Ilham, Ayah, Ikhlas dan Takdir

Celvin Pebrian
Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Pamulang
Konten dari Pengguna
30 April 2024 10:43 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Celvin Pebrian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ilham Dwi Permata, usia nya baru saja menginjak angka 5 di awal tahun 2021, anak yang memiliki rasa ikhlas seluas samudra, rasa tabah yang ia punya, serta rasa sabar yang terus ia genggam. Ia tinggal di suatu kota yang cukup besar di Provinsi Jawa Barat, ia tinggal bersama kedua orang tua nya dan 2 saudara kandung lainnya.
ADVERTISEMENT
Ilham begitu dekat dengan sang ayah, dari mandi bersama ayah nya, makan bersama ayah nya, bahkan mereka berdua memiliki kebiasaan yang unik yaitu jalan-jalan setiap pagi untuk mencari tukang bubur dan makan di tempat.
Namun nahas, ayah nya telah tiada karena sakit yang ia derita, pada saat itu Ilham masih cukup kecil untuk menerima kenyataan tersebut. Semua orang menangis, menangis menyaksikan sesosok mayat laki laki yang sudah terbaring tak bernyawa di hadapan orang banyak. Lalu bagaimana dengan Ilham?
Ilham anak baik, ia bahkan tidak tahu menahu soal hal ini. Ilham hanya terdiam melihat orang banyak di sekelilingnya menangis tersedu-sedu, mungkin ia bertanya pada diri sendiri _"Ada apa ini?"_ tapi ia tidak mengungkapkannya.
ADVERTISEMENT
Beberapa jam kemudian acara pemakaman pun tiba, dimana semua orang mulai mereda dalam kedukaan dan tangisan. Tapi ada yang sedang berjalan ke sana kemari untuk melihat sosok Ayah nya yang akan di kubur. Iya, dia ilham, Ilham terus berjalan entah apa yang dia lakukan.
Ada beberapa orang yang memanggil Ilham dan ingin menjelaskan kepahitan hidup yang harus ia hadapi. Ketika orang-orang ingin menjelaskan apa yang sedang ia lihat Ilham pun berkata, _"Iya, aku tau. Nanti malam aku doain Ayah"_ sangat mengiris hati, namun kata kata itu sungguh terlontarkan oleh anak yang masih menginjak usia 5 tahun.
Acara pemakaman pun selesai, mereka pun pulang ke rumah dan setelah itu Ilham pergi menuju kamarnya dan melihat sang Ibu sedang menangis tersedu-sedu atas kepergian suaminya. Lalu Ilham berkata dengan ketegaran hati nya, _"sudah Mah, jangan menangis terus. Kasihan ayah"_. Lagi, lagi dan lagi kami semua terkejut atas perkataan Ilham, anak yang masih cukup belia namun sudah mampu berpikir sedemikian rupa.
ADVERTISEMENT
Hari demi hari telah berlalu, 2 hari, 2 minggu, 2 bulan sudah terlewati tanpa sosok ayah, namun ketika ayah nya telah tiada tepat 11 bulan, Ilham pun berbicara kepada sang ibu, _"Sedih ya, Ayah sudah tiada"_. Kembali semua terkejut atas ucapannya, termasuk ibunda, bagaimana tidak terkejut? Anak setegar ini mampu mengucapkan hal itu? Padahal ia yang paling tegar pada saat pemakaman ayah nya, lalu sang ibu pun menangis sambil memeluk Ilham.