Peran Diplomasi Menepis Legalisasi Penjajahan pada Konflik Israel-Palestina

Konten dari Pengguna
23 Juni 2021 11:10 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cerita Santri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Peran Diplomasi Menepis Legalisasi Penjajahan pada Konflik Israel-Palestina
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Pada Sabtu, (12/06), Pesantren Tahfidz Daarul Qur’an mengadakan acara seminar “Diplomasi Indonesia untuk Kemerdekaan Palestina” yang membicarakan isu perselisihan antara Palestina dengan Israel. Diskusi digelar di Masjid Nabawi, Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an Tangerang.
ADVERTISEMENT
Para pimpinan dan pengurus pesantren hadir, salah satunya KH Ahmad Jamil selaku Pimpinan Daarul Qur’an Direktorat Pendidikan. Selain itu, para santri tingkat SMA juga mengikuti jalannya diskusi sekaligus untuk menambah wawasan global mereka.
Materi diisi oleh Ali Andika Wardhana, seorang diplomat Indonesia yang pernah bertugas selama 4 tahun di Mesir. Ia kerap membicarakan isu Palestina-Israel di meja PBB seperti “Deal of The Century”, sebuah persetujuan yang diajukan oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Donald J Trump, dengan tujuan memutus perselisihan Palestina dengan Israel.
Deal of The Century merupakan sebuah dokumen berisi 38 halaman tentang tawaran perdamaian Israel-Palestina disertai dengan beberapa bantuan dari AS dalam bidang ekonomi dan lainnya. Deal of The Century diajukan dalam sebuah pertemuan dua hari di sebuah pulau di Teluk Bahrain bernama Four Seasons. Pertemuan ini juga digagas oleh AS.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya kesepakatan ini banyak ditentang oleh para pejuang kemerdekaan Palestina. Salah satu sebabnya karena isi kesepakatan tersebut menghendaki penyerahan sebagian wilayah Palestina pada Israel, khususnya di tanah sengketa, seperti di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Ali mengatakan, Deal of The Century ini layaknya solusi yang ditawarkan para pendahulunya, yang pada akhirnya tak memutus rantai permasalahan. Karena sejatinya, kata Ali, konflik tersebut juga menyoal isu politik, agama, serta geografis atau wilayah.
Deal Of The Century bak terlahir kembali setelah pada 2 November 1917, Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur Balfour, mengirim sepucuk surat pada pemimpin komunitas Yahudi di Inggris, Walter Rothschild. Surat tersebut menjadi cikal bakal lahirnya bibit negara Israel yang menduduki tanah Palestina, yang terkenal dengan istilah “Deklarasi Balfour”.
ADVERTISEMENT
Deklarasi Balfour menjadi pernyataan resmi pemerintahan Inggris untuk mendukung pendirian “tanah air orang-orang Yahudi” di Palestina, wilayah yang saat itu masuk dalam kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah, Turki.
Persoalan paling mendasar dari rancangan tersebut adalah ketiadaan warga Palestina dalam pembicaraan awal, diskusi rancangan, hingga deklarasi. Perjanjian itu yang acap kali digunakan sebagai landasan legal pemberian tanah Palestina pada Israel. Padahal, persetujuan global tidak pernah membenarkannya akibat dari kecacatan rancangan deklarasi tersebut.
Setelah dibuka sesi tanya jawab dengan santri, Ali mendapat beberapa pertanyaan menarik. Salah satunya terkait sikap barat yang mendukung perbuatan Israel.
Ali menjelaskan, hal tersebut karena Israel mampu menguasai teknologi serta memiliki ketaatan yang kuat pada agama Yahudi. Ali mencontohkan bagaimana perubahan yang terjadi di Gurun Sinai, yang saat ini masuk dalam wilayah pemerintahan Israel.
ADVERTISEMENT
“Dahulu, Gurun Sinai itu, ya, hanya pasir aja. Tapi sekarang di sana bisa tumbuh pepohonan,” ungkapnya. Selain pepohonan, di sana juga dibuat berbagai objek bangunan untuk kebutuhan negara Israel.
Barat juga menilai bahwa hak asasi rakyat Israel harus diperjuangkan, tanpa menengok asal-usul mengapa Israel menduduki tanah Palestina.
Menyikapi isu ini, Indonesia sudah sering menyatakan posisinya, yakni akan terus mendukung perjuangan Palestina memperoleh kembali tanah airnya. Ali juga mengungkapkan, selain dukungan berbagai pihak, kekuatan rakyat Palestina dalam berjuang ada pada Al-Qur’an yang senantiasa mereka bawa. Karena itu, Ali juga meminta para santri untuk selalu mendawami kalamullah dalam membersamai perjuangan ini.
Ali yang pernah 4 tahun menjadi diplomat Indonesia di negara Mesir juga selalu mendampingi Palestina dalam perundingan di PBB. Karena menurutnya, salah satu strategi terbaik dalam perjuangan ini yaitu dengan diplomasi yang efektif.
ADVERTISEMENT
Paparannya tentang pengalamannya menjadi diplomat itu mengundang rasa penasaran para santri. Beberapa pertanyaan dari para santri yang tertarik menjadi seorang diplomat seperti dirinya pun berdatangan.
Ali membeberkan beberapa tips untuk menjadi seorang diplomat hebat. Yang pertama tentunya mereka harus bisa menguasai bahasa internasional, yakni Bahasa Inggris dan Arab. Selain itu, seorang diplomat juga harus pandai bernegosiasi.
“Sebetulnya banyak teorinya, tapi paling gampang kalian ikut organisasi,” terangnya. Menurut lulusan Hubungan Internasional Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta ini, dalam sebuah organisasi kita akan dihadapkan oleh berbagai masalah. Cara menyelesaikan masalah itulah yang menjadi inti dari sebuah negosiasi.
Diplomasi menjadi solusi ketika terdapat dua blok besar saling berselisih. Meski membutuhkan waktu, diplomasi menjadi cara efektif menekan jatuhnya lebih banyak korban sebelum kebenaran datang.
ADVERTISEMENT
Dengan seminar ini harapannya para santri lebih mengerti pentingnya diplomasi untuk keadilan, khususnya terkait kemerdekaan Palestina. Ali mengungkapkan, seorang diplomat punya moto dalam tugasnya: “Don’t take everything for granted”. Jangan pernah anggap remeh sebuah masalah.
Penulis: Muhamad Luthfi Hakim, Santri Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an Tangerang Kelas 10