Pendidik Masa Depan Papua: Menjadi Pelayan Tuhan dan Pendidik Progresif

Cerita Masa Depan Papua
Cerita dan data tentang keberhasilan pendidikan dan pengembangan masyarakat di Tanah Papua
Konten dari Pengguna
2 Agustus 2022 12:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cerita Masa Depan Papua tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pendidik Papua Masa Depan : Daniel Kristianto
Pendidik Masa Depan Pegunungan Bintang-Yayasan Alirena
ADVERTISEMENT
Pendidik Masa Depan adalah profil guru yang memiliki visi dan tekad yang kuat untuk membangun anak-anak negeri, khususnya anak Papua. Pendidik Masa Depan memiliki motivasi, keresahan, semangat, hingga sisi manusiawinya yang perlu diceritakan luas. Agar jejak yang mereka ukir dalam edukasi memberi tahu kita masih banyak entitas yang bergerak mandiri maupun berkelompok berusaha pelan-pelan memperbaiki negeri.
Satu hal yang kami yakini: masyarakat di Papua, menghendaki perubahan. Dengan segala cara dalam keseluruhan aspek. Entah bagaimana caranya—mungkin oleh karena itulah mereka menempatkan orang-orang yang mereka anggap mampu dalam kedudukan politis. Mereka menghendaki anak-anak yang tumbuh sehat dan pintar.
Aku tidak muluk-muluk jika mengatakan bahwa iman adalah otoritas atas hidupku. Tanpanya tentu aku tidak akan berkekuatan, tidak sedikitpun. Sedikit rahasia, jika kalian mau mendengarkan lebih dalam suara yang seringkali senyap: Tuhan berkomunikasi secara visioner dan progresif. Dia membentukku ke arah yang tidak pernah kusangka-sangka. Banyak hal tidak pernah kusangka sanggup kulakukan—mengutip seorang yang sudah kuanggap ayahku sendiri, bahwa Tuhan adalah wonderful conselour. Yes He is.
ADVERTISEMENT
Ok Aom, Pegunungan Bintang, 16 Maret 2022
Manusia setengah mati menjaga rahasia, tapi tempat terbaik menyimpan rahasia adalah tentu menempatkannya di tempat terbuka. Mungkin ini bukan perihal penting, tapi ada rahasia yang sedikit sekali kubuka selama ini: aku sebenarnya pemarah. Sejak bertahun-tahun lalu. Mungkin saat itu, marah dan menulis adalah perihal yang paling maksimal yang mampu aku lakukan. Baru beberapa bulan saat itu aku datang ke Papua—tanah yang anehnya membuatku banyak marah, tapi semakin marah semakin aku tidak ingin pergi. Aku ingin menambal bopengnya yang kulihat di sana sini. Banyak ketakutan yang tidak berani kutunjukkan pada orang-orang yang berjalan bersamaku. Sebenarnya aku juga takut dan sering sekali berhenti dan berkata “Sudahlah”. Tapi beruntungnya, belum pernah.
ADVERTISEMENT
Tempat ini adalah bagian keempat dari Papua yang beruntungnya aku datangi. Aku melayani, aku berkarya; aku akan menjawab seperti itu, kalau ada orang yang bertanya: “Sedang apa di Papua?”
Namaku Daniel Kristianto. Aku seorang ayah—tentu peran ini yang paling pertama akan kusebut dalam perkenalanku: sungguh menakjubkan ada manusia lain, diriku sendiri dalam bentuk kecil, kemasan sachet—yang membuatku kagum atasnya, sekaligus atas diriku sendiri. Dia adalah keindahan (Re-Eden). Lalu dia adalah Sadrak, yang juga Mesakh, yang sekaligus juga Abednego—yang bergabung menjadi Samesa. Teman Daniel yang tanpanya, perjalanannya terasa kering dan seperti tontonan yang sudah disetel untuk setingan mengantuk. Mereka 4 serangkai di Alkitab, aku merangkumnya jadi sebuah nama untuk anakku, partnerku – Reeden Samesa Eldaneta
ADVERTISEMENT
Sudah sekitar 6 tahun aku bergabung dengan Yayasan Alirena—lembaga yang bekerja untuk Papua: mengusahakan banyak sekali hal supaya orang Papua dapat maju dalam segala aspek. Ini sesuai dengan apa yang berharga menurut nilaiku dan istriku—yang juga dengan kuatnya berjuang di tapak langkah yang sama. Aku setelah saat itu: meniatkan banyak hal dalam hidupku untuk berladang di sini, di Papua. Aku ingin memberi dampak, meski sedikit, dalam jangkauan yang masih sempit. Setidaknya suara kami bergaung. Kami pelan-pelan melihat anak-anak yang tatapan matanya kosong dan kepalanya tertunduk mulai chin-up dan berbinar. Mereka mengartikulasikan ide. Mereka bermimpi besar. Ini berharga. Setidaknya dari matanya mengatakan: KAMI TIDAK INFERIOR.
Kami mengeksplorasi pohon, buah, rumput, tanah, kayu—apapun yang yang berpotensi kami temui untuk mengusahakan bagaimana caranya pembelajaran adalah sesuatu yang bernilai dan ‘ada gunanya’ tidak hanya untuk anak-anak kami, lebih jauh untuk kampungnya. Tanah ini menumbuhkan kopi kelas dunia—maka dari itu kopi harus mereka pelajari sembari menguasai perihal berhitung, berbahasa, dan bersains. Sekolah tidak lagi relevan hanya sebagai lembaga pencetak angka—jangan-jangan di sekolahlah satu-satunya tempat (khususnya anak-anak Papua) untuk mempelajari skill dan kemampuan modern seperti berbisnis, berstrategi, dan mengembangkan daerah
ADVERTISEMENT
Meninggalkan Yurisprudensi
Di tempat bertugasku yang terkini, kami memiliki tim, Namanya Tim Inovasi Ok Aom—diambil dari nama Distrik tempat kami bertugas, Ok Aom. Sederhana saja, kami mengusahakan banyak inovasi di Ok Aom—mulai dari pendidikan, agroteknologi, pemerintahan kampung, hingga seni budaya. Kami memetakan potensi di beberapa kampung yang mampu kami jangkau. Kami percaya setiap tempat ini memiliki berkatnya masing-masing dan akan menjadi tidak berharga jika tidak dikelola oleh tangan yang tepat. Meskipun masih niscaya, hampir semua dari kami memercayai bahwa masa depan yang akan dibangun, dimulai dengan kerja keras dan perubahan dari masa sekarang.
Mungkin ketika kami mengkaji, mengusahakan, dan mencari jalan di Ok Aom; setelah pergi dari sini (kami tentu tidak selamanya di sini), kami meninggalkan sebuah yurisprudensi. Bukan sebuah hukum, melainkan sebuah tuntunan jikalau orang-orang muda yang hendak membangun tempat ini bingung untuk memulai dari mana. Sama seperti fungsi yurisprudensi, Tim Inovasi Ok Aom secara garis waktu menemukan lebih awal banyak perihal: penemuan potensi, masalah, dan kemungkinan solusi. Lalu meninggalkan catatan dalam bentuk pengkajian, pengetahuan, ataupun internalisasi nilai baru dengan masyarakat di sini. Lalu dikemudian hari, jika menghadapi kondisi yang serupa—‘yurisprudensi’ dari Tim Inovasi Ok Aom bisa dijadikan acuan. Banyak sekali hal di luar diri kami yang membutuhkan penjelasan: mengapa begini mengapa begitu. Mengapa menanam kopi perlu terlebih dahulu menanam pohon lain. Mengapa ruang dan bentuk lahan kopi begini tidak begitu. Setiap entitas membutuhkan ruang yang paling sesuai dengan dirinya. Tanah ini dibekali potensi yang secara given tumbuh dari tanahnya, anak-anak Papua harus mampu mengolah potensi ini. Bukan hanya semata-mata demi bertahan, tapi juga untuk memajukan.
ADVERTISEMENT
Rahasia. Tantangan datang dengan kekagetan berbeda dan unik. Kali ini, dari segi paling sederhana saja, aku harus berdamai dan membujuk kakiku sendiri ketika menempuh perjalanan jauh ke kampung-kampung. Setelahnya masih ada banyak kekagetan level berikutnya yang harus kami hadapi. Kami menyaksikan bagaimana suasana mencekam tapi kami memutuskan tetap bersekolah, atau dikonfrontasi oleh beberapa orang yang merasa terancam dengan perubahan-perubahan yang menggoyang cara lama mereka. Dalam malam-malam yang paling rahasia, aku berharap bahwa biarkan anak kami melihat Papua, tanah kelahirannya sebagai tempat yang selalu damai dan tidak pernah berkonflik. Meskipun keramahan penduduk di Kampung-kampung selalu membuat kami merasa aman di tengah persilangan kondisi dengan pihak-pihak tidak netral yang membuat keadaan menjadi sedikit lebih menakutkan. Sementara ia tumbuh, kami hanya ingin memori baik yang ia ingat.
ADVERTISEMENT
Wamena, 26 Maret 2016
Saat ini sedang liburan Paskah, seperti biasa, di Papua untuk libur-libur seperti ini dapat berlangsung cukup lama satu atau dua minggu. Hal ini pernah membuatku heran, tapi jauh di dalam hati aku senang karena seperti diberi waktu dan perintah entah dari siapa yang berkata: “Pergilah berlibur!”
Libur yang lama ini aku pergi mengunjungi Wamena dan Distrik kecil di perbatasan Membramo, Tolikara dan Lanny Jaya, Distrik Poga.
Bagaimana meriahnya bakar batu di sana sangat menyihirku—aku masih bermental turis saat itu. Banyak sekali kagum. Disamping kemeriahan budaya bakar batu, indahnya alam pegunungan tengah, dan menikmati kabut di Puncak Mega, Jayawijaya—aku tersentak dalam hati. Ada pemandangan memuakkan yang kulihat sebagai penjajahan yang kurasakan, meski aku tidak melihat kekerasan atau penindasan secara fisik dan aturan. Aku juga tidak melihat majikan yang memarahi budaknya, tapi aku melihat sebuah kaum yang tidak bisa berdiri memajukan daerahnya sendiri hingga orang dari tempat lain yang akhirnya menguasai segala perekonomian yang ada.
ADVERTISEMENT
Ok Aom 2022
Pertama kali sampai ke Ok Aom, aku teringat kembali saat itu, melintasi jalan-jalan di pusat kota Wamena, tak ada perasaan lain selain marah melihat masyarakat asli Papua tertunduk dalam segi perekonomian. Pemandangan inilah yang membuatku tidak bisa tersenyum ketika berjalan melintasi keramaian kota Wamena. Aku melihat masyarakat lokal yang tidak mampu berbuat banyak untuk daerahnya. Mereka ramah terhadap pendatang, namun tidak pernah belajar dari hal-hal yang dilakukan pendatang.
Anak muda kagetan itu; aku—saat itu kemudian sadar, ini seperti tampilan standar, sudah default, karena kemanapun kamu pergi ke bagian manapun di Papua, niscaya pemandangan seperti itu tidak sulit kamu temukan.
Anak muda kagetan itu; aku—lalu sadar bahwa bukan hanya ekonomi yang membuat gemas, tapi juga semua lini, semua garis, semua titik, semua arah. Tangkapan besar dari mataku adalah bahwa hidup dalam cara-cara lama itu menyenangkan, sehingga ketika ada ajakan untuk bergerak menuju arah baru yang mungkin relatif baik, orang akan merasa terancam.
ADVERTISEMENT
Ini adalah kemarahan sekaligus berpotensi menjadi bibit keputusasaanku yang paling baru. Sekali waktu yang sangat berat, isi kepalaku berusaha mendobrak bersamaan keluar melalui lubang telinga. Aku bisa mendengar nafasku sendiri yang menahan marah dan ketakutan. Pernah satu kali waktu yang paling rahasia dan tidak pernah aku ceritakan pada siapapun, aku mencintai tanah ini dengan sedih.
Ok Aom 2022
Sungguh teramat sulit, saat kita melakukan sesuatu dengan cinta tapi justru mereka yang sedang kita perjuangkan mencurigai. Ini bukan perihal asmara. Ini perihal perjuangan memperbaiki hidup orang banyak secara pelan-pelan. Mungkin wajar—karena bisa saja mereka dibesarkan dengan cara itu, atau terlalu banyak yang pantas dicurigai selama ini. Padahal banyak juga kutemui orang-orang yang datang ke Papua dengan niat murni melayani. Ingin memperbaiki pelan-pelan apa yang salah di sana sini, tapi toh beberapa dari mereka juga akhirnya frustasi dengan realitas. Akhirnya mereka lebih memilih untuk berdagang, membantu merapikan administrasi di dinas, lalu yang membuat sedih tentu orang-orang yang datang dengan niat murni melayani berubah menjadi bagian yang mendukung seretnya pembangunan di Papua juga.
ADVERTISEMENT
Beberapa kali kutemui orang-orang yang secara keras menghantamku. Satu dua orang sempat membuat menyerah—tapi setelah ditilik, kami hanya berbeda cara melihat sesuatu. Mereka sedang tidak baik-baik saja dan selalu berpikiran negatif karena kepentingan sendiri-sendiri yang tidak sampai. Menjadi bersih di Papua sungguh sulit. Pejabat jujur dan bersih harus dihadapkan lagi dengan rekan satu sistem yang kiblat kerjanya tidak sama.
Untuk menjadi Papua yang dewasa tentu perlu waktu dan penambalan sana sini. Perlu pembenahan management dan sumber daya manusia yang tuntas. Bagianku dimana? Tentu bukan saja perkara mencantumkan angka besar pada siswa yang kudidik supaya terlihat “Papua sudah maju”. Sekarang, yang dapat aku dan timku lakukan adalah melihat potensi sekecil apapun bisa menjadi bahan bakar Papua untuk berlari mengejar ketertinggalan. Meski pelan-pelan, tidak apa-apa. Satu langkah kecil adalah lompatan besar untuk peradaban, begitu kira-kira pernah kubaca di satu tempat. Kupikir, ada benarnya.
Yayasan Alirena: Daniel Kristianto bersama siswa SMP Bulangkop, Distrik Ok Aom, Pegunungan Bintang.