Konten dari Pengguna

Tiga Pelajaran Dari Kisah Nabi Ibrahim as dan Putranya Nabi Ismail as

9 Juli 2022 21:10 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cerita Santri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ustad Abdul Ghafur saat menyampaikan tausiyahnya
zoom-in-whitePerbesar
ustad Abdul Ghafur saat menyampaikan tausiyahnya
Alhamdulillah kami di Pesantren Daqu, melaksanakan shalat Idul Adha pada Sabtu, 9 Juli 2022. Keputusan ini diambil berdasar perhitungan hisab dari kitab Sullamunnairain yang ditulis oleh Guru Mansur, kaket buyut dari KH Yusuf Mansur, ayahanda sekaligus pendiri Daarul Qur’an. 
ADVERTISEMENT
Idul Adha kali ini sangat istimewa karena yang menjadi imam dan khatib adalah para alumni. Mereka yakni ustad Gillang Gymnastiar yang bertindak sebagai khatib dan ustad Abdul Ghafur, Lc., MA, alumni Sudan, yang bertindak sebagai khatib. 
Bagi kami para santri ini merupakan sebuah kebanggan saat lembaga kami memberikan kepercayaan kepada kami yang masih muda. 
kiai Yusuf Mansur memimpin takbir sebelum shalat
Setidaknya ada 3 pesan yang disampaikan oleh ustad Ghafur dalam ceramahnya. Mengangkat kisah Nabi Ibrahim as dan putranya Nabi Ismail as, ustad Ghafur memberikan intisari kepada para jamaah yakni: 
1. Adanya ikatan ruh yang kuat antara ayah dan anakIdul adha tidak lepas dari kisah Nabi Ibrahim as. dan anaknya Nabi Ismail as. yang menjadi cikal bakal diadakannya qurban hingga hari ini. Dikisahkan dalam Alquran, ketika Nabi Ibrahim as. tengah bermimpi untuk menyembelih anaknya sendiri, Nabi Ibrahim as. berkata:“Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!”-(QS As-Shaffat: 37)
ADVERTISEMENT
Nabi Ismail as. kemudian menjawab dengan jawaban yang tidak disangka sang ayah. “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insha allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS As-Shaffat: 37)
Kuatnya ikatan ruh ayah dan anak sebagaimana tergambar dalam dialog Nabi Ibrahim dan Ismail terjadi karena proses komunikasi yang baik antara keduanya. Nabi Ibrahim tidak mentang-mentang sebagai Ayah langsung memutuskan kehendaknya.
Sebaliknya ia bertanya terlebih dahulu, dengan nada yang sopan, kepada anaknya. Bagaimana komunikasi kita dan anak-anak kita? maka untuk hal seperti ini, nabi Ibrahim as. mengatakan “Istafti qalbaka”, tanya kepada dirimu masing-masing.
2. Tingginya rasa sabar dan tabah dalam diri Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as. Ketika datang perintah menyembelih, baik Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as, tidak ragu. Sebaliknya mereka patuh, taat dan sabar pada perintah tersebut. Perjuangan mendidik anak- anak kita tidak kalah besar dengan perjuangan nabi Ibrahim as dalam mendidik nabi Ismail as. Tugas kita sebagai orangtua untuk selalu bersabar dan tetap tabah dalam segala tantangan dalam mendidik anak.
ADVERTISEMENT
3. Adanya ketaatan dan kepatuhan seorang anak kepada ayahnyaketika Nabi Ibrahim as  mengungkapkan mimpinya kepada nabi Ismail as, tanpa pikir panjang dan seribu alasan Nabi Ismail as. langsung menjawab “Lakukanlah apa yang terjadi padamu, lakukanlah yang Allah swt katakan padamu”. 
halal bihalal seusai shalat
Dalam islam, kita memiliki empat orang tua.
1. orang tua yang melahirkan kita
2. orang tua yang menyusui kita
3. orang tua istri kita (mertua)
4. orang tua yang mendidik dan mengajar kita
Allah mengistimewakan Ismail as, diistimewakan sebagai seorang rasul karena kepatuhan dan ketaatan pada orang tuanya, karena ridho nya Allah swt juga ridho orang tua, dan murkanya allah juga murkanya orang tua. 
Ditulis oleh: Farid Adnan, santri kelas 12 Pesantren Tahfizh Daarul Qur'an
ADVERTISEMENT