Tanah dan Pasal 33 UUD 1945

Bung Gunawan
Analis kebijakan publik, penulis, kolumnis, paralegal dan konsultan independen.
Konten dari Pengguna
25 Februari 2019 16:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bung Gunawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tanaman pangan, kebun, hutan dalam satu hamparan lahan di kabupaten Sanggau Kalimantan Barat
Dalam acara Debat Capres II, 17 Februari 2019, Capres Prabowo Subianto mengkritik kebijakan redistribusi tanah Presiden Jokowi, dan mengajukan alternatif berupa Pasal 33 UUD 1945. Presiden Jokowi memang tidak menjelaskan apakah kebijakan reforma agraria itu sejalan atau tidak dengan Pasal 33 UUD 1945, dan Capres Prabowo Subianto juga tidak menjelaskan makna pasal 33 UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Pendapat Mahkamah Konstitusi
Pasal 33 UUD 1945 adalah cerminan bahwa selain demokrasi politik, Negara Republik Indonesia juga menganut demokrasi ekonomi. Usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, penguasaan negara atas cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan sumber-sumber agraria, serta tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ketiga hal adalah dasar penyelenggaraan perekonomian nasional yang berdasarkan demokrasi ekonomi.
Frasa dikuasai oleh negara di dalam pasal 33 UUD 1945 di dalam prakteknya sering diartikan berbeda dengan maksud pasal 33 UUD 1945. Sehingga penguasaan negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya justru mengingkari penguasaan dan pemilikan oleh rakyat, itulah yang muncul dalam pemberian konsesi skala besar untuk swasta dan BUMN di kehutanan, perkebunan, pertambangan, infrastruktur bahkan untuk pengembangan pariwisata. Di sisi lain justru hak hak rakyat dirampas.
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi dalam putusan pengujian UU Ketenagalistrikan, UU Migas, UU Penanaman Modal, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani memiliki beberapa pendapat terkait konsepsi tentang penguasaan negara.
Pertama. Penguasaan negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat. Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut, tercakup pula pengertian kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif.
Kedua. Penguasaan Negara adalah mandat rakyat secara kolektif kepada negara untuk mengadakan kebijakan, tindakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan pengawasan untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
ADVERTISEMENT
Ketiga. Pengelolaan Negara secara langsung sebagai pilihan pertama dan paling penting,untuk melindungi tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Menurut Mahkamah Konstitusi, bentuk penguasaan negara peringkat pertama dan yang paling penting adalah negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam, sehingga negara mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pengelolaan sumber daya alam. Sepanjang negara memiliki kemampuan baik modal, teknologi, dan manajemen dalam mengelola sumber daya alam maka negara harus memilih untuk melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam. Pengelolaan langsung yang dimaksud di sini, baik dalam bentuk pengelolaan langsung oleh negara (organ negara) melalui Badan Usaha Milik Negara.
Keempat. Penguasaan negara adalah untuk melindungi kemakmuran rakyat dalam kaitannya dengan pemanfaatan bumi, air, kekayaan yang terkandung di dalamnya. Sepanjang menyangkut tanah, dibuat kebijakan nasional di bidang pertanahan yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan kemakmuran rakyat, di antaranya berupa pendistribusian kembali pemilikan atas tanah dan pembatasan pemilikan luas tanah pertanian, sehingga penguasaan atau pemilikan tanah tidak terpusat pada sekelompok orang tertentu. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa redistribusi tanah negara harus memprioritaskan petani yang benar-benar tidak punya tanah.
ADVERTISEMENT
Kelima. Penguasaan negara tidak dapat dikurangi atau ditiadakan oleh pemberian hak atas tanah. Mahkamah Konstitusi melarang pemberian hak-hak atas tanah diberikan dengan perpanjangan di muka sekaligus, karena dapat mengurangi, sekalipun tidak meniadakan, prinsip penguasaan oleh negara.
Keenam “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” di bidang sumberdaya alam diperlukan empat tolok ukur yaitu : (1). Kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat, (2).Tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat, (3).Tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam, (4).Penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam pemanfaatan sumber daya alam.
Reforma Agraria
Dari pendapat Mahkamah Konstitusi seperti tersebut di atas, maka reforma agraria adalah mandat pasal 33 UUD 1945. Negara hadir melalui kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan sumber-sumber agraria bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kemakmuran bersama rakyat, bukan untuk segelintir orang. Untuk itulah diperlukan kebijakan pembatasan dan redistribusi penguasaan dan pemilikan tanah.
ADVERTISEMENT
Hubungan antara pembatasan dan redistribusi penguasaan tanah tanah secara dapat dilihat dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sebagai operasionalisasi Pasal 33 UUD 1945, yang menyatakan bahwa untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah.
Diihat dari sudut pandang mengatasi ketimpangan. Seharusnya yang dijadikan sasaran utama reforma agraria adalah ketimpangan dalam pemilikan dalam penguasaan tanah. Negara dapat melakukan pembatasan penguasaan tanah pertanian, di mana tanah-tanah yang kelebihan batas maksimimum diambil oleh negara dengan ganti kerugian untuk diberikan kepada masyarakat yang memerlukan tanah.
ADVERTISEMENT
Selain itu Perusahaan Perkebunan juga bisa melakukan hibah tanah untuk dijadikan sumber TORA sebagai bentuk pelaksanaan dari prinsip prinsip atau nilai-nilai usaha bersama, kemitraan dan tanggung jawab sosial dan/atau lingkungan.
Persoalan tersebut di atas kini adala regulasinya, yaitu Perpres 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, disebutkan dalam Perpres tersebut bahwa tanah objek reforma agraria adalah tanah yang dihibahkan perusahaan dalam bentuk tanggungjawab sosial dan/atau lingkungan dan tanah kelebihan maksimum.
Namun reforma agraria tidak hanya pembatasan penguasan tanah dan pembagian tanah untuk rakyat, akan tetapi reforma agraria memerlukan pembaruan hukum agraria, redistribusi tanah melalui kebijakan landreform untuk memperbarui struktur agraria dan pembaruan hubungan-hubungan agraria seperti perbaikan pola kemitraan dan bagi hasil, larangan penelantaran tanah dan pengrusakan lingkungan hidup.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian keberhasilan reforma agraria adalah bagian tolok ukur keberhasilan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Tiada demokrasi tanpa reforma agraria.