HAM untuk Petani dan Masyarakat Desa

Bung Gunawan
Analis kebijakan publik, penulis, kolumnis, paralegal dan konsultan independen.
Konten dari Pengguna
19 Desember 2017 15:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bung Gunawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Studi Final Komite Penasehat Dewan HAM PBB tentang Kemajuan Hak Petani dan Masyarakat yang Bekerja di Pedesaan tahun 2012, menyatakan bahwa 80 % dari kelaparan dunia ada di daerah pedesaan, dengan komposisi petani kecil (50%), buruh tani (20 %), masyarakat yang hidup dari perikanan tradisional, berburu dan penggembala (10 %), dan 70 % dari kelaparan dunia adalah perempuan yang mayoritas terbesar dari mereka bekerja di sektor pertanian.
ADVERTISEMENT
Komite Penasehat Dewan HAM PBB dalam studinya juga menyebutkan, selain menderita kelaparan, petani dan masyarakat yang bekerja di pedesaan juga mengalami diskriminasi dan memiliki kerentanan terhadap pelanggaran HAM yang disebabkan oleh, pertama, pengambilalihan tanah, penggusuran dan pemindahan secara paksa; Kedua, diskriminasi gender; Ketiga, tidak adanya pembaruan agraria dan kebijakan pembangunan pedesaan termasuk irigasi dan perbenihan; Keempat, kurangnya upah minimum dan perlindungan sosial perlindungan; dan kelima, represi dan kriminalisasi terhadap gerakan yang membela hak-hak masyarakat yang bekerja di daerah pedesaan.
Memperhatikan kemiskinan di pedesaan, di mana pertanian keluarga skala kecil, nelayan kecil dan nelayan tradisional sangat rentan terhadap kerawanan pangan, diskriminasi, eksploitasi, dan perubahan iklim, maka pada tanggal 11 Oktober 2012 Dewan HAM PBB mengadopsi Resolusi tentang Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia Petani dan Masyarakat yang Bekerja di Pedesaan
ADVERTISEMENT
Resolusi tersebut memandatkan kepada Kelompok Kerja antar Pemerintah untuk menegosiasikan, memfinalkan, dan mengirimkan ke Dewan HAM PBB Draft Deklarasi PBB tentang Hak Petani dan Masyarakat yang Bekerja di Pedesaan.
Pemerintah Negara Republik Indonesia mendukung resolusi Dewan HAM PBB tersebut. Jika sebuah instrumen internasional HAM untuk petani didukung, lantas bagaimana realisasi progresif di dalam negeri dari kewajiban dan tanggungjawab negara dalam penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi petani dan masyarakat perdesaan ?
Konsitusionalitas Hak Petani
Di dalam putusan perkara pengujian UU 20/2002 tentang Ketenagalistrikan, Mahkamah Konstitusi berpendapat, bahwa ”dikuasai oleh negara” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 UUD 1945 adalah konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945. Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut, tercakup pula pengertian kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya Mahkamah Konstitusi dalam pengujian UU 25/2007 tentang Penanaman Modal, menyatakan bahwa sepanjang menyangkut tanah, maka atas dasar adanya kepentingan yang dilindungi oleh konstitusi itulah dibuat kebijakan nasional di bidang pertanahan yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan kemakmuran rakyat, di antaranya berupa pendistribusian kembali pemilikan atas tanah dan pembatasan pemilikan luas tanah pertanian, sehingga penguasaan atau pemilikan tanah tidak terpusat pada sekelompok orang tertentu. Dengan adanya pembatasan dan pendistribusian demikian berarti sumber ekonomi akan tersebar pula secara lebih merata dan pada akhirnya akan tercapai tujuan pemerataan kemakmuran rakyat.
Pendistribusian tanah kepada rakyat, menurut putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian UU No. 19/ 2012 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, tidak boleh dengan hak sewa. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa sewa menyewa tanah antara negara dengan warga negara khususnya petani adalah politik hukum yang sudah ditinggalkan sejak berlakunya UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), karena politik hukum demikian adalah politik hukum peninggalan kolonialisme yang bersifat eksploitatif terhadap rakyat. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa redistribusi tanah negara harus memprioritaskan petani yang benar-benar tidak punya tanah.
ADVERTISEMENT
Melalui putusan perkara yang sama, Mahkamah Konstitusi juga mengakui konstitusionalitas kelembagaan dari, oleh dan untuk petani guna memperkuat dan memperjuangan kepentingan petani itu sendiri.
Dalam hal perbenihan, putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Pengujian UU 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan UU 39/2014 tentang Perkebunan, menyatakan bahwa tidak dilarang perorangan petani kecil yang melakukan kegiatan berupa pencarian dan pengumpulan plasma nutfah untuk dirinya maupun komunitasnya sendiri, dan tidak dilarang pengedaran hasil pemuliaan yang dilakukan oleh perorangan petani kecil dalam negeri untuk komunitas sendiri yang tidak lebih dahulu dilepas oleh Pemerintah.
Mandat konstitusi seperti yang dikemukakan oleh Mahkamah Konstitusi terkait tanah dikuasai negara, reforma agrarian, lembaga tani dan hak petani pemulia benih, seperti tersebut di atas sesungguhnya telah menyediakan standar bagaimana hak asasi petani itu harus dilindungi dan dipenuhi oleh negara untuk diterjemahkan lebih lanjut melalui kebijakan dan produk hukum sebagai bagian dari realisasi progresif.
ADVERTISEMENT
Realisasi Progresif
Melalui UU 19/20102 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, diatur kewenangan dan kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam memberikan jaminan luas lahan pertanian bagi petani kecil dan petani penggarap.
Jaminan tersebut jelas mensyarakat redistribusi tanah kepada petani melalui kebijakan reforma agraria. UU 19/2012 tentang Perlindungan dan Pemberdayan Petani telah mengatur agar petani diberikan kemudahan dalam pemanfaatan tanah negara bebas dan tanah negara bekas tanah terlantar.
Presiden Jokowi memiliki progam reforma agraria 9 juta hektar dan Perhutanan Sosial 12 juta ha. Tanah Obyek Reforma Agraria bersumber dari dari pelepasan kawasan hutan sebesar 4,1 juta ha dan dari Tanah Terlantar dan Eks HGU 0, 4 juta ha. Sisanya berupa sertipikasi tanah area transmigrasi sebesar 0,6 juta ha dan tanah masyarakat sebesar 3,9 juta ha.
ADVERTISEMENT
Jika mengacu kepada UU 19/2012 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, seharusnya inventarisasi tanah obyek reforma agraria tidak hanya untuk mengejar target 9 juta ha, tetapi bersumber dari penetapkan kawasan pertanian oleh pemerintah, di mana jika di dalam kawasan tersebut ada tanah negara, bisa diredistribusikan kepada petani.
Dengan memiliki perspektif kawasan, maka reforma agraria akan menjadikan kawasan perdesaan memiliki progam unggulan dalam pengelolaan kawasan pertanian dan terciptanya kawasan sentra produksi pangan.
Tanah negara tersebut bisa bersumber dari bekas HGU, tanah terlantar, tanah timbul, tanah kelebihan batas maksimum, dan lain-lain, termasuk pelepasan kawasan hutan dan seharusnya dimungkinkan petani mendapatkan hutan hak tidak hanya Perhutanan Sosial yang adalah hutan negara yang diberi izin untuk dimanfaatkan oleh petani dan desa.
ADVERTISEMENT
Mengingat bahwa petani bisa melakukan pola tumpang sari yang memadukan pangan dengan kelestarian hutan, dan jika memang terbukti bahwa tanah yang masuk kawasan hutan tersebut merupakan milik petani atau desa, maka seharusnya diberikan hutan hak. Jika Pemerintah ingin mempertahankan hutan, bisa saja wilayah tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan, namun bukan hutan negara tapi hutan hak. Hutan haknya petani dan Hutan Milik Desa.
Dengan melihat bahwa tanah negara dan hutan negara adalah milik rakyat Indonesia secara kolektif dan petani adalah subyek dari reforma agraria, tidak ada alasan bagi Pemerintah untuk mengkriminalkan petani penggarap dan tidak segera melaksanakan reforma agraria termasuk di kawasan hutan.
Pengakuan konstitusionalitas dari lembaga petani yang dibentuk petani, seharusnya ada perwakilan organisasi petani dalam penyusunan kebijakan reforma agraria, bukan hanya untuk didengar pendapatnya saja tetapi kelompok kerja pemerintah untuk reforma agrarian hanya dari kalangan intelektual dan birokrasi.
ADVERTISEMENT
Demikian halnya dengan konstitusionalitas hak petani pemulia benih, seharusnya petani pemulia benih diberi dukungan agar Indonesia berdaulat benih, bukan hanya pemerintah memberikan subsidi benih.