Pengakuan Pengujar Kebencian soal Presiden di Media Sosial

Konten Media Partner
23 Oktober 2019 16:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga Merauke inisial S mengaku menyesal memposting ujaran kebencian dan editan foto presiden di akun media sosialnya. (Foto Abdel)
zoom-in-whitePerbesar
Warga Merauke inisial S mengaku menyesal memposting ujaran kebencian dan editan foto presiden di akun media sosialnya. (Foto Abdel)
ADVERTISEMENT
Merauke, BUMIPAPUA.COM – Hingga kini, polisi belum menetapkan status S, seorang guru honorer lepas di Sekolah Dasar (SD) Internasional OKKI Anim Ha, Merauke, sebagai tersangka ujaran kebencian terhadap Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, terkait postingannya melalui akun media sosial Facebook miliknya yang diunggah pada 17 dan 18 Oktober 2019 lalu.
ADVERTISEMENT
Kasat Reskrim Polres Merauke, AKP Carroland Ramdani mengatakan, hingga kini belum ada peningkatan status S dari saksi ke tersangka. “Sebab belum dilakukan gelar perkara. Saya sendiri tadi masih ada kegiatan, sehingga tak sempat gelar perkara. Dia S, hingga kini masih dikenakan wajib lapor," jelasnya saat dihubungi lewat telepon, Rabu (23/10).
Sebelumnya, Selasa (22/10), BumiPapua.com di Merauke menyambangi sekolah dimana S bekerja sebagai guru honorer yang mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris dan Agama. S terlihat masih tetap mengajar seperti biasanya. Sebagai guru honor lepas, S tak diberikan sanksi pihak sekolah atas ulahnya terkait ujaran kebencian terhadap kepala negara melalui media sosial miliknya.
S sendiri masih diberi kesempatan mengajar sepanjang belum ada keterangan peningkatan status dari saksi menjadi tersangka oleh pihak kepolisian setempat. “Urusan dia (S) dengan kepolisian, itu urusan pribadinya. Urusan dia dengan pihak sekolah, itu urusan belajar mengajar,” ungkap Kepala SD Internasional OKKI Anim Ha, Dominika Sanderubun, Selasa (22/10).
ADVERTISEMENT
Dominika juga lalu menceritakan prilaku S sejak mengajar selama dua tahun belakangan ini. Dominika mengaku, S sebagai guru memang orangnya tertutup dan suka menyendiri. Bahkan S lebih sering main handphone (HP), baik dalam proses belajar maupun pada saat jam istirahat.
“HP itu tak bisa terlepas dari tangannya, saat mengajar pun dia main HP, bahkan di jam istirahat pun dia lebih suka sendiri dan main HP. Dia itu sudah sering saya tegur gara-gara main HP di saat mengajar. Dia orangnya tidak banyak sosialisasi dengan teman guru lainnya,” ungkap Dominika.
Saat warga Merauke inisial S sedang diperiksa penyidik Polres Merauke terkait ujaran kebencian dan editan foto presiden yang diposting di akun media sosialnya. (Foto Abdel)
Pengaruh keseringan bermain media sosial juga diakui oleh S. Menurut S, dirinya baru mengenal media sosial satu tahun setelah memiliki HP android. “Saya salah dan tak bermaksud menghina siapapun. Saya minta maaf kepada presiden dan wakil presiden. Waktu itu saya agak stres, makanya saya luapkan dengan meng-upload foto-foto itu,” jelasnya, di Merauke, Selasa (22/10).
ADVERTISEMENT
S mengaku menyesal atas perbuatanya, sehingga dipanggil pihak kepolisian di Merauke. Bahkan dia mengaku kapok memegang HP. “Jujur saya baru mengenal media sosial satu tahun ini. Tapi setelah kejadian itu, saya kapok main media sosial lagi. Saya selama ini tak tahu kalau main media sosial itu ada hukumnya,” jelas ibu dua anak ini.
S juga mengaku, pelampiasan di media sosial merupakan salah satu cara untuk meringankan beban permasalahan yang selama ini dihadapi. “Anak saya dua, satu masih balita. Suami saya pensiunan ASN dan kini sakit stroke. Dia hanya di rumah saja tak bisa berbuat-apa,” katanya.
Menurut S, dirinya selama ini memang selalu menyendiri dan lebih cenderung memilih teman yang mau mendengar curahan hatinya. “Saya akui itu mas, saya salah. Saya salah, sebab persoalan-persoalan itu saya tuangkan di media sosial,” katanya menyesal.
ADVERTISEMENT
Sekadar diketahui, S sebelumnya ditangkap dan diperiksa polisi pada Sabtu (19/10) lalu, akibat mengedit gambar foto Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin lalu mengunggah ujaran kebencian melalui akun Facebook miliknya.
Unggahan S pertama kali diketahui Tim Cyber Mabes Polri yang menemukan konten berisi ujaran kebencian terhadap presiden dan wakil presiden dengan menambahkan gambar-gambar lain di foto presiden dan wakil presiden. Unggahan itu sempat mendapat 150 komentar dan 5 kali dibagikan, serta mendapat 130 tanda imoji yang beragam.
“Jika terbukti, S bisa saja dijerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan ancamanan hukuman maksimal 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar,” jelasnya Kasat Reskrim Polres Merauke, AKP Carroland Ramdani di Merauke, Senin (21/10) lalu.
ADVERTISEMENT