Kesetrum Rekomendasi Listrik

Bukan Remahan Rengginang
Kisah Orang Muda di Istana. Link untuk mengunduh e-book 'Bukan Remahan Rengginang': http://ksp.go.id/unduh-buku/
Konten dari Pengguna
25 September 2019 11:27 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bukan Remahan Rengginang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kedeputian I Foto: Bukan Remahan Rengginang
zoom-in-whitePerbesar
Kedeputian I Foto: Bukan Remahan Rengginang
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Life is full of ups and downs, enjoy the ups and have courage during the downs. Bangga kerja di kantor orang nomor satu se-Indonesia, ternyata tak mampu menghalau galau. Merasa tak berguna, ilmunya tak banyak dipakai lah, dan lain sebagainya. Apalagi pas lagi reunian dengan teman sekampus dulu. Ada yang kerja di proyek overhaul, penanggungjawab kelistrikan di LRT, proyek kelistrikan itu, dan seterusnya. Duh, Gusti! Tapi benarkah ilmu ini tak berguna?
ADVERTISEMENT
Kisah bekerja di Kantor Staf Presiden (KSP), berawal saat saya baru diwisuda Agustus 2015 dari Fakultas Teknik Elektro, Universitas Gadjah Mada, dengan spesialisasi Sistem Tenaga Listrik. Gelar tersebut di kampung saya, Duri (Riau), yang listriknya masih sering biarpet, sangat membanggakan, apalagi kalau kerjanya di private sector atau perusahaan negara seperti PLN atau Pertamina. Tetapi anak rantau ini bernasib lain, karena pada saat bersamaan, justru memilih magang di Kedeputian I KSP. Kok, magang? Karena saya ingin segera melanjutkan ke S2, jadi cocoknya mengambil kerja yang lebih leluasa jam kerjanya sembari apply untuk beasiswa. Karena itulah, KSP dijadikan pilihan.
Fanni Irsanti Foto: Bukan Remahan Rengginang
Tapi, suasana kerja yang dibayangkan ternyata tak sesuai kenyataannya. Beberapa bulan magang, tantangan baru muncul di depan mata. Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat (LAPOR!) dan Satu Data Indonesia (SDI), dua program besutan Presiden Jokowi sedang membutuhkan bantuan staf profesional. Sebenarnya, kedua inisiatif ini sangat jauh dari background pendidikan saya. Tapi kalau kantor presiden yang menawarkan, mustahil saya tolak. Itu kan bergengsi banget.
ADVERTISEMENT
Apa daya. Goodbye dulu rencana S2!
September 2017, another challenge. Kali ini, mirip film 'Mission Impossible'.
Pimpinan menugasi saya membuat laporan terkait risiko keuangan BUMN kelistrikan. Bisa dibilang, pemerintah sedang terjepit di antara dua pilihan pahit. Menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL) berarti social cost-nya bagi pemerintah. Sebaliknya, kalau tarif dasar listrik (TDL) tidak dinaikkan maka perusahaan BUMN ini akan berdarah-darah yang berujung gelombang PHK.
Bingung. Bukan bingung karena tidak paham teknis listrik, tapi takut kalau laporan saya malah bikin teman-teman dulu di kampus kena PHK.
Lalu, impossible-nya apa?
“Laporannya ditunggu paling lama 3 jam lagi,” nah, ini dia.
ADVERTISEMENT
Stres tingkat dewa. Memangnya urusan gampang soal menaikkan atau menurunkan harga listrik? Dan, tiga jam?!
Saat itu pukul 17.50, dan jam kerja “normal” telah berakhir saat tugas ini diberikan. Sementara, pimpinan butuh review sebelum pukul sembilan malam tersebut karena besok pagi akan rapat dengan stakeholder terkait. Ini harus segera diselesaikan, dengan waktu dan resource terbatas.
Walau mumet dengan tugas berat ini, tapi kabar baiknya adalah urusan listrik relevan dengan keilmuan yang saya miliki. Pfiuhh, sedikit ringan beban di dada. Galau, sedikit terkikis luntur.
Data dan informasi termutakhir harus segera kami dapatkan untuk bisa mulai menjahit laporan. Diskusi pun kemudian berlangsung dengan sesama rekan kerja. Kami coba menelusuri jejak data dan informasi yang dimiliki serta menghubungi narahubung di PLN dan juga Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM.
ADVERTISEMENT
Kontak sana, kontak sini. Telepon sana, telepon sini. Tentu untuk mendapatkan data dan informasi dari suatu instansi, membutuhkan waktu. Paham saya soal itu. Masalahnya, saat ini waktu sedang tidak bisa di-nego. Menunggu sejam, rasanya setahun.
Jantung berdegup lebih kencang. Kalau normal 80 kali per menit, kali ini meloncat loncat menjadi 130-an kali, per menit. Keringat dingin, kliyengan, tapi tetap harus konsen.
Saya tarik napas dalam dalam. Inhale, exhale, inhale, exhale...
Ternyata, kalau hati lebih tenang. Jalan keluar suka pop-up, meloncat-loncat keluar dari otak kanan dan kiri. Semua lembaga yang kami hubungi cukup kooperatif, sih.
Cling! Kami mendapat ide.
“Ya sudah, kalau menunggu data dari kementerian dan lembaga terlalu lama, mungkin Mbah Google dan saudara-saudaranya bisa membantu,”
ADVERTISEMENT
Jemari melesat menelusuri lekak-lekuk dunia maya. Mencari jejak-jejak informasi kelistrikan untuk melengkapi laporan yang harus di-submit dalam (melirik arloji) astaga, dalam 2 jam lagi!
Satu jam lagi tersisa. Fokus! Fokus! Fokus!
Deadline makin dekat, kalau ada rekan yang berani mengganggu, langsung bakal saya sambit dengan kalimat, “Jangan sekaraaang!”
Tiga puluh menit tersisa…..
Kerja! Kerja Kerja! Walau harus kerja ngos-ngosan, akhirnya saya merasa berguna. Saya merasa jadi somebody yang diikutsertakan dalam sebuah rencana kebijakan sepenting ini.
Saya kuras semua ilmu yang pernah dipelajari di kampus, semua teori-teori listrik itu menari-nari di atas kepala.
Waktu habis, bersamaan dengan tuntasnya rekomendasi untuk ditindaklanjuti pemerintah: “Kami mengusulkan diterbitkannya aturan khusus yang mampu mengendalikan harga bahan bakar untuk penyediaan energi listrik. Khususnya terkait harga batas atas dan batas bawah dari pembelian energi oleh PLN,” rekomendasi itu cukup sensitif, karena akan berakibat timbulnya gangguan pada industri batu bara, dan ujung-ujungnya pada neraca perdagangan juga devisa negara.
ADVERTISEMENT
Saya tidak menyangka dalam tiga jam bisa melihat diri saya berbeda. Sungguh bangga dapat menjadi bagian kecil dari suatu kebijakan yang bermanfaat bagi orang lain.
Ketika teman-teman kampus bisa terjun langsung menangani segala hal teknikal sesuai kapasitasnya, saat ini saya mempunyai kesempatan meningkatkan kapasitas sebagai generalis yang dapat melihat sesuatu dengan helicopter view sehingga bisa memberikan manfaat bagi sekitar.
Selamat tinggal minder, bye-bye galau.