Telaga Kecil. Pedalaman Sumatera

BriiStory
Jangan baca sendirian..
Konten dari Pengguna
16 Juni 2021 15:35 WIB
·
waktu baca 15 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari BriiStory tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di desa terpencil, banyak cerita tentang kejadian seram gak masuk di akal. Cerita yang tampaknya mustahil, tapi kejadian.
ADVERTISEMENT
Banyak orang yang sukar untuk percaya, sebelum benar-benar merasakan sendiri keseramannya.
Satu kisah telaga kecil di desa terpencil, pedalaman Sumatera. Simak di sini, di Briistory..
***
Aku Rendri, awal tahun 2002 ditugaskan oleh perusahaan tempatku bekerja untuk tinggal di satu desa terpencil di pedalaman Sumatera.
Aku ditugaskan untuk mensosialisasikan berbagai produk pertanian dan perkebunan ~termasuk pupuk~ yang kami produksi kepada penduduk (khususnya petani) di desa itu. Yah, namanya juga tugas, mau gak mau aku harus menerima dan menjalaninya. Intinya seperti itu, tugasku mengajarkan petani dalam menggunakan hasil produksi perusahaan dari sejak awal tanam sampai akhirnya panen tiba.
Awalnya, aku yang masih lajang, berpikir banyak positifnya tentang tugas ini, bisa tinggal di tempat yang sama sekali belum pernah aku kunjungi, menghirup segarnya udara daerah pedalaman, menikmati tenangnya kehidupan yang sangat bertolak belakang dengan yang aku jalani di Jakarta. Bisa menyepi sementara waktu, hidup tenang.
ADVERTISEMENT
Tapi, pada prosesnya, ternyata banyak kendala yang harus dihadapi dan lalui. Kendala terkait dengan pekerjaan maupun bukan, tapi tetap saja harus aku jalani semua.
Desa tempatku bertugas ini letaknya di perbatasan antara propinsi Lampung dan Sumatera Selatan, tapi masih masuk sedikit di wilayah Sumsel. Sangat terpencil, berjarak sekitar satu setengah jam dari kota terdekat, itu pun bukan kota besar. Desa yang masih hanya bisa dijangkau dengan kendaraan roda dua, akan memerlukan perjuangan ekstra keras apabila memaksa menggunakan roda empat, bisa tapi susah.
Dengan keadaan seperti itu jadinya aku harus mengerahkan fisik dan tenaga sedari awal menginjakkan kaki di sini. Ke mana-mana lebih banyak jalan kaki, motor hanya digunakan kalau harus bepergian ke kota.
ADVERTISEMENT
Oh iya, di sini aku tinggal menumpang di rumah salah satu penduduk, Pak Haji Ramli namanya. Pak Haji Ramli merupakan salah satu pemuka desa, orang yang sangat dihormati. Beliau memiliki anak laki-laki yang bernama Iwan, pemuda berusia 23 tahun.
Begitulah singkatnya..
Yang pasti, di desa ini aku mendapat satu penggalan fase hidup yang belum pernah ku alami sebelumnya, satu penggalan aneh yang mengoyak nalar, fase seram di luar jangkau logika.
Telaga kecil, di pedalaman Sumatera.
***
“Sudah lama Mas, sudah dari jaman dulu desa ini terkenalnya begitu, selain hasil tani dan kebun yang bagus, juga terkenal dengan keangkerannya, khususnya telaga yang di belakang itu, Hehe.”
Itu kalimat yang meluncur tanpa beban dari mulut Iwan, aku yang jadi lawan bicara agak aneh mendengarnya.
ADVERTISEMENT
“Kok kalian sudah seperti gak kelihatan takut ya Wan, apa mungkin sudah terbiasa?”
“Gak gitu juga Mas, kami masih takut kok, lebih memilih untuk menghindar kalau bertemu dengan yang begituan.” jawab Iwan.
Pada satu malam, aku dan Iwan sedang duduk di beranda rumah seperti biasanya, berbincang ditemani kopi dan rokok. Aku yang pada saat itu baru tiga bulan tinggal, membuka percakapan dengan bertanya perihal omongan warga yang aku dengar sekilas ketika sedang sosialisasi pupuk pada siang hari sebelumnya.
“Tadi Pak Ridwan cerita, istrinya melihat sekelebatan hantu perempuan terbang melayang di atas telaga, ketika sedang lewat melintas di pinggirannya. Kok serem ya.”
Telaga? Iya, ternyata di desa ini ada telaga, telaga yang nantinya akan memberikan pengalaman seram, gak akan pernah aku lupa.
ADVERTISEMENT
Selebihnya dalam perbincangan, Iwan cerita banyak tentang telaga ini, telaga yang gak terlalu besar, luasnya mungkin hanya seukuran satu kali lapangan sepak bola.
Aku gak tahu sejarah dulunya bagaimana, katanya telaga ini sudah ada sejak kakeknya Iwan masih kecil, berarti sudah sangat lama. Letaknya agak di pinggiran desa, tapi kalau hendak melakukan perjalanan ke luar ~entah ke desa lain atau ke kota~ penduduk desa harus melewati telaga. Tetapi kalau hari sudah mulai gelap, gak akan ada yang berani lewat jalan setapak di pinggir telaga, lebih memilih jalan agak memutar walaupun lebih jauh jarak dan waktu tempuhnya.
Tentu saja, aku sudah beberapa kali melintas lewat telaga itu. Mengesampingkan cerita-cerita seram yang beredar, aku bisa bilang kalau telaga ini merupakan telaga yang indah. Walau gak terlalu jernih, tapi airnya cukup bersih. Pinggir-pinggirnya dipenuhi tanaman menjalar dan rerumputan, sisi lebih luarnya lagi ada banyak pepohonan yang berdiri cukup rapat mengelilingi, hal inilah yang membuat suasananya jadi teduh walaupun pada siang hari bolong.
ADVERTISEMENT
Di salah satu sudutnya, ada deretan kayu yang menjorok ke tengah, seperti tempat untuk menyandarkan perahu, tapi gak besar, kira-kira hanya empat meter panjangnya. Entahlah peruntukan sebenarnya untuk apa, tapi sudah beberapa kali aku duduk sendirian di “dermaga” kecil ini ketika dalam perjalanan pulang dari sosialisasi, mampir untuk sekadar melepas lelah menikmati udara sore, mendapatkan ketenangan yang hakiki.
“Jangan sering-sering sendirian di telaga itu Mas, hehe.” Begitu Iwan bilang pada suatu hari.
Tentu saja aku menanyakan alasannya, “Emangnya kenapa Wan? Itu telaganya bagus loh, menenangkan.”
“Pokoknya jangan Mas, takut nanti ada apa-apa.”
Jawaban Iwan menggantung, tapi aku tahu arahnya ke mana.
Ya begitulah, penduduk desa ini dan desa lain terdekat, menganggap kalau telaga ini merupakan telaga angker, sudah gak terhitung lagi banyak peristiwa janggal dan seram yang pernah terjadi di situ. Katanya, gak melulu malam hari, tapi kejadian seram juga kadang terjadi di siang hari. Aku gak bisa menceritakan satu persatu cerita seram yang pernah aku dengar, tapi benang merahnya adalah telaga itu katanya benar angker, penampakannya antara lain hantu perempuan, anak-anak kecil yang berlarian di pinggirnya, dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Aku, pada beberapa bulan awal memang menganggap semuanya biasa saja, yang ada di kepalaku desa ini merupakan desa pedalaman yang eksotis, indah, termasuk telaganya. Sampai akhirnya, secara perlahan aku mulai merasakan semuanya sendiri, dari yang hanya sedikit janggal sampai keseraman yang membuat nyaris pingsan.
Berikut ini salah satu kejadiannya..
**
Pada suatu hari, dalam perjalanan pulang dari salah satu perkebunan, aku berjalan kaki melewati telaga, menyusuri jalan setapak di pinggirnya
Belum malam, masih jam lima sore, tapi tentu saja sudah mulai gelap, matahari asik bersandar di ufuk barat.
Langkahku agak pelan, lelah sudah terasa karena berkegiatan sepanjang hari. Jalan setapak pinggir danau sudah sangat sepi ketika aku melintasinya, mungkin karena sudah mendekati maghrib.
ADVERTISEMENT
Iya, jalan setapak, yang hanya bisa dilalui oleh kendaraan roda dua dan pejalan kaki.
Benar-benar hanya aku sendirian yang berjalan menyusurinya.
Seperti hari-hari sebelumnya, telaga indah ini sungguh tenang, nyaris gak ada pergerakan di permukaan airnya, hanya sesekali terlihat gelombang kecil dihempas angin sepoi. Sambil menikmati pemandangan dan sepinya, aku terus berjalan, ingin cepat sampai rumah untuk beristirahat.
Tapi ketika sedang larut menikmati semua, tiba-tiba sayup aku mendengar suara..
“Rendri..”
Ada yang memanggil namaku. Suara perempuan.
Tentu saja aku penasaran, lalu menghentikan langkah. Di hari yang sudah mulai gelap, aku memperhatikan sekeliling, memperhatikan setiap sudut telaga, mencari tahu siapa gerangan yang tadi memanggil.
Tapi gak ada siapa-siapa, aku gak melihat ada orang sama sekali. Sepi dan kosong. Hanya terdengar suara binatang-binatang serangga hutan, selebihnya gak ada suara lagi.
ADVERTISEMENT
Ya sudah, karena gak menemukan apa-apa aku lalu melangkah meneruskan perjalanan. Tapi, baru saja beberapa langkah, lagi-lagi suara itu muncul lagi dari kejauhan.
“Rendri..”
Sekali lagi aku berhenti.
“Siapa sih manggil-manggil?” Sungutku dalam hati.
Di titik ini, belum terlintas sedikit pun perasaan aneh, yang aku tahu ada orang memanggil dari kejauhan. Ya sudah, karena penasaran aku lalu berbelok melangkah mendekati telaga, menuju dermaga kayu kecil tempat biasa aku duduk sendirian.
Hari sudah semakin gelap, aku yang masih terkungkung penasaran lagi-lagi memperhatikan sekeliling, ke setiap sudut telaga, kali ini sambil berdiri di ujung dermaga kayu.
Airnya sangat tenang, gak ada pergerakan sama sekali. Suasananya terbunuh sepi..
Dead silence.
Cukup lama berdiri di atas dermaga kecil, sampai akhirnya aku melihat sesuatu. Ada pergerakan di tengah-tengah telaga..
ADVERTISEMENT
Permukaan air yang tadinya sangat tenang, tiba-tiba bergelombang kecil, seperti ada yang membuatnya jadi bergerak.
Aku terus memperhatikan.
Semakin lama, semakin jelas terlihat kalau pergerakan air itu bergerak maju, gak diam di tempat. Seperti ada benda di permukaan yang sedang berenang, bergerak mendekat ke arah tempatku sedang berdiri.
Apa itu? Ikan kah? Atau ular? Atau hewan lain? Pada saat itu aku gak tahu, belum tahu.
Gelombang kecil air terus mendekat dan semakin mendekat, hari yang sudah semakin gelap membuat aku masih juga belum bisa memastikan hewan apa yang sedang berenang, padahal jaraknya sudah cukup dekat.
Sampai akhirnya, gelombang terlihat melambat dan semakin melambat, lalu berhenti hanya beberapa meter dari tempatku berdiri.
ADVERTISEMENT
Aku seperti terhipnotis, terpana, ketika akhirnya bisa melihat dengan jelas bentuk dari benda misterius yang sedang diam di permukaan, yang sebelumnya berenang mendekat dari tengah.
Beberapa detik lamanya tubuhku gak bisa bergerak, hanya pandangan yang fokus memperhatikan objek seram itu, yang muncul di permukaan air.
Benar, objek seram..
Benda misterius itu ternyata adalah seonggok kepala, dengan rambut hitam panjang tergerai ke belakang, mengambang di permukaan. Aku melihat hanya kepala itu saja, gak ada bagian tubuh lain.
Wajah pucat seramnya datar tanpa ekspresi, matanya mati tak bercahaya.
Jadi, yang aku lihat sejak tadi berenang mendekat dari tengah danau ternyata adalah kepala berambut panjang, menyeramkan.
Setelah beberapa belas detik terpana ketakutan, akhirnya aku mampu melangkah mundur menjauh perlahan, lalu lari jauh-jauh meninggalkan telaga.
ADVERTISEMENT
***
~November 2002~
Pak Husni dan Iwan terus ngobrol sambil sesekali diselingi gelak tawa berderai, sementara aku lebih banyak jadi pemerhati dan pendengar yang baik, walau tetap menimpali omongan sesekali. Nyaris jam 12 tengah malam ini kami duduk di pos ronda berbentuk rumah panggung yang ukurannya gak terlalu besar, mungkin hanya sekitar 4x4 meter saja, jadi maksimal hanya bisa ditempati oleh enam sampai tujuh orang saja.
Pos ronda yang dikelilingi oleh rapatnya pepohonan bambu ini letaknya di pinggir desa, berbatasan langsung dengan hutan dan perkebunan. Lampu templok berukuran besar jadi satu-satunya sumber penerangan, tapi walaupun begitu cahayanya masih mampu menerangi seisi pos dan sebagian kecil bagian luarnya.
Malam ini gak ada angin, udara gak bergerak sama sekali, jadinya sangat sepi, gak ada suara dedaunan dan pohon yang bergerak bergoyang.
ADVERTISEMENT
“Jadi gimana Mas? Betah kan tinggal di kampung kami? Hehe.” Pak Husni melontarkan pertanyaan.
“Betah Pak, betah, hehe.” Jawabku pendek.
“Udah berapa lama ya di sini? Enam bulan? Setahun?”
“Ah, baru tujuh bulan Pak, hehe. Saya suka suasananya, masih sangat asri, beda banget dengan di kota besar.”
“Ya ginilah Mas, desa terpencil, jauh dari mana-mana, hehe.” Iwan menambahkan.
Aku hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum setelahnya.
Iya, ternyata gak terasa aku sudah tujuh bulan lebih tinggal di desa ini, dari satu tahun rencananya.
Malam itu aku dan Iwan kebagian tugas untuk siskamling. Ini bukanlah siskamling pertamaku selama tinggal di desa ini, sebelumnya sudah beberapa kali. Bedanya, dengan berbagai alasan, kali ini hanya aku, Iwan, dan Pak Husni saja yang bertugas, biasanya ada lima sampai enam orang.
ADVERTISEMENT
Tapi gak apa, toh tugas siskamling di sini tergolong mudah, hanya sesekali berkeliling membawa kentongan dan obor atau lampu senter sebagai penerangan. Menurut cerita warga, sudah bertahun-tahun lamanya belum pernah ada kejadian pencurian, tergolong aman tentram sejak lama.
“Mas, setangah jam lagi kita keliling ya. Hehe.” Iwan bilang begitu di sela obrolan.
“Iya wan, sebatang dulu ya, hehe.” Jawabku.
Memang sudah jam 12 tengah malam, kami harus mulai berkeliling. Desa ini gak terlalu luas, berjalan kaki mengelilinginya gak butuh waktu lama, hanya kira-kira satu jam lebih sudah selesai.
Sesuai rencana, aku dan Iwan akhirnya mulai berjalan kaki pada pukul setengah satu. Berbekal lampu senter ditanganku dan obor dalam genggaman Iwan, kami memulai patroli berkeliling ke seluruh penjuru desa.
ADVERTISEMENT
Ada alasan kenapa obor minyak tanah masih digunakan sebagai penerangan oleh penduduk sini ketika keluar rumah, itu karena minyak tanah jauh lebih murah dan lebih mudah didapat dari pada batu baterai untuk lampu senter. Tapi walaupun begitu, aku tetap memilih lampu senter karena sudah termasuk peralatan yang aku bawa dari Jakarta.
Bisa ditebak, tengah malam seperti ini keadaan desa sudah sangat sepi, gak ada orang sama sekali. Aku dan Iwan berjalan gak terlalu cepat, sambil berbincang namun tetap memperhatikan setiap sudut tempat yang kami lewati.
Gak bisa dipungkiri juga, suasana malam di desa ini cukup mencekam. Karena dikelilingi hutan dan perkebunan, masih banyak terdengar suara-suara binatang malam, beberapa diantaranya aku gak tahu bunyi binatang apa.
ADVERTISEMENT
Jarak satu rumah dengan rumah lainnya agak berjauhan, dan masing-masingnya gak berpagar. Maka dari itulah sebagian besar wilayah desa tergolong gelap karena kurangnya penerangan.
Kami terus menyusuri jalan desa, satu demi satu rumah kami perhatikan, dan tampaknya sejauh ini gak ada hal yang mencurigakan, semuanya kelihatan normal.
“Mas, maaf nih, kok tiba-tiba aku sakit perut ya. Kita pulang dulu yuk sebentar.” Tiba-tiba Iwan bilang begitu, setelah kami baru hampir setengah jalan.
“Yaaaah, ada-ada aja kamu Wan, hahaha. Mendingan kamu ke toilet mushala aja tuh, lebih dekat.” Jawabku.
Iwan menuruti saranku, dia lantas memilih untuk berlari kecil menuju mushala yang jaraknya lebih dekat dari pada harus pulang ke rumah. Sementara aku, menunggu di depan balai desa, sekitar 50 meter dari mushala
ADVERTISEMENT
Dari tempatku duduk, aku dapat melihat kalau Iwan meletakkan obornya di pagar depan mushala, dari kejauhan terlihat apinya yang menyala.
Sambil menunggu, aku menyalakan rokok. Angin malam mulai terasa menghembus, dinginnya perlahan merambah menyentuh kulit.
Sesekali melirik ke arah mushala, aku belum melihat ada pergerakan, api obor masih tetap di tempatnya, menandakan kalau Iwan belum selesai. Kuhisap rokokku dalam-dalam, lalu menghembuskan asapnya, hal ini sedikit banyak bisa menambah hangat badan.
Kemudian, berikutnya aku malah tenggelam dalam lamunan, menatap kosong ke depan, sampai-sampai lupa memperhatikan mushala selama beberapa menit lamanya.
Nah, ketika aku tersadar, lalu menoleh ke mushala, ternyata obor sudah gak berada di tempatnya lagi, tapi sudah bergerak berjalan.
“Ah, akhirnya Iwan selesai juga.” Aku bergumam sendiri.
ADVERTISEMENT
Tapi kalau aku perhatikan lebih seksama lagi, ternyata ada yang aneh. Kelihatan dari cahaya apinya, ternyata obor gak mendekat bergerak ke arahku, malah kelihatan menjauh.
Iya, tampaknya Iwan malah berjalan ke arah berlawanan.
Melihat itu, aku langsung bangun dari duduk lalu berjalan agak cepat mengejar Iwan. Jarak kami masih terlalu jauh, cahaya lampu senter belum mampu menjangkau Iwan, aku hanya bisa melihat cahaya api kecil obor dari kejauhan.
Yang agak aneh, Iwan berjalan cukup cepat, aku jadi harus berjalan cepat juga untuk mengejarnya.
Aku gak merani memanggilnya, khawatir nanti suara keras teriakanku akan membangunkan warga, lebih memilih untuk terus mengejarnya.
Aku mulai berlari kecil untuk mengimbangi pergerakan Iwan, jarak kami jadi lebih mendekat karenanya.
ADVERTISEMENT
Tapi, beberapa detik kemudian, aku malah memperlambat langkah, karena tiba-tiba menyadari sesuatu.
Seketika aku menyadari kalau ternyata kami malah melangkah ke luar desa, ditandai dengan gak terlihat ada lagi rumah penduduk di sekitaran.
Lalu, ke arah mana kami bergerak melangkah? Ternyata aku mengikuti Iwan menyusuri jalan setapak menuju telaga.
Dalam gelapnya malam di tepi hutan, kami malah berjalan menuju telaga.
“Iwan mau apa sih ke telaga?” dalam hati aku bertanya-tanya.
Sempat ada terbersit pikiran untuk berhenti mengikuti, lalu kembali ke desa. Tapi rasa penasaran menutup segalanya, aku malah terus ikut melangkah.
***
Api obor akhirnya berhenti bergerak, dia diam tepat di tepi telaga. Dari kejauhan aku melihatnya seperti itu.
“Akhirnya Iwan berhenti juga, mau ngapain sih dia ini.” Aku masih terus bertanya-tanya dalam hati.
ADVERTISEMENT
Melihat itu, aku terus melangkah semakin mendekat lagi.
Semakin lama, cahaya api obor semakin terang terlihat karena jarak yang semakin dekat. Maka dari itulah cahaya lampu senterku secara perlahan akhirnya mampu menjangkau Iwan dengan obornya.
Namun, ketika sudah semakin dekat dan semakin dekat, aku tiba-tiba berhenti melangkah ketika jarak kami hanya tinggal beberapa meter saja.
Aku menyadari sesuatu, ternyata yang aku ikuti sejak tadi bukan Iwan..
Tubuhku langsung kaku, kalut, ketakutan mulai meyeruak memenuhi isi kepala, aku sama sekali gak mengenali sosok yang sedang berdiri di tepi telaga sambil memegang obor ini.
Dia berdiri membelakangi, mengahadap ke tengah telaga.
Dari belakang, aku melihatnya mengenakan baju terusan lusuh berwarna gelap, rambut panjangnya tergerai sebatas pinggang, sosoknya seperti seorang perempuan.
ADVERTISEMENT
Aku semakin diam ketakutan ketika dia mulai membalikkan tubuhnya, perlahan jadi menghadap ke arahku.
Tanganku gemetaran, tapi masih bisa mengarahkan cahaya lampu senter ke arah sosok menyeramkan ini. Sampai akhirnya dia benar-benar sudah berdiri menghadapku, aku bisa melihat dengan jelas penampakannya.
Wajahnya pucat tanpa ekspresi, menggurat seram meruntuhkan nyali.
Tangannya masih memegang obor menyala..
Dalam keheningan, perlahan aku aku yang semakin ketakutan mulai melangkah mundur, menjauh. Sementara sosok itu masih diam memperhatikan.
Tapi beberapa detik kemudian, keadaan berubah, tiba-tiba dia mengeluarkan suara tawa tertahan tapi jelas terdengar. Yang lebih mengerikan lagi, sosok menakutkan ini tiba-tiba mulai bergerak maju, dengan cara melayang mendekat ke arahku. Aku langsung membalikkan badan, lalu berusaha lari menjauh..
ADVERTISEMENT
Entah apa sebabnya, tapi tenaga seperti sudah terkuras habis, aku gak mempu berlari kencang. Sempat menoleh ke belakang, ternyata sosok ini masih terus bergerak mengikuti, dengan cara bergerak melayang.
Sungguh sangat mengerikan..
Lemas, lelah, tenaga terkuras, keringat bercucuran, gak mampu lagi untuk bergerak apa lagi berlari, aku lalu terjatuh di atas jalan setapak tepian danau.
Sempat membalikkan tubuh, kemudian aku bisa melihat kalau sosok meyeramkan itu masih terus melayang mendekat dan terus mendekat, sambil mengeluarkan suara tawa tertahan, menyeramkan.
Gak tahan, tubuhku lemas ketakutan, setelah itu aku gak ingat apa-apa lagi.
***
Tiba-tiba aku tersadar sudah berada di balai desa. Di sekelilingku ada Pak Haji Ramli, Pak Husni, Iwan, dan beberapa warga lainnya.
ADVERTISEMENT
“Alhamdulillah, sudah sadar.” Begitu Pak Haji bilang.
Kemudian aku diberi segelas air.
Jadi, menurut cerita Iwan, ketika selesai dari toilet mushala dia gak melihat keberadaanku, aku menghilang. Lalu dia kembali ke pos ronda untuk mencari, tapi ternyata di pos ronda juga aku gak ada. Setelahnya, dia dan Pak Husni mencariku ke rumahnya, sama juga, aku gak ditemukan.
Akhirnya, bersama Pak Haji dan beberapa warga lainnya, mereka mengadakan pencarian ke seluruh penjuru desa.
Singkat cerita, sekitar jam tiga aku ditemukan gak sadarkan diri terbaring di tepi telaga.
***
Haii, balik ke gw lagi ya, Brii.
Cukup sekian cerita malam ini, sampai jumpa lagi minggu depan.
Selamat menjalankan ibadah puasa,
tetap sehat supaya bisa terus merinding bareng.
ADVERTISEMENT
Salam,
~Brii~