papa nggak denger ada suara apa-apa.”
“Mama denger, Pa. Mama takut.”
“Ya, udah. Papa turun ya?”
“Hati-hati, Pa,” kata Bu Anwar sembari mengangguk pelan.
Pak Anwar beranjak keluar kamar, bermaksud untuk memeriksa lantai bawah. Dan ini bukan kali pertama. Pak Anwar sudah beberapa kali melakukannya.
Rumah Pak Anwar cukup besar, terdiri dari dua lantai. Di lantai bawah terdapat ruang tamu, kamar tamu, kamar asisten rumah tangga, ruang keluarga, dapur, dan dua kamar mandi.
Di lantai atas ada ruang keluarga, kamar Pak Anwar dan istri, serta kamar Rena sang anak. Dua kamar tidur di atas itu memiliki kamar mandi sendiri. Singkatnya, rumah itu tergolong besar untuk ukuran rumah di Jogja.
***
Pak Anwar menuruni anak tangga. Tangan kanannya menggenggam pegangan tangga yang terbuat dari kayu, bergeser pelan turun mengikuti gerakan kaki.
Sementara itu, telinga Pak Anwar menangkap suara percakapan itu. Ya, Pak Anwar sebenarnya mendengar suara yang dimaksud istrinya. Ia tadi berbohong—untuk yang kesekian kali—dengan pura-pura tak dengar agar istrinya tak makin ketakutan.
Di kamar atas itu, ia diam-diam juga mendengar samar suara percakapan diselingi tawa.
Pak Anwar sampai di ujung tangga—ruang tengah rumahnya di lantai bawah. Suasana remang-remang. Sedikit cahaya berasal dari lampu kecil yang menggantung di atas meja TV, dan itu tak cukup untuk membantunya melihat kondisi ruang tamu—tempat datangnya suara.
Ruang tengah dan ruang tamu rumah itu dibatasi oleh bufet kayu besar berisi hiasan-hiasan kecil dan beberapa buku koleksi keluarga. Di sisi kiri bufet, terdapat celah lebar layaknya pintu yang menghubungkan kedua ruangan.
Percakapan samar masih terus terdengar. Suara-suara itu nyaris seperti gumaman yang hilang-timbul ketika koneksi buruk.
Pan Anwar bukannya tak takut. Tapi ia tak punya pilihan selain menghadapinya.
Perlahan, Pak Anwar mendekati celah penghubung ruang tengah dan ruang tamu. Ia hampir sampai, lalu menghentikan langkah dan berdiri diam; melawan takut yang kian menggelembung. Suara-suara itu semakin keras.
Pak Anwar memaksa kakinya bergerak ke celah penghubung ruangan. Kini ia bisa melihat mereka—tiga sosok misterius yang duduk di ruang tamu rumahnya. Ia tak tahu siapa mereka.
Sekujur tubuh Pak Anwar kaku. Butiran keringat dingin bergulir dari kening.
Tiga sosok lelaki tengah duduk berhadapan di kursi kayu mewah miliknya. Usia mereka mungkin 40-an tahun. Mereka tampak belum menyadari kehadiran Pak Anwar.
Namun kemudian salah satu dari mereka memiringkan kepala dan menoleh ke Pak Anwar sambil tersenyum. Mereka bertatapan dalam gelap. Berikutnya, dua sosok lainnya ikut menoleh ke Pak Anwar. Mereka semua berhenti bicara. Hening.
Ketakutan, Pak Anwar mengumpulkan sisa nyalinya dan memberanikan diri bicara.
Terbata-bata, Pak Anwar cuma berharap mereka semua cepat pergi meninggalkan rumahnya.
Tiga sosok itu masih diam dan tersenyum seram.
“Tolong, kalian pergi dari sini.”
Sekali lagi, Pak Anwar bersuara. Kali ini lebih lantang. Ia berjuang mati-matian melawan ngeri.
Sesaat kemudian, ketiga sosok itu berdiri satu per satu, lalu bergerak perlahan menuju pintu kayu besar yang tertutup rapat. Mereka lantas keluar—menembus pintu.
Pak Anwar naik lagi ke lantai atas. Ia melangkah gontai—dan kaget ketika melihat Rena, putrinya, berdiri di ujung atas tangga.
“Mereka sudah pergi, Pa?” tanya Rena.
“Sudah, Nak. Kamu masuk kamar lagi ya, Sayang. Dan, jangan cerita ini ke Mama,” ucap Pak Anwar, mengingatkan.
Rena mengangguk. Wajahnya pucat karena ketakutan.
***
Pak Anwar adalah pengusaha yang cukup sukses. Jaringan bisnisnya menyebar hampir ke seluruh penjuru Pulau Jawa. Bersama istri dan anak perempuannya, ia tinggal di satu perumahan di sisi selatan Jogja.
Mereka belum lama tinggal di perumahan itu. Belum sampai satu tahun. Sebelumnya, mereka menetap di pusat kota Jogja. Namun karena rumah yang terdahulu sudah terasa sesak, di pengujung 2009 mereka memutuskan untuk mencari tempat tinggal baru yang asri dan jauh dari pusat kota.
Pak Anwar kemudian melihat beberapa rumah, tapi belum menemukan yang cocok. Sampai suatu hari, Seto, anak buah Pak Anwar, memberi tahu ada rumah dijual di kompleks yang berjarak sekitar 30 km dari pusat Jogja.
“Masih asri dan bersih udaranya, Pak. Kalau Bapak mau, saya bisa antar untuk lihat-lihat.”
Pertama kali melihat rumah itu, Pak Anwar langsung senang. Rumah itu bertingkat dengan halaman luas dan arsitektur modern. Ia tak berlokasi di pinggir jalan utama yang ramai sehingga tak bising dengan suara kendaraan lintas Jawa.
Suasana di dalam perumahan itu juga tak ramai karena hanya berisi sekitar 50 rumah. Masing-masing rumah berukuran besar dengan tanah luas. Jarak antara satu rumah dengan lainnya pun cukup lebar namun tak berjauhan sehingga kompleks terlihat cantik.
Hal lain yang Pak Anwar suka: perumahan dikelilingi tembok tinggi dan hanya punya satu akses keluar-masuk yang dijaga petugas keamanan; serta dilengkapi taman luas di tengah kompleks yang ditumbuhi pepohonan besar dan rindang.
Setelah beberapa kali mengajak istri dan anaknya melihat rumah itu, Pak Anwar sekeluarga pun pindah ke sana.
***
“Semalam beneran nggak ada apa-apa, Pa?” tanya Bu Anwar sekali lagi sembari sarapan.
“Nggak ada, Ma. Mungkin yang Mama dengar suara tetangga kali. Kan kadang mereka kenceng juga kalau ngobrol,” jawab Pak Anwar menenangkan istrinya.
“Ah, Papa ini. Mama yakin kok kalau ada suara orang ngobrol di bawah. Ini bukan pertama kali lho, Pa. Sebelumnya Mama udah denger beberapa kali juga.”
“Iya, Ma. Trus kalau Papa nggak denger dan nggak lihat apa-apa di bawah gimana, dong?”
Bu Anwar tak puas. Ia yakin mendengar suara dari lantai bawah malam tadi. “Rena, kamu nggak denger apa-apa, Nak?”
Rena yang sedang menghabiskan makanan di piringnya agak kaget. “Eh, err, nggak, Ma. Aku nggak denger apa-apa. Tidur nyenyak.”
“Eh, aku udah terlambat kuliah nih. Jalan dulu ya, Ma, Pa,” ujar Rena buru-buru. Lebih baik ia segera pergi untuk menghindari pertanyaan lanjutan.
“Ya sudah, hati-hati. Jangan ngebut,” ucap ayahnya.
Rena pun mengeluarkan mobil dari garasi dan menyetir menuju kampus sambil memikirkan kejadian semalam. Semakin lama tinggal di rumah itu, Rena semakin tak tahan. Sudah setengah tahun, dan ia serta ayahnya harus berpura-pura tak ada apa-apa di hadapan ibunya.
Jangan sampai hal itu menganggu pikiran ibunya, sebab ia punya kelainan jantung. Ibu Rena tak boleh cemas atau stres.
***
“Waduh, Rena ngebut banget bawa mobil,” kata Ivan ketika mobil Rena melintas. Ia kaget dan menginjak rem dalam-dalam.
Seperti Rena, Ivan juga tengah bermobil ke kampus dari perumahan itu.
Siapa sosok Ivan ini?
👻👻👻 Bersambung👻👻👻
______________________
Catatan editor: sebagian teks pada cerita ini dialihmediakan menjadi audio. Putar media player di sepanjang cerita untuk mendapatkan kisah secara utuh.
Cerita ini adalah bagian pertama dari kumpulan cerita "Brii Horror Stories". Baca kelanjutan dan cerita-cerita lainnya di sini: