Gereja di Kampung Abar Sentani Jayapura Padukan Kearifan Lokal

Konten Media Partner
28 Desember 2020 13:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gerabah di dalam gereja GKI Ararati di Kampung Abar, Sentani, Kabupaten Jayapura.. (Dok Hari Suroto/Balai Arkeologi Papua)
zoom-in-whitePerbesar
Gerabah di dalam gereja GKI Ararati di Kampung Abar, Sentani, Kabupaten Jayapura.. (Dok Hari Suroto/Balai Arkeologi Papua)
ADVERTISEMENT
Jayapura, BUMIPAPUA.COM- Gereja Kristen Injili (GKI) Ararati Kampung Abar, Kabupaten Jayapura, Papua, menjadi salah satu gereja terunik di Papua, karena menerapkan perpaduan budaya asli setempat, mengangkat kearifan lokal
ADVERTISEMENT
Keunikannya, pada halaman gereja terdapat sebuah tugu salib di dalam tempayan berukuran besar. Selain itu, di dalam gereja juga terdapat mimbar yang berbentuk gerabah.
Kampung Abar terletak di Danau Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. Kampung ini terkenal sebagai satu-satunya kampung yang masyarakatnya masih eksis membuat gerabah di Papua.
Gereja Kristen Injili (GKI) Ararati Kampung Abar, Kabupaten Jayapura, Papua. (Dok Hari Suroto/Balai Arkeologi Papua)
Setiap bulan September di Kampung Abar bahkan diselenggarakan Festival Makan Papeda dalam Gerabah.
Hari Suroto, peneliti Balai Arkeologi Papua menuturkan tempayan yang terdapat salib di dalamnya, menggambarkan tempayan sebagai tempat menyimpan sagu yang digunakan masyarakat Kampung Abar sejak nenek moyang.

Filosofi Gerabah di Dalam Gereja

"Tempayan ini adalah tempayan keramat. Menurut kepercayaan, jika tepung sagu di dalam tempayan habis, nenek moyang kami bukan mengisinya lagi dengan tepung sagu yang baru, tetapi hanya menaruh sebuah bulu burung, tiba-tiba di dalam tempayan akan terisi tepung sagu dengan sendirinya," katanya, Senin (28/12).
ADVERTISEMENT
Hari menyebutkan pada waktu itu, masyarakat belum mengenal Tuhan dan masih percaya pada kekuatan gaib dan roh nenek moyang. Sejak dulu, masyarakat Abar hidupnya tidak terlepas dari sagu.
Kerajinan gerabah di Kampung Abar Sentani. (Dok Hari Suroto/Balai Arkeologi Papua)
"Tempayan besar masih dipertahankan hingga ini, namun bukan bulu burung lagi yang ditaruh di tempayan, tetapi diganti dengan salib. Nilai filosofis salib di tempayan yaitu salib sebagai sumber kehidupan," kata Naftali Felle, warga Abar menambahkan.
Lanjut Naftali, filosofi lainnya adalah tempayan yang berada di halaman gereja untuk menyimpan tepung sagu. Lalu, tepung sagu dibawa ke dalam gereja, diolah menjadi papeda di gerabah mimbar, selanjutnya papeda dibagi rata ke jemaat. "Dalam artian, firman Tuhan itu dibagikan kepada jemaat," katanya.