Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Wamena, BUMIPAPUA.COM – Mendengar orang menyebut kopi Papua, mungkin tak sepopuler dibanding orang menyebut kopi Gayo Aceh atau kopi Toraja. Tapi siapa sangka, kini kopi Papua mulai ‘mengusik’ lidah penikmat kopi.
ADVERTISEMENT
Perlahan dan pasti, aroma rasa kopi Papua yang unik dan khas, mulai banyak dinikmati orang saat mereka menyesap kopi di cafe, maupun restoran ternama di Indonesia.
Budidaya kopi Papua memang belum banyak. Namun kemunculan kopi Papua sebenarnya sudah cukup lama. Misalnya, biji kopi Dogiyai mulai ditanam sejak tahun 1950-an yang dikenalkan oleh misionaris Belanda.
Kopi variety Arabica Typica ini, biasanya ditanam di sekeliling lembah Kamuu di Pegunungan Mapia, Kabupaten Dogiyai. Kopi dari daerah ini selain dikenal sebagai biji kopi Dogiyai, tapi juga populer dengan nama Kopi Moanemani.
Namun kepopuleran Kopi Moanemani asal Kabupaten Dogiyai ini sedikit mulai tergeser dengan kehadiran sejumlah kopi Papua lainnya. Misalnya, Kopi Sabin asal Kabupaten Pegunungan Bintang, Kopi Wamena asal Kabupaten Jayawijaya, dan Kopi Tiom asal Kabupaten Lanny Jaya.
Walau semua kopi ini adalah variety Arabica Typica yang tumbuh di daerah ketinggian pegunungan tengah Papua, tapi aroma dan rasanya berbeda.
ADVERTISEMENT
Misalnya, rasa Kopi Wamena sangat unik, mulai dari rasa balance and smooth, aroma bernuansa cokelat dan floral yang cukup harum, keasaman rendah, body yang medium, hingga rasa sweetness yang sedang.
Banyak pendapat dari kalangan penikmat kopi yang mengatakan, Kopi Wamena adalah aroma floral yang khas dan jarang ditemui pada kopi di daerah lainnya. Alasannya, karena ketinggian lokasi tanah dan cara menanam tanpa menggunakan pestisida.
Sementara cita rasa aroma Kopi Tiom juga berbeda, memiliki aroma wangi yang khas bertekstur tajam. Kopi Tiom tumbuh di ketinggian lebih 2.000 meter di atas permukaan laut (mdpl) ini, juga ditanam secara organik tanpa bahan kimia.
Iklim di daerah Tiom sangat mendukung menciptakan rasa kopi yang hanya ada satu-satunya di Indonesia. Bahkan saat Festival Kopi Papua pertama 2018 di Kota Jayapura, Papua, Kopi Tiom keluar sebagai kopi termahal dengan harga Rp 5,3 juta per kilogram.
Menurut salah satu petani kopi asal Kampung Yagara, Distrik Walesi, Kabupaten Jayawijaya, Maksimus Lany, keunggulan kopi Papua terletak pada perbedaan cita rasa kopinya. Sebab masing-masing kopi yang tempat asalnya berbeda, jelas rasanya pun juga berbeda.
ADVERTISEMENT
“Kopi Tiom dan Kopi Wamena, maupun kopi lainnya yang ada di wilayah pegunungan tengah Papua, jelas cita rasanya berbeda. Kopi Tiom aromanya lebih tajam dari Kopi Wamena, rasanya pun beda,” ungkapnya, saat ditemui bumipapua di kebunnya di daerah Yagara, Kabupaten Jayawijaya, belum lama ini.
Maksimus, pemilik lahan kopi 38 hektare di Kampung Yagara menyebutkan, kenapa kopi Arabica di pegunungan tengah Papua ini aromanya berbeda? Hal itu dilihat dari perbedaan tinggi setiap tempat kopi itu ditanam.
Sebab semakin tinggi tempat tanamnya, aromanya pun semakin tajam, apalagi di dataran tinggi itu tanah berbatu kerikil, pasti aromanya berbeda dengan dataran lembah.
Menurut Maksimus, di Kabupaten Jayawijaya atau Lembah Baliem ini pun juga beda antara kopi asal Yagara, Wolo, Kurima, dan Piramid. Aroma kopinya juga beda, karena dari segi ketinggian tempatnya ditanam juga berbeda.
ADVERTISEMENT
“Perbedaan itu juga bisa dilihat dari segi besarnya biji yang dihasilkan. Di Wamena, biji kopi lebih besar dan berisi dibanding di wilayah yang dataranya lebih tinggi, misalnya di Tiom biji kopinya lebih kecil,” terang Maksimus.
Kepala Bidang Peternakan dan Hewan Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Lanny Jaya, Herlina Sihombing mengatakan, keunggulan Kopi Tiom, Lanny Jaya karena ditanam pada ketinggian di atas 2.000 mdpl.
“Kopi ini aromanya ada rasa buah, lalu kadar airnya tinggi dan juga tak menggunakan pupuk. Sehingga semuanya alami dan natural. Ini yang membuat Kopi Tiom banyak cari dan kini populer,” kata Herlina.
Namun menurut Herlina, setiap kopi jelas rasanya berbeda, sebab hal itu tergantung tekstur tanah dan tempat di mana kopi itu ditanam.
ADVERTISEMENT
“Misalnya kopi di Distrik Pirime dan kopi di Distrik Maki, serta kopi di Distrik Golo yang ada di Lanny Jaya ini, rasanya juga beda-beda,” jelas Herlina saat ditemui bumipapua di Tiom, Lanny Jaya, belum lama ini.
Untuk Kabupaten Lanny Jaya, kata Herlina, saat ini luas panen kopi ada sekitar 1.010 hektar dan memiliki 216 kelompok tani yang tersebar di sebagain distrik di Lanny Jaya. “Namun ada beberapa distrik juga yang tak cocok untuk komoditas kopi, misalnya Distrik Kuyawage,” terangnya.
Sedangkan untuk hasil panen kopi, kata Herlina, kadang dijual secara personal dari pemilik kopi. Dirinya mengklaim, selama ini, pemerintah telah menfasilitasi distribusi ke Koperasi Baliem Arabika di Wamena, Kabupaten Jayawijaya. “Pemerintah sudah membuat brand sendiri, yaitu Kopi Tiom,” ungkapnya.
Menjaga Cita Rasa Kopi Papua
ADVERTISEMENT
Perlu kerja ekstra dalam menjaga kualitas dan keunikan kopi Papua dari jenis Arabica Typica, yang wilayah perkebunannya rata-rata berada di ketinggian antara 1.600 hingga 2.600 mdpl.
“Karakter rasa dan aroma itu juga dijaga dan ditingkatkan melalui tahapan proses pengolahan pasca panennya,” jelas Maksimus, petani kopi asal Wamena, Jayawijaya.
Menurut Maksimus, para petani kopi di Papua, terutama yang ada di wilayah pegunungan tengah Papua setidaknya telah banyak memiliki pengalaman menanam hingga mengelola kopi pasca panen. Sebab awal mula kopi Arabica ini muncul di Lembah Baliem (Wamena, Jayawijaya), itu dikembangkan sejak jaman Belanda.
“Tapi masyarakat Lembah Baliem mulai tahu komoditas kopi saat hadirnya pemerintah pada tahun 1997 untuk melakukan pengembangan kopi di wilayah pegunungan tengah Papua, termasuk di Wamena,” terangnya.
Tahun 2008, kata Maksimus, dirinya bersama warga lain yang memiliki kebun kopi mulai menjual kopi gabah ke pengusaha Hendre Baliem Subur. “Harganya, Rp5.000 per kilogram,” katanya.
ADVERTISEMENT
Sehingga mulai tahun 2008 itu, kata Maksimus, dirinya mulai membuka koperasi di Kampung Yagara dengan nama koperasi Okesa Yagara. Namun koperasi ini mulai berjalan baik tahun 2014. Koperasi ini berfungsi sebagai wadah menampung panen kopi warga, mulai dari asal Tiom hingga kopi dari distrik-distrik yang ada di Kabupaten Jayawijaya.
“Saat itu, kopi-kopi ini harga per kilogramnya sudah naik Rp30 ribu. Terus pada tahun 2018, harga ini naik lagi menjadi Rp60 ribu per kilogramnya. Sehingga, sampai sekarang, antusias masyarakat sangat tinggi bergotong royong untuk mengerjakanya perkebunan kopi,” terang Maksimus.
Menurut Maksimus, kopi Arabica dari Wamena ini sudah dikenal hingga seluruh manca negara karena keunikanya berbeda dengan jenis kopi Arabica di tempat lain.
“Kopi di pegunungan Papua (Wamena) ditanam oleh petani tradisional tanpa menggunakan pupuk kimia dan pestisida. Sehingga menghasilan kopi dengan kualitas baik dan aroma rasa yang khas,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, kata Maksimus, pihaknya bersama para petani kopi di Wamena menjaga kualitas cita rasa kopi, mulai dari perawatan hingga panen.
“Saat panen itu, kami bukan sistem perampasan, artinya biji kopi yang masih kulit hijau, kuning atau pun yang sudah merah dipetik semua. Tapi yang kami ambil hanyalah kopi yang betul-betul matang yang kulitnya sudah merah,” terangnya.
Selain itu, kata Maksimus, meski saat panen biji kopinya sudah matang, namun tetap dilakukan pengetesan di air yang sudah disiapkan dalam ember atau wadah besar.
“Jika biji kopinya tenggelam, maka biji kopi itu sudah benar-benar matang. Tapi jika ada yang terapung, maka itu bisa jadi kopinya kena hama atau belum matang. Sehingga kami pisahkan dan biasanya kami konsumsi sendiri, tak kami jual,” katanya.
ADVERTISEMENT
Setelah melalui proses itu, kata Maksimus, dilanjutkan dengan proses yang disebut sebagai pengupasan basah (juga sering disebut sebagai semi washed).
“Dimana mengupas kulit luar buah kopi dengan menggunakan mesin pengupas tradisional yang disebut “luwak”. Biji kopi, yang masih berselaput getah, kemudian disimpan selama 24 jam (sehari),” terangnya.
Selanjutnya, setelah penyimpanan, dibersihkan dari getah dan biji kopi dijemur untuk dikeringkan hingga memperhatikan kandungan air pada kisaran 12 atau 13 persen dikupas dalam keadaan basah.
“Sebab jika dibawa angka ini, maka kadar airnya telalu tinggi, begitu pun jika di atas angka itu, maka bijinya terlalu kering yang membuat aromanya bisa hilang,” paparnya.
Setelah pengupasan, kata Maksimus, kopi kemudian disortir berdasarkan ukuran, berat, dan warna. “Awalnya menggunakan mesin dan kemudian menggunakan tangan untuk sortir memisahkan warna biji hitam karena ada hamanya. Lalu terakhir dikemas untuk dijual,” katanya.
ADVERTISEMENT
Sedangkan dari segi peminat dalam pemasaranya selama ini, kata Maksimus, tergantung masing-masing pembelinya. Sebab selera pembeli juga berbeda-beda, ada yang menyukai kopi asal Tiom, kopi asal Yagara, kopi asal Kurulu, kopi asal Piramid, kopi asal Wolo, kopis asal Kurima serta kopi dari tempat lainnya.