Arti Penting Keterbukaan Informasi Hak Guna Usaha

Bung Gunawan
Analis kebijakan publik, penulis, kolumnis, paralegal dan konsultan independen.
Konten dari Pengguna
1 Agustus 2019 13:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bung Gunawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi lahan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi lahan.
ADVERTISEMENT
UU No.14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan PP No. 61/2010 tentang Keterbukaan Informasi Publik telah mengatur mekanisme informasi yang bisa diakses dan yang dikecualikan dari pemohon informasi publik.
ADVERTISEMENT
Informasi Hak Guna Usaha (HGU) menjadi penting, karena sesuai arahan politik Presiden Jokowi terkait percepatan penyelesaian permasalahan pertanahan, khususnya konflik agraria, sangat terkait dengan informasi HGU.
HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu tertentu, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.
HGU merupakan kebijakan publik yang dikeluarkan oleh publik dan dibutuhkan masyarakat dalam rangka partisipasi dalam reforma agraria dan penyelesaian konflik agraria.
PP 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah telah mengatur mekanisme penyajian data fisik dan data yuridis hak atas tanah, di mana akses kepada informasi HGU dimungkinkan.
Produk Badan Publik
Pemberian HGU merupakan hasil dari pengurusan negara sebagai bagian dari penguasaan negara atas sumber-sumber agraria, dalam hal ini pertanahan. Akan tetapi pengurusan negara ini, yang pertama, tidak terlepas dari bentuk penguasaan negara yang lain, yaitu kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengelolaan pertanahan; Yang kedua, bahwa penguasaan negara adalah bentuk dari kedaulatan rakyat; Dan yang ketiga, penguasaan negara harus bisa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
ADVERTISEMENT
Oleh karena penguasaan negara adalah perwujudan dari, oleh, dan untuk rakyat dalam kaidah demokrasi ekonomi, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945 dan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria serta dijelaskan melalui pendapat-pendapat Mahkamah Konstitusi, maka informasi HGU seharusnya bisa diakses oleh rakyat Indonesia.
Di sisi lain, pemberian atau pencabutan HGU tidaklah semata-mata urusan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional dengan badan usaha, karena merupakan kebijakan publik dihasilkan oleh badan publik sehingga terkait dengan kehidupan rakyat.
Ilustrasi perkebunan tebu. Foto: JamesDeMers/Pixabay
Terkait Kebijakan Publik
Untuk melindungi tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka, adalah tugas negara untuk meredistribusikan tanah kepada rakyat yang membutuhkan. Merujuk pada Perpres No 86/2018 tentang Reforma Agraria, maka objek reforma agraria beberapa di antaranya bersumber dari tanah dengan alas hak HGU. Yaitu, HGU yang habis masa berlakunya; Tanah yang diperoleh dari kewajiban pemegang HGU untuk menyerahkan paling sedikit dua puluh persen dari luas bidang tanah HGU yang berubah menjadi Hak Guna Bangunan (HGB), karena perubahan peruntukan rencana tata ruang; Tanah yang diperoleh dari kewajiban menyediakan paling sedikit dua puluh persen dari luas tanah negara yang diberikan kepada pemegang HGU dalam proses pemberian, perpanjangan atau pembaruan haknya; Tanah negara bekas tanah terlantar; Tanah hasil penyelesaian sengketa dan konflik agraria; dan tanah yang dihibahkan perusahaan dalam bentuk tanggung jawab sosial dan/atau lingkungan dan tanah kelebihan maksimum.
ADVERTISEMENT
Sebagai wujud partisipasi rakyat, maka seharusnya rakyat mengetahui mana saja tanah potensi objek reforma agraria. Sinkronnya objek dan subjek reforma agraria menjadikan pendataan menjadi valid.
Kecurigaan adanya perusahaan perkebunan tidak memiliki HGU, memiliki alasan karena di dalam UU 39/2014 tentang Perkebunan, dinyatakan bahwa Kegiatan usaha budi daya Tanaman Perkebunan dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan hanya dapat dilakukan oleh Perusahaan Perkebunan apabila telah mendapatkan hak atas tanah dan/atau izin Usaha Perkebunan.
Artinya, perusahaan perkebunan bisa dengan izin tanpa berbekal HGU, sudah bisa memulai operasionalnya. Baru melalui Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian UU 39/2014 tentang Perkebunan, kegiatan perusahaan perkebunan baru bisa dimulai jika dua hal telah dipunyai, yaitu izin dan hak atas tanah, dalam hal ini adalah HGU. Maka wajar jika dalam Inpres No 8/2018 tentang Penundaan Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Kelapa Sawit (Inpres Moratorium Sawit), salah intruksi Presiden Joko Widodo adalah verifikasi HGU.
ADVERTISEMENT
Permasalahan HGU juga terkait dengan pelaksanaan kewajiban perusahaan perkebunan untuk fasilitas pembangunan kebun masyarakat sekitar sebesar 20 persen dari areal yang diusahakan perusahaan perkebunan sebagaimana diatur dalam UU Perkebunan. Permen ATR/Ka BPN No. 7/2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha, mengatur bahwa 20 persen tersebut adalah dari luas HGU. Hal ini mempersyaratkan bahwa alokasi 20 persen adalah persyaratan pemberian HGU dan secara teknis memerlukan pemisahan, antara sertifikat HGU untuk perusahaan perkebunan dan sertifikat hak milik bagi masyarakat yang mendapatkan kebun dari alokasi 20 persen tersebut. Hal ini tentu relevan jika masyarakat desa di sekitar areal perkebunan memiliki keinginan untuk memperoleh informasi HGU.
Nah, terkait percepatan pelaksanaan reforma agraria dan percepatan penyelesaian konflik, Kementerian ATR/BPN perlu berbagi informasi HGU dengan masyarakat subjek reforma agraria dan masyarakat korban konflik agraria.
ADVERTISEMENT