Menyoal Penguasaan Swasta atas Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil

Bung Gunawan
Analis kebijakan publik, penulis, kolumnis, paralegal dan konsultan independen.
Konten dari Pengguna
25 April 2018 10:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bung Gunawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menyoal Penguasaan Swasta atas Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Ada persoalan yang diakibatkan oleh produk legislasi dan regulasi terkait penguasaan tanah di pulau-pulau kecill yang berdampak pada kedaulatan bangsa.
ADVERTISEMENT
UU No. 1/2014 tentang Perubahan UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UU PWP3K) telah memberikan peluang bagi penanaman modal Asing (PMA) di wilayah pesisir dan pulau kecil.
Sebagai pihak yang mengajukan permohoan uji materi UU 27/2007 tentang PWP3K, kami memandang bahwa putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang tersebut harusnya dijadikan tolok ukur dalam melihat kebijakan dan pengaturan pesisir dan pulau-pulau kecil.
Mandat Konstitusi
Kini dalam UU No.1/2014, konsep HP3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir), diganti dengan konsep izin lokasi dan izin pengelolaan. Yang harus diperhatikan oleh para pemangku kebijakan adalah alasan Mahkamah Konstitusi menghapus HP3, yaitu, pertama, hilangnya hak tradisional yang bersifat turun temurun; kedua, tidak mungkin masyarakat dapat HP3 karena kekurangan modal; ketiga, mengakibatkan pengkaplingan atau privatisasi; keempat, mengancam penghidupan nelayan; dan kelima, menimbulkan diskriminasi secara tidak langsung.
ADVERTISEMENT
Dari pendapat Mahkamah Konstitusi tersebut terlihat bahwa yang hendak dilindungi oleh konstititusi adalah hak nelayan dan masyarakat perdesaan pesisir, kedaulatan negara, dan keadilan sosial di perairan pesisir dan pulau-pulau kecil
Oleh karenanya menurut pendapat Mahkamah Konstitusi bahwa penguasaan oleh negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus juga memperhatikan hak-hak yang telah ada dan dijamin oleh konstitusi, misalnya hak akses untuk melintas, hak atas lingkungan yang sehat, hak-hak perseorangan, hak masyarakat hukum adat serta hak masyarakat nelayan tradisional, hak badan usaha serta berlakunya kearifan lokal yaitu nilai-nilai luhur yang masih berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.
Untuk itu Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 17/2016 tentang Penataan Pertanahan di WP3K, yang melakukan penyederhanaan pengertian akses publik hanya berupa akses untuk berlindung, berteduh, menyelamatkan diri, dan mencari pertolongan dalam pelayaran, serta kegiatan dengan izin resmi untuk pendidikan, penelitian, konservasi dan preservasi terkait pemberian hak atas tanah di pulau kecil, tidak sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusi.
ADVERTISEMENT
Hak-hak masyarakat adat juga tidak bisa diberikan kepada swasta yang mengakibatkan hilangnya tanggungjawab negara serta tidak bisa dikompensasi karena bertentangan dengan sifat hak yang bersifat turun menurun.
Menurut pendapat Mahkamah Konstitusi, konsep ganti kerugian terhadap masyarakat yang memiliki hak-hak tradisional atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, akan menghilangkan hak-hak tradisional rakyat yang seharusnya dinikmati secara turun temurun (just saving principle). Sebab, dengan pemberian ganti kerugian, maka hak tersebut hanya dinikmati oleh masyarakat penerima ganti kerugian pada saat itu. Hal itu juga bertentangan dengan prinsip hak-hak tradisional yang berlaku secara turun temurun.
Pulau Menjangan Kecil (Foto:  Flickr/Visit Jepara)
zoom-in-whitePerbesar
Pulau Menjangan Kecil (Foto: Flickr/Visit Jepara)
Penguasaan Tanah WNA
UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960) menyatakan bahwa hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa.
ADVERTISEMENT
Pengertian “hubungan yang sepenuhnya” antara warga negara dengan tanah diatur oleh UUPA 1960 dalam Hak Milik, yaitu hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hak milik. Orang asing tidak bisa memperoleh hak milik atas tanah dan dilarang mengalihkan hak milik atas tanah kepada orang asing.
Pengaturan tersebut berdasarkan pada kenasionalan atau azas kebangsaan yang oleh UUPA 1960 dinyatakan lewat pengaturan, pertama, seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia; kedua, seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional, dan ketiga, hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa adalah hubungan yang bersifat abadi.
ADVERTISEMENT
Lantas apakah larangan WNA memiliki hak milik atas tanah memberikan jaminan tegaknya kedaulatan negara dan kedaulatan rakyat serta dipergunakan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat ?
Pemerintah atas nama hak menguasai negara (HMN) dapat memberikan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan beberapa perizinan untuk pengunaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria bagi kepentingan PMA..
Berbagai konsensi agraria berpotensi menghilangkan kedaulatan negara dan kedaulatan rakyat. Maka fungsi pengawasan dari HMN harus benar-benar dijalankan agar fungsi-fungsi HMN yang lain yaitu mengadakan kebijakan, tindakan pengurusan, pengaturan, dan pengelolaan benar-benar bisa dipertanggungjawabkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Ketika fungsi pengawasan menemukan adanya ketidakberhasilan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka tanpa menunggu konsensi habis masanya, fungsi pengurusan harus dijalankan sebagaimana mandat peraturan perundangan yang mengatur penertiban tanah terlantar, pembatasan modal asing di hortikultura, larangan ekspor bahan tambang mentah dan renegosiasi kontrak karya pertambangan.
ADVERTISEMENT
Dalam putusan perkara pengujian UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal, Mahkamah Konstitusi berpendapat, pemberian hak atas tanah tidak boleh meniadakan atau mengurangi kewenangan negara untuk menjalankan mandatnya yang diberikan oleh rakyat secara kolektif. Agar HMN tidak tertiadakan dan terkurangi maka Mahkamah Konstitusi melarang pemberian hak-hak atas tanah diberikan dengan perpanjangan di muka sekaligus, karena dapat mengurangi, sekalipun tidak meniadakan, prinsip penguasaan oleh negara.
Asas kebangsaan dalam hukum agraria atau hukum pertanahan tidaklah tepat jika hanya diletakan pada larangan pemilikan orang asing atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, akan tetapi harus juga diletakan sebagai upaya agar warga negara Indonesia baik laki-laki maupun perempuan dan rakyat golongan ekonomi lemah mendapatkan keadilan agraria dan terhindar dari pemerasan, pengrusakan lingkungan hidup dan monopoli swasta di lapangan agraria.
ADVERTISEMENT