Konsolidasi Demokrasi dan Peran Polri dalam Penyelesaian Konflik Agraria

Bung Gunawan
Analis kebijakan publik, penulis, kolumnis, paralegal dan konsultan independen.
Konten dari Pengguna
4 Oktober 2021 21:33 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bung Gunawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Konferensi Pers Kriminalisasi Petani
zoom-in-whitePerbesar
Konferensi Pers Kriminalisasi Petani
ADVERTISEMENT
Kini tetap penting untuk dikemukakan pertanyaan sejauh mana capaian dari cita cita reformasi tahun 1998? Apakah demokratisasi membawa perbaikan kondisi agraria?
ADVERTISEMENT
Bulan Mei bagi bangsa Indonesia memiliki nilai sejarah tersendiri. Tanggal 20 Mei tidak saja diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, pada bulan Mei 1998 juga dijadikan momentum “Hari Kebangkitan Rakyat” guna mobilisasi dukungan untuk memenangkan reformasi yang dimotori oleh gerakan mahasiswa. Keesokan harinya, 21 Mei 1998, Presiden Suharto turun dari jabatannya, mengawali babak baru sejarah Indonesia modern.
Gerakan mahasiswa (student movement) 1990an – sebutan untuk membedakan dengan protes mahasiswa (student protest), meletakkan tujuan gerakannya pada struktur pondasi rezim Orde Baru, yaitu Presiden Suharto, Dwi Fungsi ABRI, dan paket 5 Undang-Undang Politik. Karenanya dalam penelitian LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), tipologi gerakan mahasiswa seperti itu disebut sebagai Gerakan Anti Orde Baru, untuk membedakan dengan Gerakan Koreksi Orde Baru (Muridan S. Widjojo, et al; 1998).
ADVERTISEMENT
Selain aspek struktur politik, gerakan mahasiswa juga membangun basis politik melalui advokasi kasus-kasus rakyat, khususnya dalam kasus konflik agraria dan perburuhan. Hal ini menjadikan gerakan mahasiwa tahun 1990an juga bagian dari kelahiran kembali gerakan petani dan gerakan buruh.
Kini menjadi penting untuk dikemukakan pertanyaan sejauh mana capaian dari cita cita reformasi tahun 1998? Apakah demokratisasi membawa perbaikan kondisi agraria dan hubungan industrial?

Oligarki Politik

Di masa Orde Baru, kekuasaan Presiden, tidak saja melingkupi kekuasaan eksekutif, tetapi juga kekuasaan legislatif dan yudikatif. Kini hal tersebut tidak lagi terjadi, bahkan kekuasaan presiden cenderung otonomi relatif akibat upaya perebutan kekuasaan terus menerus antar elite politik pasca Orde Baru, dan harus bersandar pada koalisi partai politik, serta dukungan dunia usaha, sehingga memunculkan wacana adanya oligarki politik dan kartel ekonomi yang menjadi penghalang bagi kelanjutan reformasi politik.
ADVERTISEMENT
Dengan dihapuskan Paket 5 Undang-Undang Politik, seharusnya tidak lagi ada deideologisasi, depolitisasi, dan politik massa mengambang di perdesaan, namun dalam kenyataanya meskipun keseluruhan parpol sekarang berideologi Pancasila, namun produk legislatif ada banyak yang bertentangan dengan UUD 1945, dan bertentangan dengan kepentingan masyarakat perdesaan, ini menunjukkan belum berhasilnya partai politik dalam melakukan artikulasi dan agregasi kepentingan masyarakat perdesaan, serta melakukan pendidikan politik kepada masyarakat perdesaan.
Ironinya sejumlah Undang-Undang sebagaimana maksud di atas adalah yang terkait dengan pengaturan agraria yang merupakan corak masyarakat Indonesia yang diatur secara khusus di dalam Pasal 33 UUD 1945, di antaranya adalah UU Migas, UU Penanaman Modal, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU Sistem Budidaya Tanaman, UU Kehutanan, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU Koperasi, UU Sumber Daya Air dan UU Perkebunan. Selain itu UU Ketenagakerjaan adalah undang-undang sering diuji materi di Mahkamah Konstitusi.
ADVERTISEMENT
Fenomena tersebut di atas menunjukkan sistem demokrasi hanya menjadi prosedur untuk mempertahankan modus operandi nasional dari neoliberalisme. Problemnya kini, mengamati proses pembentukan omnibus law UU Cpta Kerja, proseduralnya juga sudah yang dilanggar. Bahkan Omnibus law UU Cipta Kerja mengubah sejumlah undang-undang yang oleh World Trade Organization (WTO) direkomendasikan untuk diubah, yaitu UU Peternakan dan Kesehatan Hewan, UU Hortikultura, UU Pangan, dan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani,

Reformasi Sektor Keamanan

Salah satu hasil dari penghapusan Dwi Fungsi ABRI adalah tidak lagi TNI-Polri dalam satu badan, Kepolisian tidak lagi menjadi bagian dari angkatan bersenjata, kembali menjadi institusi sipil. Dengan tidak lagi dominannya TNI dalam permasalahan keamanan dalam negeri, Polri segera mewarisi permasalahan konflik agraria, yang banyak kasusnya adalah warisan Orde Baru.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Polri kemudian menjadi bagian dari konflik agraria itu sendiri. Kaitannya dengan produk legislatif adalah Polri menjadi bagian dari konflik agraria melalui melalui tindakan kriminalisasi terhadap petani dalam kasus perbenihan, perkebunan, dan kehutanan.
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, pasal-pasal yang mengkriminalkan petani sebagaimana diatur dalam UU Sistem Budidaya Tanaman, dan UU Perkebunan tidak berlaku karena menurut pendapat Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD 1945. Putusan ini bisa dijadikan dasar bagi Polri untuk menciptakan aturan pelibatan dalam penanganan konflik agraria yang berkeadilan sosial.
Surat Telegram Kapolri nomor ST/41/I/Ops.2./2021 tertanggal 12 Januari 2021, yang berisi langkah Polri dalam mendukung upaya pemerintah terkait penyerahan 2.929 Surat Keputusan (SK) perhutanan sosial seluas 3.442.000 hektar bagi 651.000 Kepala Keluarga, 35 SK hutan adat seluas 37.500 hektar, dan 58 SK TORA seluas 72.000 hektar di 17 provinsi, serta alokasi redistribusi tanah kawasan hutan seluas 1.300.000 hektar untuk masyarakat dalam rangka program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), kebijakan Kapolri tersebutnya seharusnya bisa dikembangkan menjadi langkah Polri dalam mendukung upaya pemerintah dalam penyelesaian konflik agraria. Selain bahwa penyelesaian konflik agraria adalah bagian dari reforma agraria, dalam jangka pendek pengembangan kebijakan Polri tersebut untuk mencegah terus berulangnya kekerasan dalam konflik agraria.
ADVERTISEMENT

Konsolidasi Demokrasi

Mei adalah pelajaran apa yang telah diperoleh dari perjuangan reformasi, harus terus dimajukan melalui pelembagaan demokrasi untuk terus menjaga prinsip demokrasi kedaulatan rakyat guna mencapai kemakmuran rakyat dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk itu diperlukan masyarakat sipil yang kuat, sehingga serikat tani, serikat nelayan, serikat buruh, organisasi bantuan hukum dan pembela HAM memiliki kekuatan politik dalam mendesak DPR dan Pemerintah untuk terus melakukan pembaruan hukum dan melanjutkan agenda reforma agraria yang seiring dengan reformasi sektor keamanan, sehingga demokrasi tidak menjadi transisi yang berkepanjangan.