Seorang Nenek di Serui dengan tato di lengannya_BumiPapua_Agies.jpeg

Tato Jadi Lambang Kecantikan Perempuan Adat di Papua

18 Desember 2019 9:06 WIB
comment
12
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang Nenek di Serui memperlihatkan tato di lengannya. (BumiPapua.com/Agies Pranoto)
zoom-in-whitePerbesar
Seorang Nenek di Serui memperlihatkan tato di lengannya. (BumiPapua.com/Agies Pranoto)
ADVERTISEMENT
Serui, BUMIPAPUA.COM - Wilayah adat Saireri dikenal akan keindahan pantainya, selain letaknya memang di pesisir pantai, daerah ini juga memiliki banyak ritual khas yang dikenal masyarakatnya. Salah satunya adalah tato tubuh yang diperuntukan bagi kaum hawa.
ADVERTISEMENT
Konon tato badan di wilayah adat Saireri, khususnya di Kabupaten kepulauan Yapen dan Waropen, banyak dilakukan oleh perempuan muda dan belum menikah. Tato diyakini oleh perempuan setempat melambangkan pekerja keras dan kecantikan.
Tato juga biasa dilakukan oleh perempuan adat Saireri jika mengalami kedukaan, seperti kematian. Sayangnya, tradisi metato tubuh pada perempuan kian memudar.
Nenek Maria Raubaba, seorang perempuan asli Serui yang ditemui bumipapua di Kampung Bawai, Kabupaten Kepulauan Yapen menyebutkan tato yang ia miliki pada bagian lengannya, melambangkan bahwa dirinya adalah perempuan kuat.
“Tato ini, sa (saya) buat pada tahun 1947, saat sa masih muda. Ini torang (kami) pu (punya) cara agar terlihat cantik dan kuat di mata laki-laki,” kata Nenek Maria yang saat ini berusia 78 tahun.
ADVERTISEMENT
Maria muda kala itu sengaja membuat tato pada bagian lengannya untuk menarik perhatian kaum adam. Ia membuat tato di sejumlah tubuhnya dengan cara tradisional, yakni arang yang biasa didapat di belanga atau panci, lalu jarum jahit dan ditambah getah langsat atau menggunakan daun bobo, agar warna hitamnya tetap pekat dan menghasilkan gambar terbaik.
Tato yang tersirat pada sejumlah bagian tubuh Nenek Maria terbilang unik, hanya tesirat simbol-simbol yang dimengerti oleh dirinya dan sang pembuat tato. Gambaran berupa angka, garis panjang yang sejumlah bentuk geometris ada pada bagian lengan Nenek Maria.
“Kalau ini, artinya sa pu nama. Gambar-gambar lain ini orang yang buat tato yang mengerti. Waktu muda dulu, makin banyak tato, pasti laki-laki makin lirik kitorang (kami),” kata Mama Maria sembari tersenyum malu.
ADVERTISEMENT
Hal yang sama ditemui pada Nenek Ema Wopi. Tato yang ia miliki hampir ada pada bagian lengan dan punggungnya. Tapi, Nenek Ema justru menuliskan banyak nama orang yang sudah meninggal pada bagian lengannya.
Tato pada dahi perempuan Papua. (DOK: Balai Arkeolog Papua)
“Dulu, jika ada orang yang meninggal di kampung, satu kampung itu pasti rame-rame buat tato dengan nama orang yang meninggal itu, entah nama panjang atau nama panggilannya. Ini menandakan kami berduka dan kehilangan dia,” katanya.
Nenek Ema menyebutkan tradisi tato sudah langka. Jika pun masih ada, untuk dibuat tato sudah banyak menggunakan perlengkapan modern, sehingga memudarkan makna pembuatan tato itu.
“Kebanyakan sekarang, anak-anak punya tato di badan biar terlihat keren. Padahal torang (kami) buat tato di badan justru untuk menjaga tradisi. Tapi, begitu sudah, karena perkembangan juga sudah maju, ya anak muda tinggal ikuti membuat tato pakai cara instan,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Sektetaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kepulauan Yapen, Yusuf Imanuel Moai menyebutkan tradisi tato perlu ditelaah lebih dalam, apakah tradisi ini masih dipertahankan atau tidak pada perempuan di Serui.
“Nyatanya, dulu memang banyak perempuan bertato, beda dengan perempuan modern saat ini. Perempuan bertato banyak ditemui di perkampungan dan perempuan bertato kebanyakan sudah tua, walaupun di kota juga kita jumpai, tapi jumlahnya sudah minim,” katanya.
Tato dari Austronesia
Perempuan Suku Moi Sorong yang juga membuat tato untuk kecantikannya. (Dok: Balai Arkeologi Papua)
Balai Arkeologi Papua mencatat budaya tato di pesisir utara Papua, merupakan tradisi yang diperkenalkan oleh orang Austronesia dari Asia yang bermigrasi ke wilayah Papua pada masa prasejarah sekitar 3.000 tahun yang lalu.
Tato di Kepulauan Yapen dan Waropen, lebih banyak dilakukan oleh perempuan daripada laki-laki. Selama tahun-tahun puberitas para gadis Waropen dan Yapen, banyak dibuat tato pada bagian tubuhnya dengan gambar perahu, huruf, dan tulisan lainnya.
ADVERTISEMENT
Hari Suroto, Arkeolog pada Balai Arkeologi Papua menyebutkan kebanyakan perempuan di Waropen dan Yapen membuat tato pada bagian dada, kaki, lengan dan wajah.
Pembuatan tato secara tradisional di daerah Saireri ini, pertama-tama dilakukan pada kulit dengan pemberian warna hitam, kemudian ditusuk-tusuk dengan menggunakan dua tulang ikan, dan diikatkan bersama pada sepasang batang kayu, lalu dipukul pelan-pelan dengan sepotong kayu yang lain.
Kemudian luka-luka kecil tersebut digosok lagi dengan warna hitam, sehingga menjadi sedikit meradang, dengan demikian motif yang sudah digambarkan sebelumnya tidak dapat terhapus dalam kulit.
“Seluruh proses tersebut agaknya menyakitkan dan karena alasan inilah pembuatan tato dilakukan secara bertahap, tidak sekaligus, mungkin membutuhkan waktu 2-3 hari dalam prosesnya,” katanya.
ADVERTISEMENT
Kata Hari, termasuk tradisi tato tubuh pada suku Sentani di Kabupaten Jayapura biasa disebut enahu mulai terlupakan.
Salah satunya karena pengetahuan akan salah satu tradisi penduduk asli suku Sentani hanya terbatas pada orang yang sudah tua saja, sementara generasi muda sudah tidak ada lagi.
“Contohnya saja pada sekian seni budaya Sentani yang ditampilkan di Festival Danau Sentani (FDS) dari tahun ke tahun, belum pernah menampilkan tradisi tato suku Sentani. Selain itu, perlunya penelitian guna mendokumentasikan tato tradisional Sentani sebelum punah,” kata Hari.
Bahan pembuat enahu suku Sentani berupa arang hasil pembakaran kayu wam yang dicampur getah pohon sukun. Kemudian duri sagu atau tulang ikan dicelupkan ke dalam getah dan arang, lalu ditusukkan pada dada, pipi, kelopak mata, betis dan pinggul, serta bagian belakang tubuh. Tato ini dibuat oleh perempuan suku Sentani tiga bulan sebelum upacara perkawinan dilaksanakan.
ADVERTISEMENT
Kata Hari, kebanyakan motif tato untuk perempuan Sentani yaitu gambar ikan sembilan, belut, dan burung Cenderawasih. Fungsi tato pada perempuan Sentani melambangkan kecantikan, terutama pada wajah pengantin perempuan. Sedangkan lambang dari burung Cenderawasih maupun ikan yakni seorang perempuan menjadi sumber kehidupan bagi anak-anak maupun masyarakatnya.
Berbeda dengan fungsi tato bagi laki-laki suku Sentani, selain membuat kegantengan pengantin pria. Tato untuk pengantin pria Sentani biasa dilambangkan dengan motif buaya, ikan hiu gergaji, ular dan kasuari.
“Hewan-hewan ini melambangkan kejantanan dari seorang pria. Pengantin pria harus jantan dalam menghadapi tantangan hidup yang dihadapi dengan jiwa kejantanannya, sehingga mencapai kesuksesan yang besar,” ujarnya.
Desain tato, biasanya disesuaikan dengan luas sempitnya bagian tubuh yang hendak ditato, misalnya, tato di hidung akan mengikuti bentuk hidung. “Sayangnya tato tradisional Sentani hanya dikenal oleh generasi tua, generasi muda Sentani saat ini tidak mengenal tato tradisional,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu saja, perhiasan tubuh yang lazim dikenakan oleh laki-laki maupun perempuan Sentani adalah tato pada wajah, tangan dan kaki yang dibuat secara permanen. Tato adalah simbol kekuasaan, kecantikan, dan status sosial seseorang. Oleh karena itu, jenis dan bentuk tato tergantung pada status sosial yakni ondofolo, kotelo/kepala suku, dan Yobu Yoholom dan jenis kelamin.
“Laki-laki Sentani mempunyai tato yang lebih bercorak sederhana pada hidung dan dahi. Perempuan Sentani mempunyai tato yang lebih bercorak kompleks pada dahi, punggung, lengan, dan betis,” katanya.
Seni tato pada tubuh juga dikenal pada suku Moi atau dikenal dengan suku Malamoi di Kabupaten Sorong, Papua Barat. Sama dengan kebanyakan daerah Papua lainnya, penerapan tato pada tubuh suku Moi, saat ini hanya bisa ditemui pada orang yang sudah tua, sedangkan generasi mudanya sudah tidak menerapkan tato dan terancam punah.
ADVERTISEMENT
Tato bagi suku Moi merupakan hiasan tubuh dan bahan pembuat tato berupa arang halus atau yak kibi, hasil pembakaran kayu dicampur getah pohon langsat atau loum. Kemudian, duri dari pohon sagu atau tulang ikan dicelupkan ke dalam ramuan getah langsat dan arang yang selanjutnya ditusukkan pada bagian tubuh yang akan dibuat motif tato tradisional.
Motif tato pada suku Moi biasa motif geometris atau garis-garis melingkar, serta titik-titik berbentuk segitiga kerucut atau tridiagonal yang dibariskan
“Tradisi mentato tubuh di Papua harus dilestarikan dan diperlukan kerjasama berbagai pihak untuk melestarikannya, mulai dari lembaga masyarakat adat, para generasi tua di Papua, generasi muda hingga dinas terkait,” jelas Hari menambahkan. (Agies Pranoto)
ADVERTISEMENT
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten