Sepanjang Mondok Tak Kerasan, Kini Malah Jadi Hafiz Alquran

Konten dari Pengguna
1 September 2022 15:07 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cerita Santri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sosok Aliya bersama kedua orang tuanya yang selalu mendorongnya menjadi hafiz Alquran.
zoom-in-whitePerbesar
Sosok Aliya bersama kedua orang tuanya yang selalu mendorongnya menjadi hafiz Alquran.
ADVERTISEMENT
Rasa-rasanya setiap anak yang baru masuk pondok di sebuah pesantren tidak akan betah sebab jauh dari orang tua. Diri yang terbiasa dilayani kini dipaksa mandiri. Namun, biasanya, tak lama waktu setelah mondok dan beradaptasi dengan lingkungannya, rasa tidak kerasan tersebut hilang. Namun, apa jadinya jika sepanjang mondok seorang santri tidak betah? Tapi di balik itu, justru bisa memperoleh prestasi menjadi salah satu santri penghafal Al-Qur’an 30 Juz.
ADVERTISEMENT
Begitu jalan cerita Aliya Atirotul Jannah, santri Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an Bandung. Anak bungsu dari dua bersaudara ini punya kakak yang juga pernah nyantri di Pondok Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Namun, nyatanya pengalaman sang kakak tetap tidak membuat Aliya, sapaannya, kerasan di pondok.
Aliya tengah bersiap memasuki tingkat SMA di salah satu sekolah yang ada di kota asalnya, Bandung, Jawa Barat. Alat tulis, seragam, hingga perlengkapan seperti sepatu dan tas sudah tersedia. Namun, tiba-tiba sang bunda menghampiri Aliya.
Bunda Aliya, sosok ibu yang selalu menginginkan yang terbaik bagi buah hatinya.
Sang bunda bukan tidak menyetujui Aliya sekolah di sekolah umum. Namun, teman sang bunda yang memiliki ide memasukkan Aliya ke pondok, seperti anaknya yang mondok di Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an Putri Cikarang.
ADVERTISEMENT
Aliya tentu terheran-heran sebab segala sesuatunya telah disiapkan untuk sekolah yang sudah menerimanya. Aliya tak lantas setuju. Dari sini juga ia sudah berpandangan tidak akan betah di pesantren karena dirinya perempuan, anak terakhir pula.
“Coba saja dulu,” begitu ujar sang bunda meyakinkan. Kalimat yang dikuatkan pula oleh sang ayah. Apa boleh buat, Aliya tak mendapat dukungan. Akhirnya ia menurut kedua orang tuanya.
Rasa tak enak hati masih menyelimuti kala Aliya mengikuti ujian masuk Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an Putri Cikarang. Karena perasaan itu pula Aliya tak maksimal mengerjakan setiap soal. Aliya pun tidak lulus pada ujian gelombang pertama tersebut.
Ayah dan bunda Aliya tetap kukuh pada pendiriannya. Akhirnya Aliya terdaftar sebagai peserta ujian masuk gelombang dua. Aliya mulai pasrah, sebab tidak ada kesempatan berputar balik. Sekolah umum yang menerimanya pun sudah menutup pendaftaran tiap gelombang.
ADVERTISEMENT
Aliya mulai serius mengerjakan soal-soal pada ujian gelombang dua tersebut. Dorongan orang tua juga mempengaruhi usahanya itu. Tapi bayang-bayang lingkungan pondok yang akan membuatnya tak nyaman terus menghantui. Aliya mencoba menghilangkannya. Ia berhasil, sejalan dengan keterangan lulus pada hasil ujian masuk gelombang kedua di Pesantren Daqu Cikarang tersebut.
Para asatidz dan asatidzah yang membimbing Aliya hingga mampu menyelsaikan hafalan Alquran.
Apa yang dipikirkan Aliya nyatanya benar terjadi. Aliya dan para santri baru memang diizinkan membawa alat komunikasi. Namun, sepanjang mondok, gawai tersebut dititipkan di kepengasuhan.
Normalnya, santri diperbolehkan menggunakan gawainya untuk berkomunikasi setiap seminggu sekali. Namun, di waktu-waktu awal mondok, para santri baru dilarang menggunakan piranti komunikasi selama satu bulan. Aliya makin tak betah.
Aliya juga dibuat kaget dengan kegiatan seharian penuh saat mondok. Pagi sekolah sampai sore, setalahnya mengaji, setelah sholat maghrib setoran bahasa, lalu malamnya kembali belajar bahasa. Ia suntuk, tapi tetap tidak ada jalan lain selain beradaptasi.
ADVERTISEMENT
Tahun pertama Aliya mampu lewati dengan segudang drama di setiap kunjungan wali santri, yang mana ayah dan bunda Aliya rutin melakukannya. Selalu terlontar kalimat tidak betah dari mulut Aliya pada sang bunda.
“Coba dulu. Kalau gak betah juga mau pindah kemana?” begitu jawab kedua orang tua Alya, kala dirinya kembali mengeluh soal rasa tidak kerasan tersebut.
Kala itu Aliya sudah masuk berada di kelas 9 SMP. Pandemi Covid-19 yang merebak memaksa setiap santri untuk pulang dan belajar dengan skema online. Aliya tentu senang bukan kepalang. Ini kesempatannya meyakinkan ayah dan bunda kalau dirinya sudah tidak mau mondok. Namun, jawaban tadilah yang keluar dari mulut kedua orang tuanya itu.
Putus asa dengan penolakan pindah sekolah dari ayah dan bunda, Aliya malah termotivasi untuk bisa beradaptasi. Bukannya tidak ada momen bahagia di pondok. Namun, kebahagiaan bersama kawan dan hangatnya sentuhan para asatidz dan asatidzah seolah sirna ketika Aliya mengingat kehidupan berkumpul bersama keluarga.
ADVERTISEMENT
Beruntung bagi Aliya. Di sisi lain, ia mampu menyalurkan energi negatif tersebut menjadi motivasi. Meski rasa tak kerasan di pondok hingga menjelang akhir tingkat SMP terus mengalir di benaknya, Aliya malah mampu menghafalkan 17 juz Al-Qur’an.
Karena bagi Alya ia tetap mempunyai tanggung jawab bersekolah. Meski mengikuti keinginan orang tua, namun ia yakin keberkahan akan mengalir jika ia menuruti keinginan orang tua tersebut.
Aliya juga tergolong anak yang cepat dalam menghafal. Saat masuk pondok, ia bukan seorang anak yang memiliki hafalan Qur’an. Hanya surat-surat pendek dan beberapa ayat penting dalam Al-Qur’an saja yang ia hafal.
Saat memasuki hafalan juz ke-15, ia diminta musrifnya (pembimbing) untuk fokus mematangkan hafalan 15 juznya, alih-alih menambah hafalan lagi. Ini dimaksudkan agar Aliya bisa mengikuti Wisuda Tahfizh Nasional atau WTN.
Tidak ada yang tidak mungkin bagi Aliya. Doa dan restu orang tua adalah yang utama.
WTN sendiri merupakan agenda rutin tahunan Direktorat Pendidikan Daarul Qur’an sebagai seremoni bagi para santri yang sudah menghafal 5, 10, 15, dan 30 juz Al-Qur’an. Di gelaran akbar ini juga dilakukan seremoni penerimaan sanad bagi para santri yang dinyatakan lulus program sanad Al-Qur’an di Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an.
ADVERTISEMENT
Tidak semua santri bisa mengikuti WTN. Pun begitu dengan santri yang sudah menghafal sesuai kategori-kategori di WTN. Mereka akan diseleksi kembali. Dan pada tahap ini, Qadarullah, Aliya dinyatakan tidak lulus.
Motivasi baru mengalir dalam darah Aliya. Ia bertekad mematangkan hafalan dan menambah hafalannya lagi. Sekali lagi, Aliya mampu mengubah energi negatif menjadi sebuah motivasi.
Mulai beranjak dewasa, Aliya kini lebih mampu beradaptasi dengan keadaan pondok. Karena itu, ia tak sesering dulu berkata “gak betah” pada ayah dan bundanya. Saat kelulusan tiba, sang bunda kembali menyarankan Aliya untuk mondok. Kali ini di cabang pesantren Daqu lain, yakni di kota kelahirannya, di Bandung.
Jarak yang dekat serta makin terbiasanya Aliya dengan lingkungan pondok membuat dirinya tidak begitu sulit menerima pinangan sang bunda. Namun, tetap saja bayang-bayang pertama kali masuk pondok berseliweran di kepalanya.
ADVERTISEMENT
Suasana pondok yang sedikit berbeda makin membantu proses adaptasi kembali Aliya. Santri yang lebih sedikit namun dengan kegiatan yang tetap padat membuat dirinya lebih leluasa mengekpresikan diri.
Kini, Aliya punya hobi baru, yakni berkutat dalam sebuah organisasi. Entah pensi, OSDAQU, panitia pengenalan lingkunagn pondok, dan lainnya. Tapi terkadang ia jengah dengan acara yang terbilang dadakan.
“Kalau yang gak suka di pesantren, kegiatan mendadak kadang bikin males gitu. Harusnya libur malah ada acara,” begitu curhat Aliya.
Rasa tak kerasan Aliya kerap muncul kala momen tersebut hadir. Namun, ia kini mencoba berusaha sendiri tanpa harus mengeluh kembali pada sang bunda atau ayahnya.
Sosok ayah begitu besar perannya dalam kehidupan mondok di pesantren bagi Aliya.
Lambat laun kebiasaan Aliya makin berbelok ke arah positif. Kedisiplinan dan tanggung jawab yang ia pelajari selama mondok mulai menular saat dirinya berada di rumah.
ADVERTISEMENT
“Sekarang lebih percaya diri ngimamin mamah sama teteh di rumah. Sholat maghrirb, isya, taraweh juga. Dulu juga susah buat beberes rumah, sekarang jadi lebih sering,” kata Aliya mengakui.
Ayah dan bundanya tentu bahagia dengan peningkatan Aliya. Selain menginginkan sang anak jadi hafihzah Qur’an, mereka pasti berharap Aliya menjadi sosok yang bermanfaat bagi banyak orang. Dan dengan jalan mondok di Pesantren Tahfizh Daarul Qur’an, keduanya telah melihat hal tersebut.
Hafalan Aliya makin meningkat. Setiap hari ia menghafal minimal 5 halaman. Awalnya ia membaca 5 halaman tersebut. Ketika proses menghafal dimulai, dengan sendirinya ayat-ayat itu menempel di ingatannya.
Aliya juga punya tips dalam menghafal Al-Qur’an. “Penting juga tahu Bahasa Arab karena ada banyak kalimat yang kita ngerti artinya jadinya lebih mudah dihafal,” ungkap Aliya. Pelajaran dirosah atau bahasa yang dulu sempat membuiatnya suntuk, kini amat membantunya dalam menghafal.
ADVERTISEMENT
Memasuki hafalan juz 19, Aliya sempat tersendat. Potongan ayat yang pendek-pendek serta kata-kata dalam kalimat di setiap ayatnya yang banyak belum ia pahami, membuat hal tersebut terjadi. Walhasil, biasanya ia mampu menghafal 1 juz dalam 4 hari, kini molor hingga seminggu.
Tak hanya sekali, tapi dua kali. Ia kembali berjumpa dengan rintangan serupa kala hafalannya masuk di Juz 23. Namun, Aliya lebih siap menghadapinya, meski ternyata waktu yang dibutuhkan tak jauh berbeda dengan menghafal juz 19. Di tahap ini, hati Aliya sempat kembali goyah.
Namun dirinya segera tersadar. Hafalannya tinggal sedikit lagi ditambah kini ia menyisakan waktu setahun dalam mondok. Kalimat “Coba lagi” dari sang bunda kembali terngiang di kepalanya. Percuma juga ia mengeluh lagi pada orang tuanya karena pasti jawaban tersebut yang akan terlontar.
ADVERTISEMENT
Waktu berlalu. Bulan Agustus 2022, Aliya dinyatakan lulus dalam tasmi’ 30 juz. Kehadiran ayah dan bunda membuat haru suasana kala itu. Linangan air mata tak kuasa mengalir dari kedua mata orang tuanya.
Tapi sejurus kemudian gelak tawa terlontar dalam suasana penuh kehangatan tersebut.
“Katanya susah? Katanya gak betah? kok bisa sampai segini?”
Aliya keheranan juga. Tapi, Allah SWT lah yang mengizinkan hal ini terjadi. Insya Allah, di WTN tahun ini nama Aliya tercantum dalam daftar peserta.
Tak kerasan selama mondok, malah membawa Aliya menjadi hafiz Alquran. Momen tersebut akhirnya hadir pada Bulan Agustus 2022.
Salah satu sosok yang juga memotivasi Aliya dalam menghafal adalah Ustadzah Jamilah, musyrif halaqohnya dahulu kala mondok di Pesantren Daqu Cikarang.
“Setelah lulus dari sini (Cikarang) kalau gak pesantren yang penting masih mengaji. Terusin hafalannya,” ungkap Aliya menirukan kalimat sang guru.
ADVERTISEMENT
Kata-kata itu ia pegang teguh. Walau rasa tidak betah kerap hadir di momen-momen krusial, perkataan itu seolah menjadi filter perasaan buruk tersebut.
Barang tentu Aliya tidak puas sampai tahap ini. Kewajiban menjaga dan mengamalkan hafalan Al-Qur’an berada di pundaknya. Di samping, ia ingin segara mengambil program sanad Al-Qur’an yang sudah tersedia di Pesantren Daqu Bandung.
Bekal belajar berorganisasi pun ingin Aliya terapkan saat masuk kuliah nanti.
“Saya kuliah mau mabil jurusan kalau gak Ilmu Komunikasi (Ilkom) atau Hubungan Internasional (HI). Itu juga saran dari mamah. Sebenarnya saya juga tertarik desain, tapi kata mamah jangan karena takut capek,” cerita Aliya yang kembali menurut keinginan sang bunda.
Pengalamannya di pondok dari berbagai aspek membuat Aliya kini lebih siap terjun dalam sebuah lingkungan baru. Dorongan orang tua disertai doa yang tak pernah terputus adalah senjata utama Aliya menghadapi lika-liku jenjang kehidupan selanjutnya.
ADVERTISEMENT