Ransel Merah Konflik Tanah

Bukan Remahan Rengginang
Kisah Orang Muda di Istana. Link untuk mengunduh e-book 'Bukan Remahan Rengginang': http://ksp.go.id/unduh-buku/
Konten dari Pengguna
4 Oktober 2019 11:37 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bukan Remahan Rengginang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kedeputian II. Foto: Bukan Remahan Rengginang
zoom-in-whitePerbesar
Kedeputian II. Foto: Bukan Remahan Rengginang
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Dokumen yang akan mempercepat penyerahan sembilan juta hektare tanah ini, masih belum berarti. Dia butuh dibubuhi tandatangan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ibu Siti Nurbaya.
Masalahnya, Ibu Menteri saat ini sedang bersiap ke bandara untuk kunjungan kerja ke Sumatera. Saya bergegas. Menembus lalu lintas Jakarta sore hari, dari Istana di Kawasan Monas menuju Jakarta Selatan mustahil saya lakukan dalam kenyamanan mobil berpendingin.
Saya putuskan menggunakan ojek, moda angkutan tergesit ibu kota. Pengap, lengket, dan gerah beradu dari helm dan masker yang saya gunakan. Belum lagi bercampur asap knalpot mobil yang terjebak kepadatan jalan protokol ibu kota.
Perjalanan bermobil yang jamaknya memakan waktu dua jam kami tebas dalam 20 menit. Meski badan setengah layu, bau asap, dan keringat, saya berlari menuju lantai tujuh Gedung Rimbawan, ruang kantor Ibu Menteri. Ingin sekali rasanya mandi parfum sebelum menghadap. Namun, setiap detik terlalu mahal untuk dibuang. Tanpa perlu menunggu, Ibu Menteri langsung mempersilakan masuk. “Sudah ya, Mbak Sys? (Pasal-pasalnya) aman, ya?” katanya sambil meneliti tiap halaman dan membubuhkan tanda tangan.
ADVERTISEMENT
Plong! Saya melempar senyum lega. Spontan mencium tangan Ibu Menteri dan memeluknya. “Terima kasih, Ibu Menteri,” saya tak sanggup menyembunyikan kegembiraan dan haru. Sembari menyimpan dokumen ke dalam ransel, saya sempatkan berswafoto untuk mengenang perjuangan sore itu.
Sebuah perjuangan panjang yang saya lalui dalam dua tahun terakhir. Puluhan diskusi, belasan revisi telah kami lakukan dalam tim Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial di Kantor Staf Presiden (KSP). Saya terlibat dalam penyusunan substansi dan legal drafting agar Reforma Agraria yang diunggulkan Presiden Joko Widodo ini memiliki landasan hukum yang pasti.
Nantinya, jika Presiden sudah menandatangani dokumen ini maka Badan Pertanahan Nasional (BPN) bisa mendistribusikan tanah pada jutaan orang yang sudah menanti. Sebelumnya, BPN hanya sanggup menerbitkan 500 ribu sertifikat per tahun. Kini, mereka harus bekerja lebih sigap karena aturan kerja sudah dipermudah. Per tahun mereka bisa menerbitkan sertifikat enam kali lipat dari sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Yang lebih penting lagi, akan ada Tim Gugus Tugas Reforma Agraria di setiap daerah untuk penanganan konflik pertanahan. Lega? Belum. Tugas belum selesai. Dokumen itu masih harus mendapat tandatangan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Sofyan Djalil.
Saya langsung berpamitan pada Menteri Siti Nurbaya untuk melanjutkan perjalanan menuju Kawasan Blok M. Tak mau buang waktu, terlanjur basah, saya kembali memesan ojek. Pengap dan sumpek tak lagi terasa. Apalagi kini ransel di punggung terasa lebih ringan.
Menteri Sofyan tidak keberatan dan langsung menerima saya di ruang kerjanya. Tiba-tiba, dokumen itu terasa lebih indah setelah mendapat tandatangan Menteri Sofyan Djalil. Dokumen bertandatangan itu, kini bak ponsel dengan baterai yang terisi penuh. Lembaran kertas itu akan benar-benar sakti untuk diundangkan dalam lembaran negara. Penanganan konflik dan tanah sembilan juta hektare, kini bisa dipercepat untuk segera diserahkan. Tugas tuntas, saya kembali ke kantor. Kini ransel merah di punggung benar-benar terasa ringan. Sesampai di kantor, dokumen pelengkap segera digabungkan dan siap masuk ke meja Presiden.
ADVERTISEMENT
Sepekan telah berlalu. Kami, tim Reforma Agraria, disibukkan hajatan Global Land Forum 2018 di Bandung, Jawa Barat. Sore itu saya berada di Stasiun Bandung menanti kereta yang akan membawa kami kembali ke Jakarta. Hingga tiba-tiba ada pesan masuk ke ponsel: “Bapak Ibu, Perpres RA (reforma agraria) sdh di ttd Presiden. PERPRES 86 Thn 2018 ttg Reforma Agraria. Di ttd Presiden tg 24 sept 2018. Saat ini lg proses pengundangan di Kumham.”
Syska Hutagalung. Foto: Bukan Remahan Rengginang
Terima kasih, ya Tuhan! Sebuah hasil yang indah untuk langkah awal yang baik! Selama dua tahun saya terlibat menyiapkan dokumen terobosan Reforma Agraria ini. Bertemu puluhan orang yang berhak menerima manfaatnya. Dua tahun lalu saya bertemu Keluarga Apa Janggut, kepala Suku Dayak Iban yang bermukim di tengah hutan Sui Utik Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
ADVERTISEMENT
Mereka berharap mendapat kepastian pengelolaan hutan adat. Ada juga petani di Jawa Tengah yang gusar menjelang tanahnya dipakai pembangunan jalan tol. “Bu, mohon bantuannya dipercepat,” titipan harapan yang selalu saya dengar setiap kali bertemu mereka yang menanti peraturan ini. Hari itu, 24 September 2018, bertepatan di Hari Tani Nasional, semua harapan tergapai.
Terompet kereta Parahyangan memecah lamunan. Saya bergegas masuk dan mencari nomor kursi yang tertera pada tiket. Dalam kereta menuju Jakarta saya duduk memeluk ransel. Ransel merah yang selalu siap membawa harapan jutaan rakyat Indonesia.