Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Rumah Hantu di Perkebunan Karet (4)
25 Juni 2020 11:39 WIB
Tulisan dari BriiStory tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Empat
Rombongan pembawa keranda mayat
Hari-hari mulai berlalu, tidak terasa aku sudah tinggal selama hampir tiga bulan di tempat ini bersama Wahyu. Kami menjalankan tugas pekerjaan dengan sebaik-baiknya, menjalankan proses perawatan dan penyadapan pohon karet sesuai dengan langkah-langkah yang baik dan benar.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanannya, beberapa kali kami menemui keganjilan-keganjilan yang terjadi di tempat ini, semuanya dapat sangat di luar nalar, namun aku dan Wahyu harus menghadapi semuanya dengan tabah dan sabar.
Keganjilan itu kadang terjadi membawa serta keseraman yang membuat bulu kuduk bergidik ketakutan, nyali diseret sampai ke batas paling tinggi.
Nenek yang menyapu dengan sapu lidi juga masih beberapa kali terdengar aktivitasnya, terkadang lengkap dengan suara ringkih tawa cekikikan. Namun sebisa mungkin kami mengabaikan, tidak pernah sekalipun berniat membuka jendela untuk melihat wujudnya. Walaupun masih sangat ketakutan, kami tetap membiarkannya sampai menghilang dan tidak terdengar lagi.
***
Setelah sudah cukup lama bekerja di tempat ini, sedikit banyak aku sudah mengenal seluk beluknya, nyaris hapal setiap sudut bagiannya. Itu terjadi karena salah satu rutinitasku adalah berkeliling ke setiap penjuru perkebunan, lebih banyak sendirian dari pada bersama Wahyu, karena dia lebih banyak bertugas mengawasi para pekerja.
ADVERTISEMENT
Beberapa bagian perkebunan yang menurutku cukup menyeramkan, walaupun itu di siang hari. Beberapa kali aku harus memacu motor lebih cepat ketika melewati tempat-tempat itu. Sering kali juga aku merasa seperti ada yang memperhatikan dari jauh, mengamati setiap pergerakanku, seperti sedang mengawasi.
Ada satu sudut perkebunan yang sepertinya selalu menjadi perhatianku, letaknya di paling ujung, berbatasan langsung dengan hutan yang ada di sisi luar perkebunan. Sudut ini belum tersentuh garapan para pekerja, karena jaraknya memang jauh, kami belum menjangkau sampai ke sana.
Oh iya, perkebunan karet ini dikelilingi oleh hutan yang belantara, hutan yang masih banyak berisi pepohonan besar dan rindang, cukup menyeramkan walaupun pada siang hari.
Wilayah perkebunan yang berbatasan dengan hutan ini jaraknya jauh dari rumah tempat tinggal, tapi walaupun begitu kami tetap harus berpatroli sampai ke wilayah itu.
ADVERTISEMENT
***
Pada satu sore yang normal, aku berpatroli sendirian keliling perkebunan dengan berjalan kaki, patroli yang sudah aku lakukan sejak pagi.
Nyaris pukul lima sore, ketika para pekerja sudah selesai mengerjakan tugasnya, suasana sangat sepi, tidak ada orang sama sekali. Cuaca sangat bersahabat, sore yang cerah namun tidak terlalu panas. Aku berjalan kaki menyusuri jalan setapak yang membelah sela-sela barisan pohon karet.
Sampai akhirnya, aku tiba di wilayah yang menurutku agak sedikit menyeramkan, tidak ada orang sama sekali, sangat sepi. Hari sudah berangsur gelap, namun sedikit goresan cahaya mentari masih mampu menembus sela pepohonan, masih sanggup menerangi sekitar.
Angin semilir menghembus perlahan, membuat suasana menjadi sejuk.
Aku tetap melanjutkan langkah tanpa ragu, karena benar-benar berniat melihat keadaan dan memastikan kalau semuanya aman. Berhenti melangkah tepat di barisan pepohonan karet yang paling ujung, lalu memperhatikan sekeliling. Sekitar dua puluh meter di depan, sudah masuk ke wilayah hutan rimba.
ADVERTISEMENT
Terus saja melemparkan pandangan ke segala penjuru arah, aku ingin memastikan kalau perkebunan dalam keadaan aman.
Namun tiba-tiba pandanganku terhenti pada salah satu sudut hutan, bukan di dalam wilayah perkebunan karet, ada pemandangan yang menarik perhatian. Dalam suasana yang sudah mulai gelap, ada dua orang yang sedang sibuk mengerjakan sesuatu, aku menebak dari kejauhan kalau mereka seperti sedang menggali tanah.
Karena kegiatan yang mereka lakukan bukan di wilayah yang menjadi tanggung jawabku, sebenarnya aku bisa saja mengabaikan dan balik badan lalu pergi, tetapi rasa penasaran membuatku sangat tertarik ingin tahu apa yang sebenarnya sedang mereka lakukan. Kemudian melangkahkan kaki mendekati mereka.
Setelah sudah cukup dekat, barulah aku dapat melihat dengan jelas, melihat kegiatan apa yang sedang mereka lakukan sesungguhnya.
ADVERTISEMENT
Dua orang laki-laki mengenakan pakaian hitam-hitam, dengan caping di kepalanya masing-masing. Keduanya menggunakan cangkul untuk manggali tanah, masing-masing orang menggali satu lubang, jadi ada dua lubang yang sedang digali.
Penggalian lubang ini terjadi di antara pohon-pohon rindang.
Yang pasti, aku perhatikan kalau mereka sangat fokus dengan kegiatan yang sedang dilakukan, hingga tidak menyadari akan kehadiranku yang sudah berdiri beberapa meter di belakang mereka.
Lubang yang mereka gali berukuran kira-kira satu kali dua meter, seperti kuburan..
Iya, tampaknya mereka sedang menggali dua liang kubur. Aneh, karena sudah beberapa waktu lamanya tinggal di tempat ini, aku sama sekali belum pernah melihat ada pemakaman di wilayah ini.
Aku masih tetap diam tidak mengganggu, hanya berdiri memperhatikan mereka yang terus saja menggali.
ADVERTISEMENT
Ada satu lagi yang menarik perhatianku, membuat aku semakin yakin kalau mereka benar-benar sedang menggali liang kubur.
Di sebelah salah satu liang, aku melihat dua papan kayu yang berbentuk nisan, tergeletak bersebelahan. Posisiku berdiri cukup dekat untuk dapat membaca tulisan yang ada di kedua papan itu. Papan pertama tertulis “SUPRI”, papan yang kedua tertulis “MARYONO”, tulisan itu menggunakan cat berwarna hitam yang cukup tebal.
Hari sudah semakin gelap ketika akhirnya mereka menghentikan kegiatannya, setelah itu barulah mereka menoleh ke arah aku yang berdiri di belakang.
“Assalamualaikum, saya Heri, yang bekerja di perkebunan sebelah. Warga mana yang baru meninggal Pak?”
Aku membuka percakapan sambil memperkenalkan diri, tidak lupa mengulurkan tangan mengajak bersalaman.
ADVERTISEMENT
Salah satu orang berjalan pelan mendatangiku, seorang lelaki berkumis tipis dengan usia sekitar empat puluh tahun. Lalu dia menyambut uluran tanganku, kami bersalaman.
Aku kaget, karena ketika bersalaman, tanganku merasakan kalau tangan bapak itu sangat dingin, seperti mayat..
Lalu beliau akhirnya bersuara, memperkenalkan diri.
“Saya Supri, itu teman saya Maryono.” Begitu katanya, sambil sekilas melirik ke arah temannya yang satu lagi.
Reflek, aku menarik tanganku melepaskan dari genggamannya.
Nama yang mereka sebutkan adalah nama yang tertera pada dua papan nisan yang tergeletak di sebelah liang kubur..
Sosok lelaki yang mengaku bernama Supri, di bawah capingnya tersenyum menyeramkan dengan wajah yang pucat dan mata melotot. Sementara rekannya yang berdiri agak di belakang hanya diam tanpa kata, dengan wajah yang terlihat pucat juga.
ADVERTISEMENT
Aku langsung merinding ketakutan, berjalan mundur perlahan menjauhi mereka yang tetap diam di tempatnya.
Lalu aku berlari cepat menjauh, semakin cepat lariku meninggalkan mereka, hingga akhirnya tidak kelihatan lagi.
***
Kejadian yang cukup aneh dan menakutkan itu langsung aku ceritakan kepada Wahyu pada malam harinya, dia bilang belum pernah melihat kejadian itu karena memang belum pernah berjalan sendirian sampai ke tempat yang aku maksud. Wahyu hanya bilang kalau dia pernah mendengar cerita dari mulut ke mulut kalau dulunya ada satu wilayah hutan yang pernah terjadi peristiwa yang menyeramkan. Peristiwa bertahun-tahun yang lalu, sudah lama sekali.
Pernah ada dua atau beberapa orang yang dibunuh oleh sekelompok orang lainnya, menurut kabar peristiwa itu terjadi karena ada perselisihan sengketa tanah antar kelompok. Korbannya disuruh untuk menggali liang kuburnya sendiri sebelum dibunuh.
ADVERTISEMENT
Rentetan peristiwa yang sangat menyeramkan, tapi untuk kebenarannya aku belum tahu, entahlah..
***
Pada suatu sore yang cerah, kami kedatangan tamu, Pak RT dari salah satu desa terdekat datang berkunjung, Pak Roni namanya. Sebelumnya beliau sudah beberapa kali datang berkunjung, kali ini adalah kunjungan untuk yang ke sekian kali.
Saat itu kami berbincang seru sambil menikmati kopi dan singkong rebus hasil dari kebun sendiri, hasil berkebun Wahyu di sela-sela waktunya.
Seperti biasa, Pak Roni bercerita dengan gaya khasnya, bersemangat. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya selalu dibarengi dengan mimik wajah dan gestur tubuh yang membuat cerita menjadi tambah seru, kami senang melihat dan mendengarnya bercerita.
“Jadi, rumah yang kalian tempati ini sudah lama berdiri, berbarengan dengan berdirinya perkebunan ini, sekitar tahun 1950an. Waktu itu saya masih kecil, tapi kurang lebihnya saya paham sejarah tempat ini. Sebelum perkebunan ini berdiri, ada sebuah desa di sini, desa yang tidak terlalu besar, penduduknya pun tidak banyak, desa yang cukup terpencil. ”
ADVERTISEMENT
“Ada kisah yang membuat bulu kuduk bergidik, alias mengerikan.” Begitu kata Pak Roni pada salah satu penggalan ceritanya.
“Mengerikan gimana Pak?” Tanyaku yang mulai penasaran.
Dengan logat melayu yang kental dia melanjutkan, kali ini volume suaranya mengecil nyaris berbisik, ada gurat kecemasan pada raut wajahnya.
“Ada pemakaman di dalam desa itu. Pemakaman yang cukup besar, luasnya hampir separuh dari luas wilayah desa.”
“Kenapa sampai seluas itu?, karena diperuntukkan bukan hanya untuk orang meninggal yang berasal dari desa itu saja, tapi untuk orang-orang meninggal dari desa-desa lain di sekitarnya, kadang dari desa yang cukup jauh. Dan juga, katanya pemakaman itu sudah sangat tua usianya, sudah ada sejak tahun 1800an.”
Aku dan Wahyu sangat fokus mendengarkan beliau bercerita, cerita yang sungguh membuat kami cukup ketakutan.
ADVERTISEMENT
“Hingga akhirnya, desa tersebut digusur untuk penanaman pohon karet ini, untuk perkebunan ini. termasuk pemakaman besar itu, ikut juga digusur dan makam-makamnya dipindahkan tempat pemakaman baru.”
Tiba-tiba Pak Roni menghentikan ceritanya sejenak, menarik napas panjang lalu mendekatkan posisi duduknya ke posisi kami duduk, setengah berbisik kemudian dia melanjutkan cerita dengan mimik wajah yang semakin ketakutan.
“Menurut cerita yang beredar, ada banyak makam yang gak terbawa saat proses pemindahan, karena kurangnya data mengenai jumlah makam yang ada. Hanya makam-makam yang kelihatan aja yang dipindahkan, sedangkan sisanya masih tertinggal di wilayah ini.”
Aku dan Wahyu terkejut mendengarnya, terkejut kenapa? Karena kami jadi teringat satu peristiwa yang kami alami beberapa hari sebelum Pak Roni datang. Peristiwa yang sepertinya ada hubungannya dengan kisah seram yang beliau ceritakan.
ADVERTISEMENT
***
-Beberapa hari sebelumnya-
Karena jarak tempuh ke kota terdekat yang jauh, maka untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari kami tidak pergi ke kota setiap hari, kami menjadwalkannya dua minggu sekali.
Untuk kegiatan itu, selalu menggunakan sepeda motor, jarak tempuh perjalanannya dua jam lebih pulang dan pergi.
Tidak seperti biasanya, karena satu dan lain hal, saat itu kami terpaksa berangkat ke kota pada sore hari, biasanya pagi atau siang hari di hari libur.
Sekitar jam lima sore, setelah semua pekerjaan selesai, kami berangkat ke kota. Singkat cerita, saat maghrib tiba kami sudah sampai tujuan.
Selepas Isya belanja selesai, dan bersiap untuk pulang.
Tetapi ada kejadian yang akhirnya membuat kami tertahan di kota, ketika tiba-tiba bertemu dengan atasan yang kebetulan baru pada siang harinya datang mengunjungi perkebunan, beliau diutus oleh kantor pusat untuk melaksanakan kunjungan rutin. Sebelum melanjutkan perjalanan pekerjaan, beliau menyempatkan diri untuk beristirahat di kota itu sebentar.
ADVERTISEMENT
“Wah kebetulan, ayok kita cari makan dulu.” Begitu kata Pak Burhan.
Iya, beliau bernama Pak Burhan.
Ajakan untuk makan sangat berat untuk kami tolak, karena memang sudah sangat lapar, dan kami yakin beliau pasti akan mengajak ke restoran yang besar dengan makanan lezatnya.
Benar, kami mampir di salah satu restoran Padang yang cukup terkenal, pucuk dicinta ulam tiba, kami makan enak malam itu.
***
Kami berbincang cukup lama, karena masih banyak keluh kesah yang belum sempat disampaikan pada pertemuan sebelumnya, mengenai pekerjaan dan hal lainnya.
Menjadi lupa waktu.
Hingga akhirnya Wahyu member kode dengan menendang kakiku, aku langsung melihat arloji, ternyata sudah hampir jam sepuluh malam. Dengan sedikit berbasa basi, aku menutup pembicaraan dan pamit pulang. Pak Burhan mengerti akan hal itu, lalu menutup pertemuan.
ADVERTISEMENT
Kami pun pulang.
Malam jumat ini udara cukup dingin, angin berhembus kencang menerpa wajahku yang duduk di belakang. Wahyu cukup sigap mengendalikan motor yang berjalan cepat, sepertinya dia ingin segera sampai di rumah.
Lima belas menit awal perjalanan kami masih terlibat perbincangan yang cukup seru, walaupun sambil membawa barang belanjaan banyak di atas motor. Namun ketika sudah memasuki wilayah hutan, kami lebih banyak terdiam, tidak ada percakapan.
Apakah karena takut? Iya, aku mulai merasakan sedikit takut. Dan aku yakin kalau Wahyu merasakan hal yang sama.
Jalan sudah berbentuk jalan tanah setapak, kanan kiri hanya kelihatan pohon-pohon besar yang berdiri berdesakan, amat sangat gelap. Suara motor yang meraung-raung memecah kesunyian, cahaya lampunya menjadi sumber penerangan satu-satunya yang menuntun kami kembali ke rumah.
ADVERTISEMENT
Perkiraanku, hanya tinggal beberapa kilometer lagi kami akan sampai, ketika aku tengah memperhatikan lampu motor yang berkedap kedip, redup terang, seperti akan mati. Ditambah suara mesinnya yang batuk-batuk.
Beberapa belas meter kemudian benar terjadi, mesin motor mati.
Sesuatu yang sangat aku khawatirkan sejak tadi akhirnya menjadi nyata, kami terdampar di tengah hutan.
Tidak ada yang bisa dilakukan selain turun dari motor, kemudian Wahyu langsung coba memperbaiki. Wajahnya terlihat cemas.
“Apa kita dorong aja motornya Yu?” Aku melontarkan ide.
“Saya coba perbaiki dulu Pak, siapa tahu Cuma businya yang kotor.” Begitu jawab Wahyu.
Suasana mulai terasa berbeda, di gelapnya malam itu hanya terdengar suara peralatan Wahyu yang sedang mencoba memperbaiki motor, selain itu tidak ada suara lain.
ADVERTISEMENT
Sangat hening..
Semakin terasa mencekam ketika dari kejauhan tiba-tiba terdengar lolongan panjang anjing hutan, lolongan yang biasanya memberi tanda akan kehadiran sesuatu.
Aku coba mengalihkan pikiran dengan ikut berjongkok di sebelah Wahyu.
Sementara suara lolongan anjing semakin jelas terdengar.
Aku langsung menoleh ke arah Wahyu ketika tiba-tiba dia mencolek tanganku, kemudian jarinya menunjuk ke arah hutan, seperti ingin menunjukkan sesuatu.
Di tengah gelapnya keadaan, aku berusaha keras untuk melihat ke tempat yang Wahyu maksud, tapi pada detik itu aku belum bisa melihat apa-apa, hanya deteran pohon dalam gelap gulita.
Suara lolongan anjing kembali terdengar, ketika akhirnya aku dapat melihat sesuatu yang Wahyu maksud..
***
Di kejauhan, aku melihat seperti ada belasan orang yang seperti berbaris. Sebegitu gelapnya, membuatnya masih terlihat berbentuk bayangan hitam. Mereka berjalan bergerak dari dalam hutan menuju tempat kami berada.
ADVERTISEMENT
Semakin dekat dan semakin mendekat..
Ketika sudah cukup dekat, barulah kami dapat melihat kalau mereka ternyata sedang membawa sesuatu..
Beberapa orang yang berbaris paling depan ternyata tengah memanggul keranda mayat pada pundaknya.
Iya, mereka membawa keranda mayat, berjalan cukup cepat.
Suasana sangat mencekam, kami terdiam. Sangat menyeramkan, tengah malam buta di tengah hutan belantara ada orang yang berbaris membawa keranda mayat.
Kami merinding ketakutan..
Ketika jarak sudah sangat dekat, baru terlihat kalau orang-orang itu berpakaian serba hitam, berbaris memanjang ke belakang, sambil berjalan..
Ah ternyata bukan berjalan, mereka terlihat seperti melayang, kakinya tidak menyentuh tanah walau tetap bergerak seperti orang yang sedang melangkahkan kaki.
Kami semakin diam ketakutan menyaksikannya.
Tapi untunglah, ketika sudah tinggal hanya beberapa meter lagi, mereka berbelok ke kiri, ke arah di mana rumah kami berada.
ADVERTISEMENT
Mereka semua berbelok, lalu semakin menjauh dan menjauh, hingga menghilang ditelan gelapnya malam. Bersamaan dengan itu, lolongan anjing ikut menghilang.
Setelah sudah mulai hilang ketakutan, Wahyu mencoba menghidupkan motor lagi, tapi kami tetap belum ada perbincangan, masih diam tanpa kata.
Sukurlah, motor akhirnya kembali dapat menyala seperti semula, lalu buru-buru kami melanjutkan perjalanan pulang.
Kali ini Wahyu sangat pelan mengeendarai motor, sepertinya masih ketakutan.
Tapi, beberapa belas menit kemudian, aku kaget, kami nyaris jatuh dari motor, karena Wahyu tiba-tiba menginjak pedal rem dalam-dalam.
***
Kebayang kan gimana kalo jadi Om Heri dan Wahyu?
Kalo gak sabar sama lanjutannya yuk acak2 post dan threadnya di Twitter @briistory atau IG @brii_story, atau versi tuntasnya hanya bisa dibaca di bukunya, ada kok di toko buku terkemuka, atau bisa cari di online shop/marketplace terkemuka di tanah air dengan kata kunci "Rumah di Perkebunan Karet".
ADVERTISEMENT
Jaga kesehatan, jaga kewarasan, biar bisa merinding bareng terus.