Laut Arafura Diminati Nelayan Luar Papua Mencari Gelembung Ikan

Konten Media Partner
13 Juli 2019 20:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pelabuhan Perikanan Nusantara Merauke di Kabupaten Merauke-Foto Abdel
zoom-in-whitePerbesar
Pelabuhan Perikanan Nusantara Merauke di Kabupaten Merauke-Foto Abdel
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Merauke, BUMIPAPUA.COM - Ratusan kapal kayu penjaring ikan lalu lalang di perairan Laut Arafura, Merauke, Papua. Kapal-kapal ini menjadikan Pelabuhan Perikanan Nusantara Merauke sebagai embarkasi. Tercatat, per Juni 2019 saja, ada 603 kapal berbagai tonase kotor (Gross Tonnage/GT) yang keluar-masuk di pelabuhan paling Timur Indonesia itu.
ADVERTISEMENT
Kapal-kapal ini datang dari berbagai daerah di Indonesia, seperti dari Tanjung Balai Karimun, Porbolinggo, Pekalongan, Rembang, Benoa, Kalimantan dan Jakarta. Kapal ini beroperasi tanpa ada satu induk perusahaan di Merauke. Hanya ditangani 1 koordinator, biasanya para kordinator tangani 5 hingga 10 kapal untuk satu pemilik (bos).
Sejumlah kapal penangkap ikan dari luar Papua ini dicurigai bernaung di bawah bendera agen pelayaran yang berkantor di Merauke. Seperti yang diungkapkan Ayaum, warga Negara Indonesia asal Tionghoa dari Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau yang mengaku, tak punya perusahaan perikanan, tapi menangani delapan kapal.
“Kalau disini (Merauke) saya koordinator atau pengurus kapal di bagian darat. Ada 8 kapal yang saya tangani. Pemilik kapal (bos) saya di Tanjung Balai Karimun. Kapal saya tak ada perusahaan dan surat-surat kapal. Ijin pelayaran itu kami suruh agen disini yang urus. Kami hanya tahu terima bersih saja," jelasnya kepada media ini beberapa waktu lalu di Pospol Airud, Merauke.
ADVERTISEMENT
Ayaum mengaku, kapal-kapalnya itu menjaring ikan di perairan Laut Arafura, Merauke bisa dalam waktu sebulan lamanya, lalu bersandar di Pelabuhan Perikanan Nusantara Merauke. “Yang kami jaring itu ikan kuru, ikan kakap, ikan gulama dan lainnya. Tapi yang kami ambil hanya gelembungnya saja,” ungkapnya dengan dialek Tionghoa.
Penimbangan gelembung ikan di Merauke, yang hargnya cukup mahal sehingga diminati para nelayan. (Foto Abdel)
Gelembung ikan ini adalah organ yang membantu ikan mengambang. Nama pasarannya, “fish maw”. Di Negeri Cina, gelembung ikan jadi makanan mewah diolah ke dalam sup atau rebusan. Gelembung ikan juga jadi sumber kolagen, lem tahan air hingga alat pemurni minuman beralkohol. Bahkan informasinya, gelembung ikan ini juga bisa diolah jadi benang operasi yang digunakan dokter.
Bila dijual, harga gelembung ikan ini cukup mahal. Tapi bisanya gelembung ikan ini dikelompokkan dulu berdasarkan jenis ikan dan ukuran berat per gram gelembungnya. Lalu dikumpulkan dinilai berdasarkan berat per kilogramnya. Misalnya saja, gelembung Ikan Gulama ukuran di bawah 10 gram dengan berat 1 kilogram, harganya Rp8 juta. Harga ini bisa lebih tinggi lagi berdasarkan ukuran gram dan berat gelembungnya.
ADVERTISEMENT
Koordinator Pelabuhan Perikanan Nusantara Merauke Kementerian Kelautan dan Perikanan, Susanto Masita mengakui, jumlah kapal yang merapat di Pelabuhan Perikanan Nusantara Merauke dalam setahun bisa mencapai seribuan jumlahnya.
“Kapal ini dari berbagai daerah. Jika dibandingkan dengan nelayan lokal di Merauke, jumlahnya lebih banyak kapal dari luar. Per bulan Juni 2019 saja, ada 603 kapal yang masuk ke Merauke. Dari jumlah itu, 20 persennya nelayan Merauke," ungkap Susanto kepada media ini di Merauke, Kamis (11/7).
Koordinator Pelabuhan Perikanan Nusantara Merauke Kementerian Kelautan dan Perikanan, Susanto Masita. (Foto Abdel)
Menurut Susanto, jumlah kapal nelayan yang masuk Merauke bisa dipastikan akan terus bertambah hingga akhir tahun 2019. “Itu karena, ijin tangkap yang dikeluarkan Kementerian Perikanan dan Kelautan kepada kapal nelayan yang bakal sandar di Merauke itu mencapai 1.500 kapal. Ini belum masuk semua, kami perkirakan akhir tahun nanti bisa mencapai 800-an kapal," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Data yang dikeluarkan, kata Susanto, yakni kapal 10 GT ada 2 kapal, 11-30 GT ada 399 kapal, 31-50 GT ada 21 kapal, 51-100 GT ada 91 kapal, 101-200 GT ada 78 kapal, dan 201-500 GT ada 12 kapal. Jumlah kapal ini, belum termasuk jumlah tenaga kerja.
“Sedangkan jumlah tenaga kerja ada lebih dari 6000 tenaga kerja di kapal penangkap ikan. Jumlah tanaga kerja paling dominan berasal dari luar Merauke. Data ini berdasarkan kapal yang beroperasi di wilayah pengelola perikanan 178 Laut Arafura, per Januari-Juni 2019,” ungkap Susanto.
Ironisnya, kata Susanto, sejumlah kapal nelayan ini tak mencari ikan seperti ijin penangkapan ikan yang dikeluarkan Kementerian Perikanan dan Kelautan. Sasaran dari para kapal nelayan ini, yakni mencari gelembung ikan. Seperti gelembung Ikan Kuru, Ikan Kakap Putih (Kakap Cina), Ikan Gulama dan beberapa jenis ikan lainnya. “Ini karena nilai jual gelembung ikan lebih mahal dibandingkan daging ikan itu sendiri,” katanya.
Anak nelayan di Merauke dengan ikan hasil tangkapan orang tuanya. (Foto Abdel)
Susanto mengakui, hal ini merupakan satu fenomena baru, yang tak dapat dihindari, yakni kapal-kapal nelayan lebih cenderung mencari gelembung ikan, sehingga daging ikan banyak yang tak digunakan alias di buang ke laut dan menjadi bangkai.
ADVERTISEMENT
“Ini satu fenomena, dimana kapal penjaring lebih cenderung mencari gelembung dari pada daging ikannya. Itu karena, banyak kapal tak mempunyai ruang pendingin. Kalau dipresentasi, hanya 20 persen saja kapal yang mempunyai alat pendingin. Sehingga bisa dipastikan daging ikan banyak di buang ke laut," ungkap Susanto.
Lalu bagaimana dengan ijin penangkap ikan bukan ijin mencari gelembung. Susanto mengaku, gelembung dan ikan itu satu kesatuan. Namun tak bisa dipungkiri jika kepal-kapal itu lebih cendrung mencari gelembungnya saja. “Ini yang lagi kita kaji pada tingat pengawasan perikanan. Mudah-mudahan ada solusinya," harapnya.
Susanto mengaku, walau faktanya kapal nelayan hanya mencari gelembung, namun berdasarkan data Kementerian Perikanan dan Kelautan, produksi tangkap setiap tahun meningkat. “Tahun 2017 produksi tangkap mencapai 12 ribu ton dan di tahun 2018 naik menjadi 14 ribu ton. Ada kenaikan produksi tangkap sekitar 2 ribu ton. Namun untuk tahun 2019 masih dalam tahapan pendataan hingga akhir tahun," ujarnya.
Kapal kayu milik nelayan di Merauke. (Foto Abdel)
Siklus kapal nelayan setiap tahun yang terus bertambah, kata Susanto, diakui menjadi fenomena baru pasca diberlakukan moratorium. Bahkan terus bertambahnya kapal nelayan dengan satu pemilik kapal dicurigai adanya pola baru yang dimainkan pihak asing yang pernah berinvestasi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Susanto juga mengaku ada indikasi penyertaan modal asing pada warga Indonesia dalam kegiatan tangkap. Sebab adanya indikasi penyertaan modal asing itu dapat dilihat dari grafik jumlah kapal yang beroperasi di Laut Arafura serta hadirnya tempat pembuatan kapal di berbagai tempat di Kabupaten Merauke.
“Kami bisa lihat saja pembuatan kapal-kapal kayu ukuran besar tambah begitu banyak. Kalau ambil kesimpulan, satu kapal itu menghabiskan biaya Rp700 juta. Nah yang jadi pertanyaan, apakah masyarakat nelayan kita di Merauke bisa membuat kapal dengan biaya yang sangat mahal itu. Ini kan jadi pertanyaan, maka indikasi kami ada modal asing yang masuk," ungkap Susanto. (Abdel)