Selamat Tinggal Indonesia: Memoar Wanita Belanda di Indonesia pada Era Orde Baru

Caesi Rosprianti
Mahasiswa Sastra Belanda Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
23 Juni 2022 18:47 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Caesi Rosprianti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Pernahkah Anda bersama teman Anda ketika sedang ngerumpi membicarakan orang asing yang tinggal di Indonesia kemudian keluarlah kalimat “Wahh bule mah kalo tinggal di Indonesia pasti gak akan hidup susah” atau “Bule mah biasanya banyak duit” dari mulut teman Anda atau bahkan Anda sendiri. Stereotip-stereotip tersebut tidak selalu benar bahkan menurut saya sendiri stereotip-stereotip tersebut seharusnya tidak ada. Pada tahun 1995, terbitlah memoar seorang warga negara Belanda yang berjudul "Selamat Tinggal Indonesia" yang ditulis oleh Jitske Mulder atau biasa yang dikenal dengan nama penanya sebagai Ruth Havelaar.
ADVERTISEMENT
Seperti yang kita ketahui bahwa saat Orde Baru kita tidak bisa bebas dalam menyampaikan ekspresi karena kita diawasi dengan lembaga izin terbit, sensor dan breidel yang ketiga hal tersebut menjadi tembok penghalang pers pada masa orde baru. Terlebih lagi, tembok tersebut diberlakukan untuk menghapus unsur yang berhubungan dengan PKI maupun pulau buru dalam kebebasan pers pers akan dibungkam dengan cara menerapkan politik peringatan dan sensor.
Hal ini disebabkan karena Orde Baru selalu berupaya mengendalikan isu-isu politik penting maupun berita-berita sekitar tindakannya yang represif terhadap warga masyarakat (Murtiningsih & Siswanto, 1999). Surat peringatan dapat segeran dilayangkan ke penerbit pers yang bersangkutan jika diselidiki memuat foto,berita, dan pernyataan "keras" dari kelompok-kelompok subversif. Namun, singkat cerita buku memoar “Selamat Tinggal Indonesia” lulus sensor pada era tersebut.
ADVERTISEMENT
Dikisahkan semasa hidupnya ketika tinggal di Indonesia, beliau telah tinggal di Jakarta dan Bogor. Pada buku memoir “Selamat Tinggal Indonesia”, Ruth Havelaar menceritakan kisah perjalanan hidupnya yang terbilang tidak biasa karena ia mengambil risiko menikah dengan seorang mantan tahanan politik sekitar 30 jam setelah pertemuan pertama mereka.
Ruth tidak mengubah status kewarganegaraannya menjadi Indonesia karena melalui catatannya, ia menjelaskan bahwa ia menggunakan visa dan paspor sebagai nyawa hidupnya selama tinggal di Indonesia, sehingga status Ruth pada saat itu masih menjadi warga negara Belanda. Tentunya hidup sebagai istri seorang eks tapol tidaklah mudah, banyak lika-liku yang Ruth hadapi dan rasakan. Walaupun posisi Ruth pada waktu itu adalah sebagai seseorang yang tidak “bersalah” dan tidak tahu apa-apa tentang Pulau Buru namun karena menikah dengan eks tapol, Ruth juga ikut mendapat getahnya.
ADVERTISEMENT

Keadaan Ekonomi Warga Negara Asing dari Sudut Pandang yang Berbeda

Pada tahun-tahun pertama Ruth tinggal di Indonesia, ia agak sulit mendapatkan pekerjaan selain karena faktor kemampuan bahasa Indonesia yang masih belum terampil dan juga mungkin saja karena faktor pemberian label keluarga tapol. Sebelum Ruth mendapatkan pekerjaan, ia membantu suaminya yang seorang penerjemah tetapi hasil dari pekerjaan tersebut masih kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka karena status suaminya yang eks-tapol (Havelaar, 2002:52-54).
Contohnya adalah ketika mereka mendapatkan suatu proyek penerjemahan di sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta tetapi pada akhirnya kesempatan tersebut harus tandas begitu saja karena status eks-tapol. Lalu akhirnya, Ruth mendapatkan pekerjaan sebagai guru bahasa Belanda di Lembaga Persahabatan Indonesia-Belanda dengan gaji Rp45.000,00. (nominal yang pas-pasan pada zaman itu). Namun, Ruth masih harus menghemat dan berjuang untuk mencari pekerjaan lain hingga akhirnya ia diterima bekerja di Nederlandse International School.
ADVERTISEMENT
Di lingkungan NIS pun Ruth memiliki kesan “bule” pada umumnya yang berbeda dengan kolega-koleganya yang berkewarganegaraan Belanda bahkan dengan murid-muridnya. Ruth yang tinggal di perumahan yang biasa-biasa saja berbeda dengan mereka yang tinggal di kawasan elit. Ruth yang sehari-harinya beraktivitas dengan mengandalkan angkutan umum berbeda dengan mereka yang menggunakan mobil pribadi yang bagus. Ruth yang berpakaian sederhana dan mengenakan pakaian yang harganya murah berbeda dengan mereka yang mengenakan pakaian mahal. Ditambah lagi, pada buku memoarnya Ruth menulis bahwa koleganya pernah memberikan perabotan rumah tangga untuknya dan mereka juga pernah memberikan pakaian untuk anak perempuannya (Havelaar, 2002:55-60).
Dengan demikian, hal-hal yang disebutkan tadi mematahkan anggapan bahwa semua bule itu kaya atau banyak uang. Dari catatan harian “Selamat Tinggal Indonesia” ini kita bisa melihat bahwa adanya perbedaan gaya hidup antara Ruth dan orang Belanda atau orang asing lainnya yang tinggal di Indonesia. Memang, kolega-kolega maupun murid-muridnya Ruth nyatanya tergambar sesuai dengan stereotip orang Indonesia terhadap orang asing tetapi kita juga harus melihat dengan kacamata yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Ruth juga mengemukakan dalam “Selamat Tinggal Indonesia bahwa terdapat perbedaan gaya hidup antara ia yang merupakan istri seorang eks-tapol dan sesama warga asing lainnya. Tak lupa bahwa ia juga mengemukakan bahwa terdapat jurang yang memisahkan antara ia dan orang-orang asing sesamanya.
Bukan hanya stereotip sebelumnya saja yang saya bahas pada tulisan ini, masih ada lagi stereotip yang ingin saya sampaikan lewat tulisan ini. Pernahkah Anda mendengar perkataan orang di sekitar Anda yang mengatakan bahwa bule yang tinggal di Indonesia selalu merasa nyaman? Nah, hal ini pun tidak selalu benar. Mau hal tersebut terjadi pada Ruth ataupun warga negara asing lainnya itu sama saja karena kehidupan mereka di Indonesia pasti memiliki pasang surut atau suka dan dukanya.
ADVERTISEMENT
Namun, faktor yang membuat hal ini berbeda adalah karena pada kala itu adalah zaman Orde Baru dan juga posisinya sebagai istri dari seorang mantan tahanan politik. Ruth dan suaminya terus diawasi dan dimata-matai aktivitasnya, bahkan suaminya kala itu memiliki pekerjaan baru pun bisa diketahui akibat mereka memata-matai keluarganya (Havelaar, 2002:86).

Ketidaknyamanan Semasa Tinggal di Indonesia

Ruth juga ikut diberi label keluarga tapol oleh masyarakat sekitar atau tetangga. Oleh karena itu, mereka dapat mengawasi pergerakan ataupun aktivitas mereka, kemudian melapor kepada “penguasa”, dan informasi yang mereka dapatkan dari hasil pengawasan tersebut mereka sebar ke orang lain.
Hal itulah yang membuat Ruth kerap merasa takut dan lebih berhati-hati dalam bertindak. Diceritakan juga ketika Ruth menaiki sebuah bus umum di Jakarta pada tahun 1984, ia hampir dirampok dan yang paling memilukannya adalah terdapat tentara-tentara yang juga ada di dalam bus tersebut namun tidak melakukan apa-apa untuk menolongnya dan malah menertawakannya (Havelaar, 2002:94).
ADVERTISEMENT

Perlindungan dari Kedubes Belanda

Ruth menceritakan juga bahwa bila terjadi hal yang tidak diinginkan yang menimpa dirinya maupun anaknya, mereka bisa mencari dan mendapatkan perlindungan dari Kedutaan Besar Belanda maupun konsuler, dan malah mereka berhak mendapatkan bantuan (Havelaar, 2002:73). Hal ini dijelaskan bahwa salah fungsi konsuler menurut Ludwik (1988) yaitu menolong dan membantu warga negara pengirim baik perorangan maupun badan-badan usaha. Berkenaan dengan perlakuan terhadap orang asing, Garcia Amandor sebagai laporannya pada Komisi Hukum Internasional tahun 1957, mengemukakan bahwa suatu negara terhadap orang asing bertanggung jawab untuk sebagai berikut :
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, walaupun Ruth memiliki lika-liku selama tinggal di Indonesia, ia tetap mendapatkan kebahagiaannya tersendiri. Dan juga buku memoar ini merupakan salah satu bukti kepingan sejarah Indonesia dari sudut pandang orang asing
Referensi:
Handono, Djoko (2005) "Perlindungan Warga Negara dalam Perbandingan," Indonesian Journal of International Law: Vol. 2: No. 4, Article 4. DOI: 10.17304/ijil.vol2.4.4
Arsensius, Arsensius. "Perlindungan Orang Asing dalam Hukum Internasional." Jurnal Varia Bina Civika, no. 75, 2009.
Murtiningsih, R. S., & Siswanto, J. (1999). Pembungkaman Pers Pada Masa Orde Baru (Refleksi Filosofis atas Kebebasan Pers Indonesia Masa Orde Baru). Jurnal Filsafat, 1(1), 57-65.