Alien pun Saya Ajak Negosiasi

Bukan Remahan Rengginang
Kisah Orang Muda di Istana. Link untuk mengunduh e-book 'Bukan Remahan Rengginang': http://ksp.go.id/unduh-buku/
Konten dari Pengguna
18 Oktober 2019 11:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bukan Remahan Rengginang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Grace Citra Dewi. Foto: Dok: Bukan Remahan Rengginang.
zoom-in-whitePerbesar
Grace Citra Dewi. Foto: Dok: Bukan Remahan Rengginang.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Ketakutan ibu tidak beralasan. Di NASA, saya bekerja sebagai peneliti di laboratorium. Tugasnya meneliti perubahan yang terjadi pada sel-sel yang dikirim ke ruang angkasa. Sel dibawa pulang ke bumi dalam keadaan beku, dicairkan, dikoding, dikloning, diradiasi beragam dosis, lalu diamati berbagai aspeknya. Saya bukan astronot yang berangkat ke luar angkasa.
Mungkin, bekerja di NASA menjadi kesempatan langka bagi orang Indonesia. Apalagi buat arek Malang, Jawa Timur, seperti saya. Tamat SMA Dempo, Malang, pada 2002, saya beruntung bisa kuliah di University of California at Berkeley. Saya mengambil jurusan Biologi Kimia.
Sebagai saintis muda, juga naif, ketika itu saya mengalami fase pencarian spiritualitas. Saya belajar bagaimana semua hal di semesta ini adalah rangkaian reaksi kimia beruntun. Bermula dari ledakan dahsyat big bang, lalu terjadilah semesta raya yang berproses selama miliaran tahun. Saya jadi bertanya-tanya, apakah semua ini molekul-molekul yang kebetulan bereaksi sebagai konsekuensi logis hukum-hukum fisika, ataukah atas peran Tuhan?
ADVERTISEMENT
Kemudian, di tengah kuliah, NASA membuka lowongan peneliti pada laboratorium di Berkeley. Saya melamar. Eh, diterima. Di NASA . Saya takjub bahwa sel-sel dan molekul itu begitu terstruktur, canggih, dan segalanya serba rapi, seperti ada insinyurnya. Kompleksitas sel-sel yang kami amati di laboratorium NASA membawa saya pada kesimpulan: tak mungkin alam semesta ini terjadi begitu saja. Pasti ada campur tangan Tuhan. Saya menemukan spiritualitas di NASA.
Kedeputian III Foto: Bukan Remahan Rengginang
Lulus dari UC Berkeley, saya bekerja di BASF Venture Capital America Inc. Sebetulnya pilihan ini karena orang tua saya mulai khawatir, “Grace mau jadi apa kalau kebanyakan ngobrol sama sel-sel.” Maka, saya bekerja di BASF, perusahaan kimia terbesar di dunia, tapi untuk posisi pengembangan bisnis di Silicon Valley.
ADVERTISEMENT
Pada 2009, saya melanjutkan S2 di University of Tokyo. Kali ini saya belajar International Studies. Lalu, saya mendapat beasiswa Fulbright Presidential PhD untuk belajar strategi bisnis di Rutgers Business School Newark and New Brunswick.
Pada 2016, saya bertemu Ibu Mari Pangestu, Menteri Perdagangan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Lalu bertemu Pak Chatib Basri yang sempat berbagi nasehat untuk tidak takut menjadi orang yang unik. Saya jadi terinspirasi berbakti di sektor publik. Pada 2017, usia 32 tahun, saya lulus sebagai PhD.
Saya bergabung dengan CSIS, sebagai peneliti di Departemen Ekonomi. Belum sampai setahun di CSIS, saya mendapat tawaran menangani big data di BRI. Saya bergabung dengan tim big data BRI yang visioner, jauh menjangkau ke depan. Kami membahas bagaimana big data digunakan untuk berbagai kebijakan ekonomi, perbankan, dan fintech.
ADVERTISEMENT
Banyak orang bertanya, apa bedanya bekerja dengan para titan seperti NASA, BASF, juga BRI dengan bekerja di KSP? Benar, bekerja di NASA, lembaga sains bergengsi sejagad raya, lebih terkesan ‘wah’. Tapi, sesungguhnya sifat pekerjaan lebih cetar di KSP Di NASA, kita bisa menjalankan strategi riset yang lebih linier. Semua hal bisa diprediksi. Nggak ada deg-degan, tinggal cek teori sains bilang apa, maka itulah yang akan didapat. Bakteri juga nggak perlu diajak omong dan dimotivasi untuk membantu kita. Bakteri, kan, ya, lempeng aja. Dalam mengambil langkah, kita tidak perlu mengantisipasi bagaimana pikiran dan perasaan koloni bakteri.
Sementara di KSP, mustahil melakukan pendekatan linier. Ketika merancang sebuah kebijakan, selalu ada sesuatu yang tidak terpikirkan sebelumnya. Selalu ada variabel yang bergerak tanpa bisa diprediksi. Belum lagi ada proses politik yang harus kita navigasi dengan baik. Ada faktor emosi dan psikologi masyarakat, yang tak ada rumus pastinya.
ADVERTISEMENT
Di KSP kita tidak bisa bekerja sendiri. Harus teamwork. Kita perlu bantuan orang lain, juga masyarakat luas. Orang lain harus di-uwongke, diajak omong, diyakinkan, dan dimengerti. Bekerja di KSP, bagi saya, adalah gabungan dua hal. Sains dan juga seni. Keduanya harus dicari keseimbangannya.
Saya juga belajar seni berkomunikasi dan bernegosiasi dengan berbagai pihak. Kita harus bisa mengkomunikasikan konsep dan kebijakan di tingkat atas. Mulai dari Istana, para menteri, hingga berbagai pihak di level pelaksana. Seni saling mempengaruhi dan saling memotivasi, demi terciptanya kebijakan publik yang terbaik, tak bisa saya dapatkan di tempat lain.
Kini, saya jadi merasa bisa menjawab pertanyaan Ibu saya dulu, “Kalo ditegep alien piye?” Saya akan menjawab, “Ibu, alien akan saya ajak negosiasi, cari celah ekspor. Saya tawari investasi dan transfer teknologi di Indonesia.”
ADVERTISEMENT