3 Paradigma Utama Globalisasi dan Dampaknya kepada Kebudayaan Kepulauan Pasifik

Bryan Arthurico Marten
Mahasiswa Semester 6 Program Studi Hubungan Internasional , Universitas Kristen Indonesia
Konten dari Pengguna
15 Januari 2021 17:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bryan Arthurico Marten tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jika mendengar kalimat “negara-negara di Kepulauan Pasifik”, mungkin pada umumnya di benak kita akan muncul gambaran mengenai sebuah negara dengan kepulauan-kepulauan kecil yang berada di tengah laut dan jarang juga di dengar nama negara-negara tersebut. Jika kalian berpikir demikian, sebenarnya itu tidaklah salah. Karena nyatanya, letak geografis Negara kepulauan pasifik ini memang sesuai apa yang sudah dideskripsikan otak kita saat pertama kali mendengarnya.
ADVERTISEMENT
Namun tahukah kalian bahwa di negara-negara yang berbentuk kepulauan kecil ini, mereka juga mempunyai kebudayaan yang unik dan bervariasi antara satu sama lain. Namun, pada masa kontemporer ini, kita tahu hampir semua negara di dunia terpengaruh oleh Negara lain, terutama dalam bidang kebudayaan, hal ini juga bisa disebut sebagai Globalisasi. Globalisasi seringkali dianggap sebagai ancaman bagi kelestarian budaya tradisional. Ada berbagai pendekatan untuk memahami dampak globalisasi terhadap budaya.
Menurut Jan Nederveen Pieterse, dalam bukunya yang berjudul “Globalization and Culture: Three Paradigms” beliau menjelaskan bahwa setidaknya ada 3 paradigma dalam globalisasi dan kebudayaan, ada Benturan Peradaban, McDonaldisation dan juga hibridisasi. Perubahan kebudayaan di negara-negara Kepulauan Pasifik (PIC) terjadi akibat globalisasi, terutama dalam hal pariwisata.
ADVERTISEMENT
Contoh dari paradigma benturan peradaban mencakup perubahan geopolitik yang menghasilkan pasar pariwisata yang berbeda dan efek imitasi dari wisatawan. Untuk McDonaldisation, contohnya bisa kita lihat dari film “Moana”, yang mendukung gagasan homogenitas budaya global. Turisme berinteraksi dengan budaya PIC dalam berbagai cara. Banyak masyarakat lokal menyebutkan hal ini terjadi karena dengan apa yang disebut dengan demonstrasi atau efek imitasi, dimana penduduk setempat meniru perilaku wisatawan.
Akibat efek demonstrasi atau imitasi tersebut, perilaku baru yang diadopsi oleh penduduk lokal dari wisatawan berbenturan dengan gaya hidup dan budaya lokal mereka. Bentrokan budaya yang memengaruhi PIC sekarang tidak hanya mencakup wisatawan Barat dan Kepulauan Pasifik, tetapi juga wisatawan non-barat (seperti wisatawan China).
ADVERTISEMENT
McDonaldisation, Hollywoodisation dan istilah-istilah lainnya kurang lebih merujuk kepada homogenisasi, rasionalisasi sebuah kebudayaan yang biasanya dipimpin atau dilakukan oleh korporasi multi-nasional. Umumnya, paradigma ini berkaitan dengan hilangnya praktik budaya asli dalam sebuah kebudayaan, yang mengakibatkan masuknya budaya barat dengan mudah. PIC saat ini sedang mengalami gelombang Disneyfication setelah rilis film animasi Moana.
Contohnya, dalam cuplikan film diserrtakan musik dari Fiji, permainan drum Tahiti, dan tato Samoa. Tapi film tersebut menggambarkan tentang satu orang Polinesia. Dapat dilihat bahwa terjadinya Disneyfication terhadap cerita di Polinesia yang menghasilkan informasi yang tidak akurat dan tidak lengkap mengenai mitos pribumi di Kepulauan Pasifik.
Mengenai hibridisasi, Pieterse mengatakan bahwa istilah ini berbeda dengan dua paradigma yang sebelumnya kita sudah bahas tadi. Beliau mengatakan bahwa hibridisasi melihat bahwa suatu kebudayaan itu bersifat seperti suatu cairan. Kekuatan globalisasi, seperti teknologi, komunikasi, mobilitas, migrasi, perdagangan, investasi, pariwisata, meningkatkan kesadaran akan perbedaan budaya.
ADVERTISEMENT
Contoh dari hibridisasi ini jika mengambil tempat di benua Asia bisa dilihat di Indonesia, khususnya dalam konser-konser atau festival dimana terjadinya hibridisasi budaya didalamnya. Semisalnya di Indonesia ada pentas seni yang bertemakan tentang tropical, secara tidak langsung dalam acara tersebut akan ada atribut-atribut yang bersangkutan dengan tema tropikal, yaitu busana-busana yang terdapat dari negara luar Indonesia, sehingga terjadilah hibridisasi atau percampuran beberapa budaya.
Dampaknya terhadap negara-negara kepulauan pasifik adalah bisa terjadi hilangnya kebudayaan lokal dari negara masing-masing. Namun hal inilah hasil dari globalisasi yang hampir tidak bisa dihindari oleh negara-negara di dunia.
Namun perlu diketahui juga bahwa tidak semua negara menerima kebudayaan dari luar dengan semena-menanya. Dalam hal ini, pelestarian, ketahanan dan perkembangan kebudayaan di Pasifik sangat bergantung kepada generasi muda, sama seperti di Indonesia. Yang menjadi tantangan adalah pengaruh besar yang dibawa oleh kebudayaan barat atau non-lokal. Melalui faktor-faktor lain seperti teknologi bahkan olahraga pun membuat kebudayaan non-lokal semakin mudah mempengaruhi budaya lokal.
ADVERTISEMENT
Hal yang penting untuk dicatat bahwa penduduk Kepulauan Pasifik sebenarnya bukanlah korban dari proses globalisasi dan modernisasi. Mereka memiliki pilihan tentang aspek globalisasi mana yang akan diadopsi dan bagaimana beradaptasi dengan dunia yang terus berubah.
Potret grup band Kepulauan Pasifik Polinesia memainkan musik Tahiti di pantai tropis dengan pohon palem sebagai latar belakang.
Penulis:
Bryan Arthurico Marten
Mahasiswa semester 5, Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Kristen Indonesia.