Ibu Guru, Kami Takut Meja Patah

Konten Media Partner
8 November 2019 14:18 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ruang kelas di SD Kaibusene, Kabupaten Mappi. (Dok Foto : Diana Da Costa)
zoom-in-whitePerbesar
Ruang kelas di SD Kaibusene, Kabupaten Mappi. (Dok Foto : Diana Da Costa)
ADVERTISEMENT
(Surat dari Pedalaman Papua untuk Bapak Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim)
ADVERTISEMENT
Bapak Nadiem yang terhormat,
Pertama-tama, saya ingin mengucapkan selamat kepada bapak atas tugas baru yang diberikan kepada bapak oleh presiden terpilih, Pak Joko Widodo. Kedua, saya memohon maaf atas kelancangan saya menulis surat kepada bapak. Saya bukan orang yang penting dan berpengaruh dalam dunia politik atau instansi pemerintahan manapun. Saya hanya seorang lulusan sarjana pendidikan yang baru saja menjadi guru di pedalaman Papua, khususnya Kabupaten Mappi.
Pada 03 Oktober 2018 lalu saya tiba di Bumi Cenderawasih sebagai seorang Guru Penggerak Daerah Terpencil. Saya, juga teman-teman sarjana muda lainnya, terpilih sebagai Guru Penggerak Daerah Terpencil dalam program yang dibuat oleh pak Kritosimus Yohanes Agawemu, Bupati Mappi terpilih, bekerjasama dengan pihak Gugus Tugas Papua UGM. Setelah melewati beberapa tahapan seleksi oleh Gugus Tugas Papua UGM, saya mendapat kepercayaan menjadi Guru Penggerak Daerah Terpencil di Kabupaten Mappi. Berikut ini kisah saya tentang pendidikan di Mappi.
ADVERTISEMENT
16 November 2018
Latihan baris berbaris di SD Kaibusene Mappi. (Dok Foto: Diana Da Costa)
Kami bertolak dari distrik Assue menuju kampung tugas saya, Kaibusene. Perjalanan menggunakan ketinting berkapasitas tujuh orang. Jauh perjalanan sekitar sembilan jam lamanya. Perjalanan yang melelahkan, memang. Kami beberapa kali bertemu rumpun tebu rawa yang menghalangi perjalanan yang cukup menguras tenaga untuk dilewati. Kami berhenti dan membersihkan jalan tertutup itu. Ada yang terbayarkan dari perjalanan itu. Banyak ikan gabus bermunculan, berlompatan di permukaan air. Udara yang menyegarkan, pikiran sedikit membantu melupakan letih yang menjalar dalam tubuh.
Akhirnya gapura di pelabuhan Kaibusene mulai nampak. Kami tiba. Spontan air mata saya jatuh perlahan-lahan. Mengalir terus. Ada rasa terharu melihat kampung yang kecil ini. Masyarakat hidup di atas lumpur bila musim kemarau dan genangan air rawa saat musim hujan. Kami tiba dengan suasana sunyi dan tenang. Disini kehidupan berbanding terbalik dengan orang kota atau desa lainnya yang pernah saya datangi.
ADVERTISEMENT
Kemana masyarakat? mereka ke hutan mencari gaharu dan mengumpulkan makanan. Anak-anak dibawa serta ke hutan. Bagaimana dengan aktivitas sekolah? Bah, guru PNS cuma seorang saja ditambah seorang honorer sekolah. Mereka harus mengajar lebih dari lima puluh anak. Saya terharu lagi mendengar pengakuan warga kampung.
Hari pertama tiba, kami langsung berkunjung ke sekolah. Jaraknya kurang lebih lima ratus meter dari sini rumah. Sio mama, air matasaya mengalir lagi saat melihat ruangan belajar. Enam tingkatan kelas SD cuma ada tiga ruangan belajar. Aduh mama, ini nyata. Bagaimana pembelajaran berjalan setiap hari? Dua kelas harus digabung dalam satu ruang belajar: kelas satu dan dua, tiga dan empat, lima dan enam, anak-anak menjelaskan. Tapi bagaimana guru bisa mengajar di tiga ruang begini? Saya membayangkan dua orang guru harus menangani enam kelas dalam tiga ruangan, kemudian muncul pertanyaan. Apa yang diajarkan kepada anak didik? Bagaimana ketika kepala sekolah harus ke kabupaten untuk urusan kedinasan? Anak-anak bercerita bila ada urusan di kabupaten sekolah diliburkan dengan batas waktu yang tak tentu. Bila sudah mencapai seminggu lamanya, anak-anak berangkat ke hutan.
ADVERTISEMENT
Hari-hari selanjutnya, saya kerap berpikir tentang satu pertanyaan. Apa yang akan saya lakukan selama dua tahun, waktu yang terlalu singkat, untuk memajukan pendidikan di Mappi sebagai seorang Guru Penggerak Daerah Terpencil? Sering, saya dan kedua teman guru GPDT, Antonius Tampani dan Inda Rovitha Meyok, menghabiskan waktu setelah makan malam dengan berdiskusi tentang hal ini. Rasanya seperti tidak menerima kenyataan. Kami tidak pernah menyangka bahwa masih ada kehidupan seperti ini di zaman smart phone. Salah siapakah ini? Saya mencoba bertanya pada kedua teman. Yang satu hanya menggelengkan kepala. Satunya menarik napas panjang.
11 Januari 2019
Perpustakaan di SD Kaibusene Mappi. (Dok foto : Diana Da Costa)
Kita doyan memelihara generasi perusak masa depan bangsa. Beratus-ratus miliar uang negara untuk pendidikan dihabiskan hingga yang tersisa adalah ruang kelas layaknya gudang harus ditempati untuk menuntut ilmu. Tidak ada seragam, buku, pensil, meja dan bangku layak pakai. Beginilah Indonesia. Beginilah Mappi. Ini sudah menjadi budaya sebelum atau sesudah Mappi menjadi kabupaten baru, pemekaran dari kabupaten Merauke, kabar burungnya begitu.
ADVERTISEMENT
Anak-anak harus duduk di lantai, membungkuk untuk belajar menulis. Ada beberapa bangku namun sudah reyot. Seorang anak mencoba duduk namun roboh seketika. Diam-diam mereka sepakat untuk duduk di lantai. Saat hendak menulis di meja, mejanya bergoyang. “Ibu guru kami takut meja patah”, kata seorang murid. Tidak lagi peduli pada meja dan bangku. Kami semua duduk melantai sambil belajar menulis abjad.
Sekolah ditutup berbulan-bulan bahkan hingga setahun. Guru-guru ke kota dengan alasan mengurus data pokok peserta didik dan dana BOS.
Yang saya dengar tentang pendidikan di Mappi. Banyak sekolah dijuluki sekolah Ujian karena hanya aktif menjelang ujian semester dan ujian nasional. Kami pernah didatangi seorang orangtua murid. Anaknya sekarang sudah kelas enam.
ADVERTISEMENT
“Ibu guru tolong pada saat ujian jangan dibayar lagi nanti sa pu anak tra bisa ikut ujian lagi,” ia memohon. Saya kaget dan mengelus dada. Saya bilang,”Tuhan…mace (ibu), siapa yang bilang ujian itu bayar, kita wajib belajar 9 tahun itu gratis mace.” “Bah ibu guru baru selama ini kami bayar pas ujian mahal mahal itu…”
Ini namanya pendidikan mematikan masyarakat, pikirku. Orang tua itu melanjutkan keresahannya.
Melantai di kelas biasa dilakukan oleh siswa SD Kaibusene Mappi. (Dok Foto : Diana Da Costa)
Mendatangkan Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT) adalah solusi bupati Mappi terpilih, Rito Agawemu. Saya mencoba menghubungkan benang merah persoalan pendidikan di Mappi dengan gebrakan dari pak Rito Agawemu.
GPDT hadir atas kerjasama Pemerintah Kabupaten Mappi dengan Gugus Tugas Papua UGM untuk membasmi pelan-pelan virus buta huruf di Mappi. Apakah dua tahun mengajar di pedalaman membasmi buta huruf cukup? Tentu tidak.
ADVERTISEMENT
Untukmu Bapak Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan yang baru, kami sangat menantikan program kerja skala Nasional darimu untuk mencerdaskan anak-anak di pedalaman Indonesia. Indonesia bukan hanya Jawa, kami pun Indonesia. Indonesia bukan hanya kota-kota besar yang sudah canggih dengan aplikasi-aplikasi pendidikan yang mudah didapat lewat android, kami di pedalaman yang masih belajar mengenal abjad juga Indonesia.
Pak Surya Paloh pernah berkata dalam sebuah acara bertemakan Pertaruhan Sang Ideolog, “Saya mau lihat Indonesia yang seutuhnya. Saya mau lihat seiring dengan matahari yang terbit dari ufuk timur, suatu ketika dalama waktu yang tidak lama ada anak-anak Indonesia yang rambutnya keriting, kulitnya hitam jadi presiden di republik ini.”
Saya setuju dengan Pak Surya Paloh. Namun untuk saat ini saya hanya ingin melihat buta huruf mati terkapar saat suara lantang anak-anak pedalaman Indonesia membaca buku. Seiring dengan matahari yang terbit dari ufuk timur, saya ingin melihat anak-anak sekolah di pedalaman Mappi bisa menulis ceritra mereka dari pena dan kertasnya tanpa merasa sulit menyusun kata pada kumpulan aksara yang terbentang dari A-Z.
ADVERTISEMENT
Salam Hormat
Diana Cristiana Da Costa Ati, S.Pd
Guru Penggerak Daerah Terpencil Kab.Mappi,Kampung Kaibusene