Konten dari Pengguna

Kontradiktif, Promosi Moral Money Namun Mendukung Genosida

Ruslan Effendi
Suka mengamati anggaran negara dan korporasi. Lulusan S3 Akuntansi UGM.
11 Juni 2025 19:33 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Tulisan dari Ruslan Effendi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Flat-design-fighter-jet-silhouette (Ilustrasi)/Image by freepik
zoom-in-whitePerbesar
Flat-design-fighter-jet-silhouette (Ilustrasi)/Image by freepik
ADVERTISEMENT
Istilah "moral money" Dalam beberapa tahun terakhir, menjelma menjadi simbol kebangkitan etika dalam dunia keuangan global. Lewat jargon ESG—Environmental, Social, and Governance—para investor institusional berlomba menampilkan diri bukan hanya sebagai kapitalis, tapi juga sebagai penjaga nilai-nilai sosial dan ekologis.
ADVERTISEMENT
Namun, benarkah uang yang diklaim "bermoral" itu selalu berpihak pada kemanusiaan? Pertanyaan ini mengemuka saat menelusuri jejak investasi BlackRock, manajer aset terbesar di dunia. Perusahaan ini dikenal sebagai pionir ESG: rutin menerbitkan surat tahunan soal keberlanjutan, menarik investasi dari batu bara, hingga mempromosikan portofolio hijau. Tapi di balik semua narasi etis itu, ada ironi yang mencolok—BlackRock adalah pemegang saham terbesar Lockheed Martin, produsen utama rudal Hellfire dan jet tempur F-16 dan F-35 yang digunakan dalam serangan Israel ke Gaza.
Laporan dari American Friends Service Committee (2023) berjudul Companies Profiting from the Gaza Genocide menyebutkan bahwa senjata buatan Lockheed Martin, Boeing, RTX (Raytheon), dan General Dynamics berperan sentral dalam kampanye militer Israel sejak Oktober 2023. Dalam waktu singkat, lebih dari 15.000 bom dan 50.000 peluru artileri dikirim ke Israel, sebagian besar didanai oleh bantuan militer AS. Serangan ini menewaskan puluhan ribu warga sipil Palestina dan menyebabkan eksodus besar-besaran. Pengadilan internasional bahkan menyebutnya berpotensi sebagai genosida.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, meningkatnya permintaan senjata mendorong naiknya harga saham perusahaan-perusahaan tersebut—dan dengan itu, mendatangkan keuntungan bagi para pemegang saham, termasuk BlackRock. Artinya, "moral money" yang seharusnya memihak nilai-nilai kemanusiaan, justru turut menikmati dividen dari kehancuran.
Tentu saja, BlackRock membela diri. Mereka mengklaim hanya mengelola dana indeks pasif dan tidak mengontrol langsung operasional perusahaan tempat mereka berinvestasi. Namun, argumen ini goyah di hadapan fakta: jika mereka bisa menarik investasi dari perusahaan batu bara atas nama etika, mengapa prinsip yang sama tidak berlaku untuk perusahaan senjata yang diduga terlibat pelanggaran HAM?
BlackRock bukan satu-satunya. Sejumlah perusahaan besar yang mempromosikan ESG secara agresif juga disebut dalam laporan AFSC sebagai entitas yang mendapatkan keuntungan dari agresi militer terhadap Gaza. Di antaranya Amazon, Microsoft, Google/Alphabet, Caterpillar, Ford, General Motors, RTX, Honeywell, Rolls-Royce, hingga Textron dan L3Harris. Mereka semua memiliki laporan keberlanjutan, komitmen net-zero, serta jargon etika dan tanggung jawab sosial, namun pada saat yang sama terlibat dalam kontrak atau rantai pasok militer Israel.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan ini bukan hanya teknis, tapi moral. Apakah "uang bermoral" benar-benar layak menyandang predikat tersebut jika standar etisnya diterapkan secara selektif? ESG bukan sekadar kosmetik korporasi atau PR tahunan. Ia seharusnya berdiri di atas prinsip akuntabilitas yang konkret, termasuk terhadap konsekuensi dari portofolio investasinya.
Konflik sebagaimana terjadi di Gaza, ketika hukum internasional, etika kemanusiaan, dan suara publik sama-sama mengutuk kekerasan yang tidak proporsional—kita tak bisa membiarkan uang mengalir tanpa jejak moral. Sebab ketika moral money membiayai rudal, yang patut ditanya bukan hanya siapa yang menekan tombol peluncur, tapi juga siapa yang mendanai—dan siapa yang memilih untuk tetap diam.
(Referensi: https://afsc.org/gaza-genocide-companies)