Tugas DPR dalam Perjanjian Internasional

Bung Gunawan
Analis kebijakan publik, penulis, kolumnis, paralegal dan konsultan independen.
Konten dari Pengguna
7 Februari 2019 15:48 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bung Gunawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kantor Kementerian Luar Negeri RI Jakarta
zoom-in-whitePerbesar
Kantor Kementerian Luar Negeri RI Jakarta
ADVERTISEMENT
Ada banyak peristiwa di dalam negeri Indonesia, baik dari segi penyusunan peraturan perundang-undangan maupun deregulasi, pembukaan kran impor pangan, hutang luar negeri pertahanan-keamanan, HAM dan kebijakan negara lainya yang oleh .dipengaruhi perjanjian internasional.
ADVERTISEMENT
Sesuai dengan cita-cita Indonesia merdeka yang berkedaulatan rakyat, maka perjanjian internasional tidak boleh melanggar kedaulatan nasional dan kedaulatan rakyat Indonesia,. Dalam konteks itulah maka Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 telah mempersyaratkan model hubungan internasional dan mekanisme kontrol terhadap perjanjian internasional.
Pasal 11 UUD 1945 mensyarakatkan adanya dengan persetujuan DPR ketika Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, serta ketika Presiden membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang.
Namun di dalam UU 24/2000 tentang Perjanjian Internasional, frasa dengan persetujuan DPR tidak diatur, yang diatur adalah dengan berkonsultasi dengan DPR dan pengesahan perjanjian internasional dengan undang-undang.
ADVERTISEMENT
Prinsip prinsip kedaulatan yang hilang dari UU Perjanjian Internasional inilah yang mendorong sejumlah organisasi masyarakat, yaitu IHCS (Indonesian Human Rigths Committee for Social Justice), IGJ (Indonesia for Global Justice), Yayasan Bina Desa Sadajiwa, Solidaritas Perempuan, Serikat Petani Indonesia, Serikat Petani Kelapa Sawit,Aliansi Petani Indonesia, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, FIELD, dan sejumlah petambak garam mengajukan uji materi UU 24/2000 tentang Perjanjian Internasional di Mahkamah Konstitusi. Konstitusionalitas
Pada 22 November 2018, Mahkamah Konstitusi membacakan putusan atas perkara No.13/PUU-XVI/2018 tentang pengujian UU No.24/2000 tentang Perjanjian Internasional terhadap Undang-undang Dasar 1945.
Beberapa pendapat Mahkamah Konstitusi perlu digarisbawahi di sini adalah terkait prinsip keikutsertaan dalam perjanjian internasional dan bagaimana bentuk dari persetujuan DPR atas perjanjian internasional sebagai pengejawantahan kedaulatan nasional dan kedaulatan rakyat.
ADVERTISEMENT
Pertama, tentang tujuan keikutsertaan dalam perjanjian internasional, yaitu ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Oleh karenanya, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa, secara a contrario pemerintah Indonesia wajib menentang (setidak-tidaknya tidak boleh ikut serta) dalam upaya-upaya yang mengatasnamakan ketertiban dunia namun bertentangan dengan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Kedua, frasa dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal yang menyangkut kepentingan publik, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU 24/2000 tentang Perjanjian Internasional, meskipun pasal ini tidak dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, namun harus dimaknai konsultasi dengan DPR akan melahirkan rekomendasi apakah perjanjian internasional itu penting (berdampak luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat kaitannya dengan beban keuangan Negara dan pembentukan atau perubahan undang-undang) atau tidak penting, sehingga memerlukan persetujuan DPR atau tidak. Persetujuan DPR tidak harus dalam bentuk hukum tertentu..
ADVERTISEMENT
Ketiga, perjanjian internasional yang berdampak luas dan dan mendasar bagi kehidupan rakyat, tidak dapat ditentukan secara limitatif, melainkan harus diniai secara kasuistis berdasarkan pertimbangan dan perkembangan kebutuhan hukum secara nasional maupun internasional. Oleh karenanya Pasal 10 UU 24/2000 tentang Perjanjian Interasional yang memberikan limitatif terhadap perjanjian internasional yang harus disahkan dengan undang-undang berupa : (1) masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; (2) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; (3) kedaulatan atau hak berdaulat negara; (4) hak asasi manusia dan lingkungan hidup; (5) pembentukan kaidah hukum baru; (6) pinjaman dan/atau hibah luar negeri.yang harus dengan pengesahan undang-undang, bertentangan dengan UUD 1945. Karena menurut pendapat Mahkamah Konstitusi, pasal ini menimbulkan penafsiran bahwa hanya perjanjian-perjanjian seperti yang disebut itulah yang tergolong perjanjian penting (menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat) yang mensyaratkan adanya persetujuan DPR. Padahal perjanjian internasional yang membutuhkan persetujuan DPR atau tidak, baru dapat diketahui dalam mekanisme konsultasi dengan DPR. Selain itu Mahkamah Konstitusi berpendapat, bahwa hal-hal di masa lalu yang tidak terlalu berdampak pada kepentingan dan kebutuhan nasional Indonesia, di masa mendatang sangat mungkin membawa dampak serius. Rumusan pasal 10 UU 24/2000 tentang Perjanjian Internasional, tidak akan mampu menjawab kebutuhan dan ketidakmampuan menjawab demikian bukan sekedar persoalan teknis adminitratif melainkan berkait langsung dengan pemenuhan amanat konstitusi.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi seperti tersebut di atas, DPR perlu melakukan, pertama, merumuskan tata tertib konsultasi, sehingga mampu mengeluarkan rekomendasi apakah perjanjian internasional memerlukan persetujuan DPR atau tidak, bukan sekedar DPR membahas rancangan undang-undang tentang pengesahan suatu perjanjian internasional; Kedua, menyusun standar dan indikator berakibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat, sehingga indikatornya tidak sekedar beban keuangan Negara dan pembentukan atau perubahan undang-undang. Ketiga, inventarisasi dan identfikasi perjanjian internasional yang sudah atau akan diikuti oleh Pemerintah Indonesia apakah sesuai atau tidak sesuai dengan mandat konstitusi; Keempat, karena persetujuan adalah proses di dalam konsultasi, berarti ada proses juga yang seharusnya dilakukan DPR, yaitu mendengarkan pendapat masyarakat apakah perjanjian internasional tersebut akan membawa dampak luas dan mendasar bagi rakyat atau tidak.
ADVERTISEMENT
Bahwasannya yang perlu diperhatikan adalah, kini adalah ketika perjanjian internasional tidak hanya negara dengan negara, tapi juga negara dengan aktor non negara, tetapi juga perubahan atas tahapan dan pengaturan isinya.
Misalnya tanpa melalui negosiasi, penandatangan dan pengesahan, pemerintah Indonesia mematuhi indikator EODB (Ease of Doing Business) yang disusun Bank Dunia, sehingga mempengaruhi pembentukan regulasi maupun deregulasi..
Meski demikian beberapa perjanjian perdagangan bebas juga tidak mempersyarakatkan pembentukan undang-undang baru, karena sudah ada undang-undang yang lama telah mengaturnya hasil dari perjanjian internasional perdagangan bebas sebelumnya. Ada juga yang perjanjian internasional yang teknis, misalnya terkait lingkungan hidup dan paten, tapi membawa dampak bagi petani, nelayan, masyarakat adat dan masyarakat perdesaan.
ADVERTISEMENT
Hal-hal tersebut di atas menunjukan bahwa indikator berdampak luas dan mendasar bagi rakyat tidak cukup lagi ditinjau dari adanya pembentukan undang-undang.
Dari tugas DPR seperti tersebut di atas, kaitannya dengan Pemilu, Partai, dan masyarakat, dapat menentukan kualitas seperti apa yang harus dimiliki seorang anggota DPR agar bisa menjalankan amanat konstitusi.
Salam Demokrasi