Rumah Hantu di Perkebunan Karet (5)

BriiStory
Jangan baca sendirian..
Konten dari Pengguna
26 Juni 2020 13:44 WIB
comment
26
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari BriiStory tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Karena Hantu, Rumah Tak Laku. Foto: Dok. kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Karena Hantu, Rumah Tak Laku. Foto: Dok. kumparan
ADVERTISEMENT
Lima
Prosesi pemakaman di tengah malam
Allahuakbar!, ada apa Yu?”
ADVERTISEMENT
Aku terkejut dengan pengereman mendadak yang Wahyu lakukan, karena itu pula kami jadi nyaris jatuh dari motor.
Wahyu tidak menjawab, namun jari tangannya menunjuk ke depan, ke rumah kami yang sudah berjarak sekitar tiga puluh meter di hadapan. Aku langsung melempar pandangan ke arah yang dia maksud.
Masih tetap dalam posisi duduk di atas motor, dengan bantuan cahaya lampu motor yang masih menyala tidak terlalu terang, aku melihat pemandangan aneh dan menyeramkan yang terjadi tepat di depan rumah.
Awalnya tidak dapat melihat dengan jelas apa gerangan yang sedang terjadi, tapi ketika mata sudah mulai terbiasa melihat dengan cahaya minimal, barulah aku dapat melihat semuanya.
Ternyata rombongan pembawa keranda mayat berhenti dan berkumpul tepat di halaman rumah kami, mereka semua berdiri diam menghadap pintu depan, beberapa sosok yang berdiri di depan tetap memanggul keranda di pundaknya.
ADVERTISEMENT
“Matikan lampu Yu.” Aku berbisik menyuruh Wahyu untuk mematikan lampu motor.
Ketika lampu motor sudah dalam keadaan mati, suasana menjadi tambah gelap, tetapi kami masih bisa melihat pemandangan itu, dengan bantuan siraman cahaya langit dan bulan yang muncul mengintip dari balik awan.
Lalu kami turun dari motor, mendekat ke pohon karet yang ada di sebelah kiri dan bersembunyi di baliknya. Mengintip dari sudut itu, memperhatikan dengan seksama “kegiatan” yang sedang mereka lakukan.
Beberapa sosok paling depan yang sejak awal memanggul keranda, perlahan menurunkan keranda dari pundak lalu meletakkannya di atas tanah. Sementara sosok lainnya, yang berada di belakang, mulai menyebar membentuk lingkaran kecil, mengelilingi keranda.
Pada detik itu pula kami baru dapat melihat kalau di sebelah keranda ternyata sudah ada lubang di tanah dengan ukuran kira-kira satu kali dua meter, itu liang kubur, entah siapa yang menggali sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Mereka mengelilingi keranda mayat dengan liang kubur di sebelahnya!
Kemudian beberapa sosok mulai membuka kain penutup keranda yang berwarna gelap, di dalamnya berdiam seonggok jenazah berbalut kain kafan berwarna kusam. Iya, ada pocong seukuran manusia dewasa terbaring di sana..
Kami masih berdiri diam ketakutan mengintip dari balik pohon, hanya dapat melihat tanpa berkedip, berusaha sekuatnya agar tidak mengeluarkan suara. Memperhatikan detik demi detik pemandangan menyeramkan yang tengah berlangsung.
Beberapa sosok mulai menurunkan jenazah dari atas keranda, lalu memasukkannya ke liang kubur. Setelah jenazah sudah berada di dasar lubang beberapa sosok lainnya mulai menutupnya dengan tanah.
Kami semakin ketakutan, banyak pertanyaan yang muncul di dalam benak.
Mereka siapa?
Siapa yang meninggal?
ADVERTISEMENT
Kenapa menguburnya di depan rumah tempat tinggal kami?
Beberapa menit kemudian proses penguburan selesai. Beberapa sosok kembali memanggul keranda di pundaknya, lalu satu persatu membalik badannya menjadi menghadap ke tempat kami berada, yang masih saja mengintip dari balik pohon.
Beberapa puluh detik lamanya mereka tetap diam tidak bergerak di tempatnya, terpaku samar di dalam gelap. Sementara kami semakin ketakutan, ketika tiba-tiba mereka perlahan mulai bergerak maju, mendekat ke tempat kami berdiri.
Berjalan melayang dengan kaki bergerak seperti manusia yang tengah melangkahkan kaki, kami terus mengikuti pergerakan mereka yang terus semakin mendekat.
Berdiri berjajar di balik pohon, kami tidak bisa pergi menjauh, kaki seakan terpaku di tempatnya, amat sangat berat untuk digerakkan, dan mereka terus saja semakin mendekat.
ADVERTISEMENT
Tiba-tiba Wahyu jatuh terduduk, menundukkan wajahnya seperti sedang menangis.
Aku membaca doa terus menerus di dalam hati, tubuh gemetar hebat, keringat dingin bercucuran, ketika perlahan rombongan pembawa keranda melintas tepat di hadapan. Tidak ada hembusan angin, tidak ada wangi yang tercium, tidak ada suara yang terdengar. Mereka berjalan dalam diam dengan wajah memandang lurus ke depan.
Sekali lagi, aku hanya dapat berdiri diam membisu ketika mereka benar-benar tengah melintas di hadapan, kami hanya terpisahkan jarak sekitar tiga meter.
Hanya beberapa belas detik peristiwa itu terjadi, setelahnya mereka bergerak menjauh. Tapi walaupun begitu, mataku tetap mengikuti pergerakan mereka hingga akhirnya perlahan menghilang ditelan gelapnya perkebunan karet.
Lega, aku lalu jatuh terduduk di sebelah Wahyu.
ADVERTISEMENT
“Sudah menghilang Yu, sudah aman.”
Wahyu mengangkat wajahnya, membasuh air mata dengan tangannya.
“Maaf Pak, saya gak kuat, badan saya lemas, saya takut..”
“Kita kembali ke kota aja ya Pak, saya gak berani masuk rumah. kita menginap di rumah teman saya aja.”
Aku tidak tega kalau harus memaksa Wahyu untuk masuk rumah, yang jaraknya hanya tinggal selemparan pandang, Wahyu sangat ketakutan, terpaksa aku mengangguk menuruti ajakannya.
“Tapi biar saya yang bawa motornya ya Yu, kamu dibonceng.”
Wahyu setuju, kami langsung naik ke atas motor dan meninggalkan tempat itu menuju tempat tinggal teman Wahyu di kota.
***
Keesokan harinya, kami kembali pulang ke rumah, ketika matahari baru saja terbit kami sudah dalam perjalanan. Sepagi mungkin harus berangkat supaya tidak terlambat sampai perkebunan.
ADVERTISEMENT
Sinar matahari mulai menembus sela-sela pohon karet, perlahan hangatnya mulai menyingkirkan tebalnya kabut pagi, menyisakan hamparan embun yang berkilau memantulkan sinar di atas rerumputan.
Suasana perkebunan sangat berbeda dengan saat melintasi jalan yang sama pada malam sebelumnya, pagi ini sangat jauh dari kesan menyeramkan.
Setelah satu jam lebih perjalanan, akhirnya sampai di rumah.
Di halaman, pandangan tertuju ke tempat di mana malam sebelumnya kami melihat banyak sosok yang melakukan prosesi pemakaman. Wahyu berjalan berputar untuk menuju pintu, menghindari “kuburan” di halaman.
Tidak ada apa-apa, tidak ada gundukan tanah kuburan, tidak ada sisa-sisa kegiatan pemakaman, hanya tanah beralaskan rumput dengan kondisi sama pada saat kami meninggalkannya kemarin sore.
Masih diam tanpa kalimat, kami masuk ke dalam rumah, bersiap untuk melaksanakan pekerjaan rutin seperti hari-hari sebelumnya.
ADVERTISEMENT
***
“Maaf Pak, semalam saya benar-benar ketakutan. Lutut saya lemas, sampai sesak dada saya, gak berani lanjut melihat kehiatan mereka.”
Wahyu membuka percakapan ketika kami sudah di luar rumah, di sela-sela bekerja mengawasi perkebunan.
“Gak apa-apa Yu, wajar kalau takut, peristiwanya memang sangat menyeramkan.”
“Nanti ke depannya, sebisa mungkin kita gak usah keluar sampai larut malam, kalau gak benar-benar terpaksa.” Begitu ucapku untuk menenangkan Wahyu.
Ketika pekerjaan selesai pada sore harinya, kamu kembali ke rumah. Dalam perjalanan Wahyu sempat melontarkan ide agar kami kembali bermalam lagi di kota, tempat tinggal temannya.
“Gak usah Yu, kita bermalam di rumah aja. Rasa takut harus dilawan, kalau kita menghindar terus, mau sampai kapan?”
ADVERTISEMENT
Aku coba memberi alasan agar kami tetap bermalam di rumah saja, padahal di dalam lubuk hati yang paling dalam aku juga masih ketakutan, masih trauma dengan kejadian yang kami alami malam kemarin.
***
Malam pun tiba, jam delapan malam kami sudah berada di kamar. Ruang tengah kami biarkan terang benderang, petromak tetap menyala.
Di kamar kami sempat berbincang banyak hal, tapi tidak sedikit pun menyinggung tentang peristiwa kemarin, sebisa mungkin terus mengalihkan pikiran agar tidak menyentuh sisi ketakutan yang sepertinya terus saja berusaha menyeruak.
Tidak terasa, sudah jam sepuluh, mata sudah sangat mengantuk yang diakibatkan kekurangan tidur sehari semalam. Tapi tetap saja, pikiran masih belum bisa beristirahat, menerawang ke mana-mana.
ADVERTISEMENT
Berbaring bersebelahan, hanya sesekali kami terlibat perbincangan ringan dalam suasana yang semakin hening. Aku tahu, Wahyu masih gundah dan was-was, garis kekhawatiran masih terlihat di raut wajahnya, rasa takut memonopoli keyakinan diri yang terus bertanya-tanya apa yang akan terjadi malam ini. Aku pun sama, takut, namun di dalam hati terus memanjat doa kepadaNya agar dapat melewati malam ini tanpa ada kejadian apa-apa.
***
Jam sebelas lewat sepuluh menit,
Yang tadinya suara jangkrik dan binatang malam terdengar bersahutan tiba-tiba hilang, suasana menjadi sangat hening dan sepi. Hembusan angin dingin perlahan masuk ke kamar melalui lubang jendela. Kami yang memang sudah lebih banyak diam, semakin enggan untuk bersuara. Sambatan alam yang tadinya bernada normal, beranjak bisu seketika, menyisakan tanya, akan ada apa gerangan di riuh selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Aku melihat raut wajah Wahyu mulai tegang ketakutan ketika kami mendengar suara yang menarik perhatian..
Srek, sreek, srek..” Suara yang sudah kami kenal.
Suara yang beberapa kali terdengar di tengah malam. Suara nenek yang sedang menyapu menggunakan sapu lidi itu terdengar lagi. Kami hanya diam, mendengarkan. Tidak ada niat sedikit pun untuk berdiri dan melihat ke luar jendela, tidak ada..
Tetap terbaring diam di atas tempat tidur, walaupun berikutnya nenek itu mulai mengeluarkan suara tawa ringkih seakan coba menarik perhatian.
Hihihihi..”
Kami tetap diam, membiarkannya terus beraktivitas di luar sambil berharap semoga cepat selesai dan menghilang.
Jam dua belas lewat tengah malam,
Sukurlah, suara sapu dan tawa nenek itu sudah tidak terdengar lagi, suasana kembali hening dan sunyi seperti sedia kala. Jangkrik dan binatang hutan lainnya kembali bersuara, sedikit meramaikan sepi, menggugurkan kekhawatiran yang sempat menuju puncak.
ADVERTISEMENT
Kami jadi sedikit lega, beranggapan kalau malam itu hanya ada gangguan dari nenek penyapu halaman, setelah itu selesai dan dapat mulai tidur.
Tapi ternyata salah, ini belum selesai..
***
Lima menit menjelang jam satu dini hari,
Suasana serta merta menjadi hening kembali. Sepi..
Mulai terasa mencekam ketika dari kejauhan terdengar lolongan panjang anjing hutan, lolongan anjing yang biasanya menandakan akan kehadiran sesuatu.
Aku melihat dari lubang angin di atas pintu kamar, kalau lampu petromak di ruang tengah tiba-tiba mati, ruang tengah menjadi gelap.
“Mungkin minyaknya habis Pak.”
Suara Wahyu memecah sepi, memberi penjelasan sambil coba menenangkan aku yang mungkin sudah kelihatan was-was, dan tentu saja coba menenangkan dirinya sendiri.
Keadaan menjadi sangat sepi dan mencekam ketika suara lolongan anjing hutan terdengar semakin tinggi intensitasnya dan semakin dekat jaraknya.
ADVERTISEMENT
Rasa takut semakin menyeruak muncul ke permukaan ketika ada satu suara lagi yang terdengar..
Kriiieeeeeeeeeekk..” Ada suara pintu yang sepertinya terbuka pelan-pelan.
Kami saling berpandangan, menerka-nerka pintu mana yang terbuka..
“Kayaknya pintu depan Pak.” Wahyu berbisik pelan.
Aku diam tidak menjawab, namun terus coba menajamkan pendengaran.
Setelah suara pintu terbuka, berikutnya muncul suara lainnya. Ada langkah kaki di ruang tengah, langkah yang sepertinya bukan bersumber dari satu orang, tapi beberapa orang. Di sela-sela langkah kaki, sesekali terdengar suara seperti batang besi yang bergesekan.
Kami kalah, di titik ini rasa takut bersorak gembira di dalam kepala, tidak bisa lagi mengalihkan pikiran selain menerka-nerka akan ada horor seperti apa sebentar lagi..
***
ADVERTISEMENT
Tidak ada nyali sedikit pun untuk membuka pintu dan melihat ada kegiatan apakah yang sedang berlangsung di ruang tengah.
Beberapa menit kemudian sesuatu mulai terjadi..
Gagang pintu kamar bergerak-gerak, seperti ada yang coba membukanya dari luar.
Dengan sedikit panik, aku mengajak Wahyu untuk turun dari tempat tidur dan mendekati jendela. Rencananya, kami akan keluar melalui jendela, meninggalkan rumah. Tapi rencana tidak berjalan dengan semestinya, ketika melihat pintu kamar mulai terbuka perlahan.
Wahyu jatuh terduduk, ketakutan, bersandar pada dinding kamar bawah jendela. Sementara aku tetap berdiri memandang pintu yang semakin lebar terbuka.
Bait-bait doa terus mengalir di dalam hati..
Kami terus merapatkan tubuh ke dinding, ketika pintu kamar akhirnya terbuka penuh, detik itulah akhirnya kami dapat melihat dengan jelas keadaan di ruang tengah. Pemandangan yang sangat menyeramkan, mungkin akan menjadi pemandangan yang paling menyeramkan yang pernah kami lihat, mungkin.
ADVERTISEMENT
***
Dalam gelapnya ruang tengah, hanya dibantu cahaya lampu templok dari kamar, kami dapat melihat semuanya.
Ada beberapa orang berpakaian hitam-hitam berdiri mengelilingi keranda mayat..
Keranda mayat tanpa penutup, di atasnya terbaring jenazah berbalut kain kafan putih kusam, dengan ikatan di kepala, leher, badan, dan kakinya. Iya, ada pocong di atas keranda, di ruang tengah.
Jenazah itu kami lihat lewat sela-sela sosok jubah hitam yang terus saja berdiri mengelilingi keranda.
Aku mendengar, Wahyu mulai menangis pelan, dia ketakutan. Sama, aku juga.
Beberapa saat kemudian sosok-sosok yang dari awal mengelilingi keranda mulai bergerak meninggalkan ruangan, menuju pintu keluar rumah yang berada di sebelah kanan. Mereka pergi meninggalkan jenazah itu sendirian di ruang tengah.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, hanya hanya tinggal kami bertiga, aku, Wahyu, dan jenazah berbentuk pocong di atas keranda.
Suara tangisan Wahyu semakin kencang terdengar ketika kami melihat kalau jenazah itu mulai bergerak-gerak..
Wahyu mencengkeram tanganku sangat kuat, lalu dia jatuh terbaring ke lantai, pingsan.
Tinggalah aku sendirian, masih sadarkan diri, lalu jatuh terduduk bersandar pada dinding kamar.
Yang aku pikir ketakutan sudah pada titik puncaknya, ternyata salah. Tubuhku gemetar hebat, bulu kuduk berdiri semua, jantung berdegup kencang, ketika melihat kalau jenazah itu perlahan mulai bangkit dari posisi tidurnya. Dia mulai duduk di atas keranda..
Sangat mengerikan, keringat dingin mulai mengucur dari segala penjuru, aku sangat ketakutan.
Ketika pocong itu sudah dalam posisi duduk, perlahan dia mulai menolehkan kepalanya ke kanan, menoleh ke arah tempat aku berada.
ADVERTISEMENT
Hanya beberapa meter jarak yang memisahkan kami, masih dalam posisi duduk akhirnya pocong itu memperlihatkan wajahnya, wajah yang sangat mengerikan.
Kami berpandangan selama beberapa detik.
Pandanganku mulai kabur, menghilang..
Setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi.
***
Peristiwa yang sangat mengerikan, kami akan mengingatnya terus selama hidup. Tapi itu bukan akhir, ternyata hanya satu kepingan kejadian yang nantinya akan tersusun dengan keping-keping lainnya membentuk sebuah matras tragedi.
Semoga kami sanggup melewati semuanya.
***
Gimana kalo kalian jadi Om Heri atau Wahyu?
Hmmh...Kalo gak sabar sama lanjutannya yuk acak2 post dan threadnya di Twitter @briistory atau IG @brii_story, atau versi tuntasnya hanya bisa dibaca di bukunya, ada kok di toko buku terkemuka, atau bisa cari di online shop/marketplace terkemuka di tanah air dengan kata kunci "Rumah di Perkebunan Karet".
ADVERTISEMENT
Jaga kesehatan, jaga kewarasan, biar bisa merinding bareng terus.