Media Online dan Budaya Menulis

Muhammad Zahrul Anam
Pengajar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Konten dari Pengguna
13 Januari 2022 10:33 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Zahrul Anam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi menulis surat. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi menulis surat. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Media sosial membuat semua orang berkesempatan memproduksi berita. Berita apa saja. Berita benar atau hoaks diterima dalam media sosial. Tidak jarang, media sosial menjadi sebab pertikaian, pertengkaran, bahkan permusuhan berkepanjangan. Dengan pengawasan sangat minimalis, media sosial bukan pilihan terbaik untuk melatih kemampuan menulis yang baik.
ADVERTISEMENT
Tetapi, masyarakat dapat memanfaatkan media online untuk membudidayakan menulis. Sejumlah media online memberikan ruang yang sangat terbuka kepada publik untuk berkontribusi. Mereka boleh menulis apa saja, asalkan bertanggung jawab. Dengan keberadaan media online, masyarakat "dimanja" dengan perspektif-perspektif bernas (kiasan) dari para penulis tentang isu tertentu.
Saya berkali-kali melihat iklan pelatihan menulis online. Para peserta setelah mengikuti pelatihan dijanjikan dapat mempublikasikan tulisannya di salah satu media online. Tulisan akan dikoreksi dan dikomentari hingga layak dipublikasikan. Proses ini tentu sangat menyakitkan bagi yang tidak terbiasa.
Setelah merevisi, mereka harus kembali menanti komentar "pedas" sang mentor. Peserta penulis sudah sejak awal diberi peringatan dini bahwa latihan menulis itu tidak boleh baper jika dikritik. Tidak boleh cepat kehilangan semangat jika ditolak. Itu bagian dari perjalanan yang akan mematangkan tulisan.
ADVERTISEMENT
Tidak ada penulis instan. Pelatihan menulis tidak akan menghasilkan tulisan yang layak dimuat jika peserta tidak terus mengasah diri untuk menulis. Dalam menulis, stamina perlu dipersiapkan dengan baik. Asupan amunisi juga perlu diisi. Para penulis dianjurkan untuk banyak membaca, terutama tema-tema yang dituliskannya.
Saya melihat, para pelatih penulisan itu semuanya pernah mempublikasikan karyanya di media-media online. Saya kemudian berpikir, media online ini secara tidak langsung membangun budaya yang kebanyakan orang Indonesia kalah dibandingkan dengan orang lain: budaya menulis.
Menulis di media online itu bukan mustahil. Tetapi, tidak mudah juga menembus editor yang sangat berpengalaman menemukan tulisan yang bergizi. Orang "dipaksa" berekspresi dengan kreatif dan argumentatif. Bukan melempar isu yang provokatif dan menimbulkan kegaduhan.
ADVERTISEMENT
Saya beberapa kali melakukan observasi dari karya-karya para mentor penulisan. Saya yakin, gagasan yang mereka tulis juga dipikirkan oleh orang lain. Bedanya, mereka mampu merangkai gagasan itu menjadi sajian tulisan yang logis, runut, dan enak dibaca. Sedangkan orang lain mungkin belum terbersit menuliskannya.
Budaya menulis sangat erat dengan budaya membaca. Mustahil rasanya, mereka yang terampil menulis tidak menyukai bacaan. Para penulis selalu akrab dengan buku. Sebagian mereka mempunyai perpustakaan pribadi. Saya pernah bersilaturahmi dengan Bapak Reformasi Indonesia: Amien Rais.
Sebelum Reformasi, Amien Rais rajin menulis kolom di sebuah koran nasional. Tulisannya lugas, layaknya beliau bertutur. Ketika kebetulan saya berkesempatan bertemu, saya diminta untuk masuk ke sebuah ruangan besar. Ruangan itu adalah perpustakaan pribadi beliau. Saya yakin, para penulis hebat pastilah mempunyai deretan buku koleksi.
ADVERTISEMENT
Budaya baca orang Indonesia masih sangat memprihatinkan. Mereka lebih suka menonton. Rating sinetron masih lebih tinggi daripada penjualan buku. Seorang penulis buku yang sangat berjasa mencerdaskan banyak orang pendapatannya kalah jauh dengan seorang artis sinetron.
Berkarier bertahun-tahun sebagai penulis buku belum dapat menyamai gaji artis sinetron selama satu atau dua tahun. Industri hiburan lebih menjanjikan daripada seorang produsen pengetahuan. Inilah yang kemudian banyak anak-anak muda bercita-cita menjadi artis.
Jika menjadi artis sinetron sulit karena banyak saingan. Mereka kemudian banting stir untuk menjadi youtuber. Konon, pendapatan seorang youtuber juga sangat fantastis. Semakin banyak penonton, pendapatannya akan meroket. Inilah mengapa banyak konten youtube itu kadang konyol dan bahkan tidak bermutu. Pembuatnya ingin cepat populer dengan mencoba hal aneh yang menarik minat penonton.
ADVERTISEMENT
Budaya menulis itu menunjukkan peradaban sebuah bangsa. Bangsa besar pasti memiliki angka karya tulis yang tinggi pula. Tulisan-tulisan mereka merupakan hasil dari riset mendalam dan pengamatan detail. Hasilnya, tulisan mereka dikutip oleh banyak orang. Dengan tulisan, mereka mengubah kondisi sosial. Dengan tulisan, mereka bahkan bisa mengendalikan pikiran orang.
Keberadaan media sosial hari ini membawa harapan besar, bahwa budaya menulis mulai diminati oleh masyarakat. Menulis bukan lagi menjadi milik masyarakat elite di dunia kampus. Media sosial telah mengubah elitisme menulis. Menulis milik semua orang. Dengan media online, masyarakat non-akademis mempunyai tempat menuangkan gagasan.
Dengan beragam media online yang ada, masyarakat mendapatkan kebebasan untuk memilih media yang cocok. Masyarakat berkesempatan memantaskan diri untuk mempublikasikan tulisannya di media yang sesuai. Dengan keterampilan menulis yang bervariasi, tidak semua penulis mampu mempublikasikan karyanya ke semua media sosial. Meskipun demikian, ada sebagian kecil penulis mempunyai kemampuan yang tidak biasa.
ADVERTISEMENT
Dengan media online, peradaban masyarakat diharapkan bertransformasi dari budaya menonton ke budaya menulis. Sehingga, kualitas moral-intelektual masyarakat semakin meningkat dari waktu ke waktu.