Kapendam Cenderawasih: Peristiwa di Mapenduma Kejahatan HAM Berat

Konten Media Partner
26 Oktober 2018 20:54 WIB
Kapendam XVII/Cenderawasih, Kolonel Inf Muhammad Aidi. (Dok: PendamCenderawasih) (Foto: Dok. PendamCenderawasih)
zoom-in-whitePerbesar
Kapendam XVII/Cenderawasih, Kolonel Inf Muhammad Aidi. (Dok: PendamCenderawasih) (Foto: Dok. PendamCenderawasih)
ADVERTISEMENT
Kapendam XVII/Cenderawasih, Kolonel Inf Muhammad Aidi. (Dok: PendamCenderawasih)
Jayapura, BUMIPAPUA.COM – Kodam XVII/Cenderawasih buka suara soal simpang siur insiden penyanderaan guru dan tenaga kesehatan di Mapenduma, Kabupaten Nduga.
ADVERTISEMENT
Kapendam XVII/Cenderawasih, Kolonel Inf Muhammad Aidi, mengaku tak terlalu mempermasalahkan tentang istilah, sebutan atau pemilihan kata dalam kasus ini. Apakah disebut "disandera", "disekap", "dilarang beraktivitas", atau istilah lain-lain.
“Ini semua hanya persepsi bagaimana kita mendefinisikannya. Namun apakah dengan penggunaan istilah tersebut bisa memberikan makna bahwa pelaku tidak bersalah? Atau karena disebut tidak disandera maka telah melegalkan apa yang dilakukan oleh pelaku?” kata Aidi, Jumat (26/10).
Aidi menuturkan yang dialami korban di Mapenduma sejak awal tiba di Lapangan Terbang Mapenduma sudah disambut dengan segerombolan orang bersenjata, lalu barang bawaan digeledah, ditodong senjata, dipaksa mengumpulkan KTP, dan telepon genggamnya.
Rombongan guru dan tenaga medis itu pun dilarang beraktivitas dan keluar dari rumahnya selama kegiatan gerombolan berlangsung.
ADVERTISEMENT
“Ternyata baru belakangan disebutkan bahwa kegiatan yang dimaksud adalah pelantikan jenderal mereka (KKSB). Guru dan tenaga medis ini pun diancam apabila menginformasikan apa yang dilihat dan dialami di Mapenduma, semua akan dibunuh,” kata Aidi.
Lanjut Aidi, sangat miris yang dilakukan KKB adalah memperkosa guru secara bergilir dan memasuki kediaman para guru dengan paksa. Ini artinya perbuatan KKSB sudah direncanakan bersama.
“Dari uraian para korban, menunjukkan fakta bahwa di Mapenduma terdapat segerombolan orang mengangkat senjata secara ilegal, sebagaimana kita ketahui bahwa tindakan mengangkat, memiliki, dan menggunakan senjata secara tidak sah adalah tindakan melawan hukum dan tidak dapat dibenarkan oleh hukum manapun di dalam wilayah kedaulatan NKRI,” jelas Aidi.
Terlebih lagi, disebutkan bahwa di Mapenduma dilakukan pelantikan pimpinan atau jenderal KKB dan ini menunjukkan bahwa tindakan KKB bukan hanya sekedar kriminal biasa. Tetapi merupakan kegiatan separatis yang terorganisir yang melakukan tindakan makar, perlawanan atau pemberontakan terhadap kedaulatan NKRI.
ADVERTISEMENT
Kembali lagi kepada penggunaan istilah disandera atau tidak disandera. Sebelumnya, juga telah dinyatakan oleh Sekda Kabupaten Nduga, Namia Gwijangge bahwa tak ada penyanderaan.
Apakah dengan pernyataan Sekda Nduga berarti ingin menggambarkan bahwa di Mapenduma tidak ada kejahatan? Tidak ada kegiatan melanggar hukum? Atau tindakan yang dilakukan oleh KKSB di Mapenduma adalah sah-sah saja karena bukan penyanderaan?
Aidi menambahkan perlu diingat bahwa guru dan tenaga kesehatan yang menjadi korban di Mapenduma ditugaskan oleh Pemkab Nduga. Setelah guru dan petugas kesehatan menjadi korban, bukan kah harusnya Pemkab atau Sekda Nduga prihatin dengan kasus ini?
“Bukankah fakta di atas merupakan pelanggaran HAM berat yang perlu menjadi keprihatinan kita semua? Bukan malah berusaha beretorika dan berdalih untuk melindungi pelaku,” katanya.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya bila aparat keamanan TNI/Polri melakukan tindakan penegakkan hukum untuk menjamin kepastian dan kewibawaan hukum di seluruh wilayah hukum NKRI, justru dituduh dan dituding sebagai pelaku pelanggaran HAM. (Katharina)