Jangan Penjarakan Petani Hutan

Bung Gunawan
Analis kebijakan publik, penulis, kolumnis, paralegal dan konsultan independen.
Konten dari Pengguna
10 Juli 2018 10:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bung Gunawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jangan Penjarakan Petani Hutan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Ada keinginan pemerintah untuk membebaskan desa dari kantong hutan dan perkebunan, perluasan pengakuan hutan adat, dan memberi akses masyarakat ke hutan melalui mekanisme perizinan.
ADVERTISEMENT
Namun di sisi lain banyak petani di desa-desa kawasan hutan dijerat dengan UU No. 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Hal tersebut kontradiktif dengan kebijakan pemerintah di satu sisi.
Sedangkan di sisi lain tidak menjadi resolusi konflik agraria kehutanan di mana petani dan masyarakat adat banyak yang menjadi korban.
Izin
Pasal 11 UU P3H telah mengatur ketentuan perbuatan perusakan hutan yang meliputi kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang dilakukan secara terorganisasi.
Adapun yang dimaksud dengan perbuatan perusakan hutan secara terorganisasi merupakan kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, yang terdiri atas dua orang atau lebih, dan yang bertindak secara bersama-sama pada waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan.
ADVERTISEMENT
Sesungguhnya UU P3H telah membuat pengecualian, yang dimaksud kelompok terstruktur tidak termasuk kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan penebangan kayu di luar kawasan hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial.
Meskipun demikian UU P3H mempersyaratkan masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan penebangan kayu di luar kawasan hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial tidak termasuk kategori pengrusakan hutan, namun kegiatan tersebut harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Inilah sumber permasalahnya, karena kemudian “tanpa izin” masuk dalam kategori pidana perusakan hutan sebagaimana diatur dalam Pasal 12 dan 82 UU P3H.
Ilustrasi hutan adat. (Foto: Schwoaze via pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hutan adat. (Foto: Schwoaze via pixabay)
Konstitusionalitas
ADVERTISEMENT
UU 41/1999 tentang kehutanan menyatakan ada dua status hutan, yaitu Hutan Negara dan Hutan Hak. Hutan Negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Adapun Hutan Hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.
Menurut UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar-Dasar Pokok Agraria (UUPA 1960) yang dimaksud hak atas tanah yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, dan Hak Memungut Hasil Hutan.
Oleh UUPA 1960 dinyatakan bahwa Hak Milik, Hak Membuka Tanah, dan Hak Memungut Hasil Hutan hanya dapat dipunyai oleh warga negara Indonesia.
Selanjutnya berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian UU Kehutanan, dinyatakan Hutan Adat bukanlah Hutan Negara, artinya Hutan Adat adalah Hutan Hak. Konsep Hutan Hak juga muncul di dalam UU No. 6/2014 tentang Desa, yaitu Hutan Milik Desa.
ADVERTISEMENT
Penggunaan kata “milik” seharusnya dimaknai sebagai bukan Hutan Negara. Namun regulasi di kehutanan ternyata mengartikannya lain. PP No. 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, menyebutnya Hutan Desa, tanpa kata “milik”.
Hutan Desa disebut sebagai Hutan Negara yang dikelola Desa. Maka melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Perhutanan Sosial, untuk dapat mengelola Hutan Desa, Desa harus mengajukan permohonan Hak Pengelolaan Hutan Desa.
Keharusan izin bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan untuk menebang pohon untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersil adalah bentuk pengabaian terhadap Hutan Hak, sehingga UU P3H menciptakan disharmoni antar undang-undang.
Pertentangan UU P3H dengan UUPA 1960, UU Kehutanan dan UU Desa mengakibatkan terhalanginya perlindungan dan jaminan kepastian hukum bagi masyarakat yang telah dilindungi oleh Pasal 28 D (1) UUD 1945 dan mengakibatkan terhalanginyan hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
ADVERTISEMENT
Padahal jaminan dan perlindungan kepastian hukum dan rasa aman adalah hak hak konstitusional yang dilindungi oleh Pasal 28D (1) dan Pasal 28G UUD 1945.
Jauh sebelum adanya Negara dan hingga kini petani dan masyarakat adat di pedesaan telah memiliki pengetahuan tradisional yang turun temurun tentang budidaya pertanian dan pemanfaatan hasil hutan sekaligus menjaga kelestariaan alam.
Negara kemudian hadir membuat pengaturan tentang hutan termasuk yang mengatur masyarakat desa perlu izin penebangan pohon untuk keperluan sendiri dan tanpa tujuan komersil.
Bagi Negara tujuan izin penebangan kayu adalah untuk tetap menjaga fungsi hutan. Hal sama dengan yang diatur di dalam UU No.12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (UU SBT). Untuk menjaga sistem pertanian, petani haruslah mempunyai izin ketika mencari, mengembangkan dan mengedarkan beniih.
ADVERTISEMENT
Di dalam Pengujian UU SBT, Mahkamah Konstitusi menyatakan, tidak dilarang perorangan petani kecil yang melakukan kegiatan berupa pencarian dan pengumpulan plasma nutfah untuk dirinya maupun komunitasnya sendiri, dan tidak dilarang pengedaran hasil pemuliaan yang dilakukan oleh perorangan petani kecil dalam negeri untuk komunitas sendiri yang tidak lebih dahulu dilepas oleh Pemerintah.
Ilustrasi hutan. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hutan. (Foto: Pixabay)
Alasan-alasan yang dipergunakan Mahkamah Konstitusi dalam menyusun pendapat-pendapatnya adalah, pertama, petani kecil sebetulnya telah melaksanakan pencarian dan pengumpulan plasma nutfah dalam kegiatan pertaniannya semenjak lama.
Kedua, perorangan petani kecil, yang mata pencaharian mereka dari hasil pertanian, bahkan secara turun temurun berkecimpung dalam dunia pertanian adalah tidak mungkin atau bahkan mustahil akan melakukan sabotase pertanian, sebab hal itu berarti melakukan sabotase terhadap kehidupan sendiri.
ADVERTISEMENT
Perorangan petani kecil pada umumnya justru mewarisi atau memiliki kearifan lokal di sektor pertanian yang dapat ditumbuhkembangkan untuk ikut memajukan sektor pertanian.
Jika putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dibawa dalam konteks hutan, sesungguhnya petani sudah lama melakukan budidaya di hutan, membuka dan memungut hasil hutan serta petani tidak mungkin menyabotase hutan karena akan merugikan penghidupannya serta adanya kearifal lokal yang bisa ditumbuhkembangkan untuk pelestarian hutan.
Lagi pula dengan batasan untuk keperluan sendiri dan tidak untuk komersil sesungguhnya sudah jelas tidak akan terganggunya fungsi kawasan hutan.
Oleh karena itu diperlukannya izin bagi masyarakat desa untuk menebang pohon untuk kehidupan sehari-hari dan tidak untuk tujuan komersil tidak sesuai dengan mandat Pasal 28I (3) UUD 1945 yang menyatakan identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
ADVERTISEMENT
Dan berupa pengaturan dan pengurusan terkait izin bagi masyarakat kawasan hutan untuk menebang pohon untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersil, telah menciptakan ketidakpastian jaminan hukum, terhalanginya perlindungan hak petani dan masyarakat adat, potensial mengakibatkan tujuan penguasaan Negara atas hutan, yaitu bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 33 (3) UUD 1945 tidak dapat terpenuhi.
Resolusi Konflik
Dengan adanya rencana pembangunan pemerintah untuk membebaskan desa-desa dari kantong hutan, adanya progam reforma agraria dan perhutanan sosial serta diterbitkanya Perpres tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan, seharusnya kriminalisasi dan bentuk-bentuk represi lainnya kepada masyarakat perdesaan di kawasan hutan dihentikan, dan mengedepankan jalan musyawarah untuk mencari resolusi konflik kehutanan dalam kerangka reforma agraria, pemulihan hak-hak korban dan penghormatan terhadap hak-hak konstitusional masyarakat desa.
ADVERTISEMENT