Berkat Doa Orangtua dan Hafalan Al-Qur’an, Gelar Dokter Mampu Diraih

Konten dari Pengguna
5 Februari 2021 10:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cerita Santri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Berkat Doa Orangtua dan Hafalan Al-Qur’an, Gelar Dokter Mampu Diraih
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Siapa sangka, kebiasaan Tamara menghafal Al-Qur'an di pondok, mampu membawanya menyelesaikan studi kedokteran yang ia tempuh sejak 2014 silam.
ADVERTISEMENT
“Metodenya kan diulang-diulang. Dalam sehari kan ada beberapa hari hafalan Qur’an. Itu diajarin kalau mau hafalan tiga ayat, itu diulang-ulang aja tiga ayat itu,” cerita Tamara menjelaskan bagaimana fokus menjadi kunci dari metode yang ia tempuh dalam menghafal Al-Qur’an selama mondok di Pesantren Tahfzih Daarul Qur’an Tangerang. Metode itu juga yang membuatnya dijuluki “Si Jagoan Ngafal” oleh teman-temannya di Fakultas Kedokteran, Universitas Muhammadiyah Jakarta, kala harus mempelajari mata kuliah yang akan diujikan.
“Dibanding kayak ngafal satu surat langsung. Pagi misal ngafalin 5 ayat, siang nanti 5 ayat, malem 5 ayat lagi, kalau mau diulang dari yang pertama kita ngafalin,” terangnya melanjutkan.
Gelar dokter pun berhasil ia peroleh setelah dirinya diambil sumpah dokter di acara Wisuda Sumpah Dokter Angkatan Ke-41 Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat (FKK) Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) yang dilaksanakan secara daring, Rabu, 20 Januari 2021 lalu. Sang ayah, Irwan Kelana, yang mempublikasikan keberhasilan Tamara itu di laman Facebook pribadinya.
Metode Yang Dipelajari Saat Mondok
ADVERTISEMENT
Sejak awal berdiri, Pesantren Daqu memang berfokus menelurkan para penghafal Al-Qur’an. Kisah Tamara hanyalah segelintir kejaiban yang dirasakan seseorang ketika mendawami Al-Qur’an.
Tamara Harmain Kelana adalah anak ke 3 dari 5 bersaudara. Tamara jadi anak perempuan satu-satunya. Meski begitu, sang ayah “tega” memberikan tuntutan tinggi padanya. Mulai dari “dipaksa” masuk ke Pesantren Daqu di angkatan pertama yang kala itu, layaknya pesantren rintisan, fasilitas dan kelengkapan lainnya belum seperti sekarang. Kebun dan rawa jadi pemandangan biasa di sekitaran pesantren.
Menekuni profesi dokter, kata Tamara, juga keinginan sang ayah. Keinginan yang hampir tak terealisasikan karena pondok tempat Tamara belajar diperingati oleh Kementerian Pendidikan untuk segera menyelesaikan penyusunan kurikulum Diknas. Kalau tidak, para santri terancam tidak bisa mengikuti Ujian Nasional.
ADVERTISEMENT
Hal itu menimbulkan kebimbangan di benak ayah Tamara. Di satu sisi, ia ingin sang anak bisa menghafalkan Al-Qur’an di pondok milik guru sekaligus sahabatnya, yakni KH Yusuf Mansur. Namun, di sisi lain mimpi melihat sang anak meraih predikat dokter juga tak ingin ia lepaskan begitu saja. Dengan berat hati, akhirnya ayah Tamara memutuskan memindahkan Tamara ke pondok lain setelah Tamara menempuh studi selama satu setengah tahun di jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Tamara yang keburu kerasan mondok juga dengan berat hati mengikuti kemauan sang ayah. 100% ia percaya pada ayahnya. Namun, kisah selama di pondok Pesantren Daqu masih terngiang di benaknya.
Di Pesantren Daqu, Tamara dan beberapa orang teman seangkatan dan satu pondoknya merasakan mondok di 2 tempat. Sempat mondok selama 7 bulan di Tangerang, Pesantren Daqu pun berpindah ke Bandung, menempati cottage milik sahabat sekaligus guru Kyai Yusuf Mansur, yakni KH Abdullah Gymnastiar atau AA Gym.
ADVERTISEMENT
Satu hal yang amat Tamara rasakan manfaatnya ketika mondok di Daqu yakni bagaimana memahami seni menjalani hidup. Suatu ketika, ia bersama para santri yang jumlahnya tak lebih dari 30 orang diminta untuk mencari orang, toko, atau siapa saja yang mau dibantu oleh mereka. Menyusuri jalanan Kota Bandung yang ramai, Tamara bersama seorang temannya pun mengunjungi sebuah toko bunga. Di sana mereka diterima untuk “bekerja” membersihkan toko. Sebagai imbalan, masing-masing diberikan sebuah tanaman oleh pemilik toko.
“Ada juga kakak kelas coba ngamen di pinggir jalan, nyanyi-nyanyi islami, terus dapet uang,” tutur Tamara mengenang pengalaman yang ternyata amat membantunya survive di manapun dan dalam hal apapun yang sedang ia kerjakan.
ADVERTISEMENT
Jumlah santri yang sedikit ditambah kurikulum yang masih fleksibel menyediakan banyak waktu bagi para santri dan asatidz/asatidzah untuk berinteraksi. Imbasanya, mereka jadi semakin dekat. Hal yang tak pernah dirasakan Tamara kala tak lagi menempuh Pendidikan di Pesantren Daqu.
Bagi para santri yang rumahnya jauh, biasanya hanya menunggu libur sekolah untuk pulang. Sementara yang dekat bisa pulang di akhir pekan. Nah, yang tidak pulang seringkali diajak rekreasi oleh para asatidz/asatidzah. Meski rumah Tamara di Sawangan, Depok, yang notabene masih terjangkau, ia kerap kali memilih tak pulang agar bisa ikutan wisata tersebut.
Dokter muda ini kini telah berkeluarga. Ia tinggal bersama suaminya, Muhammad Fahri Nugroho, tak jauh dari kediaman kedua orangtuanya. Meski begitu, kontak intensif dengan para asatidz dan teman-temannya masih terus terjalin.
ADVERTISEMENT
“Masih suka kontakan sama ustadzah, pas nikah juga banyak yang datang. Ustadzah Ami masih intens, Ustadzah Riza juga,” tutur Tamara mengisahkan dengan gembira karena di momen sakral pernikahannya, teman-teman dan gurunya itu masih menyempatkan hadir.
Sementara itu, selama mondok di Tangerang, Tamara dan kawan-kawan lebih banyak menghafal dan mengikuti ujian olimpiade. Dari situlah kemampuan Tamara dalam menghafal muncul. Tinggal di sebuah rumah sebagai asrama dan harus menempuh pepohonan bambu serta rawa-rawa untuk mencapai tempat belajar, selama 8 bulan itu Tamara berhasil menghafal 3 juz Al-Qur’an.
“Masih kebon banget ada pohon jamblang gede bagnget. Kita ada acara nobar di bawah pohon jamblang pake infokus aja. Itu ada aja, kayak bau melati, ada yang ketawa sendiri (kesurupan), suka ada perempuan di pohon tepat di atas infokusnya. Malahan ada yang bisa liat kayak gitu. Akhirnya malah jadi anaa yang berani,” cerita Tamara bagaimana keseruan saat mondok di Tangreang. Namun, karena itu jua kekeluargaan mereka makin erat.
Impian Sang Ayah Yang Mampu Diwujudkan
ADVERTISEMENT
Kini, kenangan itu sudah hampir 10 tahun berlalu. Tamara yang tengah mengandung buah hati pertamanya tengah bersiap menuju persalinan. Rencananya, ia akan menjalankan profesi sesuai penempatan oleh pemerintah selama satu setengah tahun setelah sang anak sudah agak besar.
Asam-garam sebagai “penghulu” angkatan sudah ia lewati. Tuntutan ayah untuk menjadi dokter yang sempat membuatnya stres hingga menyalahkan sang ayah pun kini sudah mencapai garis finish. Di luar itu, nasihat salah satu asatidzah selalu ia pegang kala sedang berjuang hingga menempuh kehidupan yang akan datang.
“Jangan sampai ninggalin sholat, harus semangat kalau ngafal Qur’an atau belajar apapun. Selama kita baik orang-orang akan baik ke kita,” terangnya mengikuti perkataan sang asatidzah.
ADVERTISEMENT
Selain itu, doa orangtua tentu juga jadi kunci keberhasilan Tamara. Doa mujarab terutama dari ayahnya yang sejak Tamara sekolah selalu memanggilnya dengan sebutan “Bu Dokter”. Doa spesifik yang sang ayah utarakan untuk setiap anaknya. Bahkan, selalu terucap dalam keseharian.
“Sekarang, setelah Tamara menjadi dokter, saya tetap mendoakan Tamara, ‘Ya Allah, limpahkanlah selalu rahmat, taufiq, hidayah dan pertolongan-Mu kepada Tamara. Semoga Tamara berhasil menjadi dokter spesialis Muslim yang sangat berkah dan sukses, dan berhasil mengembangkan rumah sakit dan klinik gratis untuk kaum dhuafa,” ungkap Irwan dalam tulisan di akun Facebook tempatnya mengumumkan sang anak berhasil menjadi seorang dokter.
Menyoal masuk pondok, Tamara berpesan pada para orangtua atau anak yang akan mondok agar jangan khawatir. Pasalnya, saat ini sudah bertebaran kampus, baik negeri maupun swasta, dalam maupun luar negeri, yang membuka peluang beasiswa bagi pelajar yang hafal Al-Qur’an. Dengan begitu stigma “lulusan pesantren hanya akan jadi ustadz/ustadzah” tertangkis. Ditambah, seperti yang Tamara rasakan, bahwa mondok di pesantren sejatinya mempelajari miniatur kehidupan.
ADVERTISEMENT
Ketika lulus, jangan pernah lupakan adab dan akhlak yang diajarkan pesantren. Dengan begitu, kata Tamara, mental kita untuk menempuh kehidupan yang sebenarnya dengan sendirinya akan terbangun.