BJ Habibie dan Perjuangan Pemekaran Provinsi Maluku Utara

Konten Media Partner
16 September 2019 18:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden ke-3 RI sekaligus Ketua Dewan Kehormatan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) BJ Habibie tertawa saat pembukaan Silaturahmi Kerja Nasional (Silaknas) Tahun 2017 di Istana Kepresidenan Bogor, Jakarta, Jumat (8/12/2017). Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
zoom-in-whitePerbesar
Presiden ke-3 RI sekaligus Ketua Dewan Kehormatan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) BJ Habibie tertawa saat pembukaan Silaturahmi Kerja Nasional (Silaknas) Tahun 2017 di Istana Kepresidenan Bogor, Jakarta, Jumat (8/12/2017). Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
21 Mei 1998 menjadi hari yang paling bersejarah bagi demokrasi Indonesia. Di hari itu, Presiden Suharto resmi mengundurkan diri. Jabatan yang diampu selama 32 tahun itu berpindah ke pundak Bacharuddin Jusuf Habibie, wakil presiden kala itu.
ADVERTISEMENT
Naiknya pria kelahiran Pare-pare, Sulawesi Selatan menjadi orang nomor satu di Indonesia itu nampaknya menjadi angin segar bagi daerah-daerah yang sejak lama ingin memekarkan diri.
“Pak Habibie sebagai presiden tentu punya pengaruh. Hubungannya tentu saja reformasi yang berdampak pada keterbukaan yang memberikan peluang untuk aspirasi-aspirasi daerah menjadi diakomodir,” ucap Sofyan Daud.
Sofyan Daud adalah saksi sejarah tentang perjuangan pemekaran provinsi Maluku Utara pada tahun 1999. Saat itu ia menjabat sebagai sekretaris presidium Forum Pemuda Pelajar Mahasiswa Maluku Utara (FPPM MU), organisasi yang menjadi penggerak isu pemekaran kala itu.
Bacharuddin Jusuf Habibie punya andil besar dalam tercapainya cita-cita tersebut. Sofyan berkisah, pada tanggal 17 Desember 1998 atau tujuh bulan setelah Habibie menjadi Presiden, ia bersama dengan 20 mahasiswa berangkat menuju Ibukota dengan menumpangi KM Tatamailau. Mahasiwa-mahasiswa itu tak hanya berasal dari Maluku Utara saja, namun ada juga yang dari Ambon.
ADVERTISEMENT
“Tiba di Jakarta, kami dijemput oleh pengurus Himpunan Keluarga Maluku Utara (HIKMU). Spanduk penyambutan bertulisan 'Selamat Datang Delegasi Pemuda Mahasiswa Perjuangan Pemekaran Provinsi Moloku Kie Raha (Maluku Utara)' terbentang di antara lalulintas penumpang dan penjemput yang memadati pelataran Dermaga Pelabuhan Tanjung Priok,” kenang Sofyan. Saat itu ia masih aktif sebagai mahasiwa jurusan Hukum Perdata di Universitas Khairun Ternate.
Kedatangan mereka ke Jakarta itu tampaknya disambut baik oleh pelbagai pihak, dukungan mengalir dari organisasi kemahasiswaan, seperti PB HMI, PB PMII, dan PB IMM.
Setidaknya ada delapan lembaga negara yang mesti diberikan proposal setebal tiga sentimeter terkait pemekaran tersebut, Sofyan menyebut praktik lobi yang dilakukan kala itu sebagai “Gaya Koboi”.
ADVERTISEMENT
Menteri Sekretaris Negara saat itu, Akbar Tandjung, membuka jalan bagi mereka untuk bertemu dengan Presiden Habibie. Pada kunjungan pertama ke kediaman Habibie yang terletak di Patra Kuningan, para mahasiswa itu tak berhasil menemui sang Presiden. Baru pada saat Open House Idul Fitri-lah mereka akhirnya dapat bersua.
Pertemuan itu berjalan cukup singkat, namun aspirasi yang dibawa oleh para mahasiswa itu tetap tersampaikan. Sofyan ingat, respon yang diberikan Habibie sangat positif. Habibie kemudian memerintahkan staf ahlinya yakni Prof. Jimly Asshiddiqie dan Fadli Zon untuk mendengarkan aspirasi para mahasiswa itu.
“Saat itu kan Gorontalo juga menuntut pemekaran, saya kira secara nasional atmosfirnya cukup mendukung. Pertama karena Presiden Habibie memang orangnya praktis. Sepanjang pemekaran itu memberikan dampak postif kepada rakyat ya tak masalah,” kata Sofyan.
ADVERTISEMENT
Sofyan mengatakan, tanpa adanya dukungan dari seorang pemimpin seperti Habibie tentu perjuangan pemekaran Maluku Utara akan berjalan sangat lamban.
Namun bukan berarti cita-cita pemekaran itu tak menemui kendala. Sofyan masih ingat betul waktu itu terjadi sedikit polemik ihwal kapan RUU Pemekaran Maluku Utara akan dibahas di parlemen. Beberapa pendapat menginginkan pembahasan baru dilakukan usai Sidang Umum MPR.
Namun para mahasiswa menolak ide tersebut, mereka tetap mendesak agar DPR RI segera membahas dan memutuskan nasib Maluku Utara secepat mungkin. Alasannya, mereka yakin bahwa konstelasi politik usai Sidang Umum 1999 itu akan berpengaruh kepada perjuangan pemekaran.
Atas desakan itu, kemudian dibuatlah Maklumat Rakyat Moloku Kie Raha. Ribuan masyarakat yang didominasi oleh mahasiswa turun ke jalan. Mereka melakukan aksi di depan Kantor Bupati Maluku Utara –kini menjadi gedung Wali Kota Ternate.
Forum Pemuda Pelajar Mahasiswa Maluku Utara (FPPM MU) membuat tiga butir tuntutan dalam Maklumat. Foto: RIZAL HAMANUR
Ada tiga butir tuntutan dalam Maklumat tersebut. Pertama, mereka meminta pemerintah agar segera menyerahkan RUU Pemekaran Provinsi Moloku Kie Raha ke DPR RI. Kedua, DPR RI segara membahas dan memutuskan RUU tersebut sebelum Sidang Umum MPR 1999. Ketiga, jika tuntutan tersebut tak terwujud, maka mereka meminta referendum.
ADVERTISEMENT
Poin terkait referendum, kata Sofyan, memang tak lepas dari suasana saat itu, di mana Timor Timur juga menuntut hal yang sama.
Tak hanya di Ternate, aksi juga dilakukan di Tidore guna mendesak pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah, yang saat itu dipimpin oleh Abahar Andili. Kala itu Sofyan Daud membawa 1300 orang mahasiwa ke Tidore untuk melakukan aksi. Desakan tersebut bahkan diwarnai dengan mogok makan selama satu minggu di Ternate.
Fase transisi dari Orde baru memang menjadi momentum yang ingin dimanfaatkan oleh para mahasiswa dalam gerakan pemekaran tersebut.
“Sebagai tokoh yang sangat demokratis dan berani mengambil kemungkinan-kemungkinan yang lebih baik dari Orde Baru yang secara teoritik disebut sebagai Frozen Democracy, Pak Habibie kan melakukan banyak terobosan, otonomisasi, regulasi pemilu dan segala macam,” kata Sofyan.
ADVERTISEMENT
“Hal itulah yang menurut kami menjadi ruang yang sangat bagus untuk bisa dimanfaatkan. Sehingga dari hasil kajian kami saat itu menuntut untuk bergerak lebih cepat dari komponen formal di daerah. Bahkan komponen formal di daerah hanya menyesuaikan dengan gerakan kami,” imbuhnya.
Perjuangan pemekaran itu kemudian menemui hasil manis. Pada 4 Oktober 1999, Habibie menandatangani persetujuan pemerintah terkait UU No 49 tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru, dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Dengan begitu, secara resmi Maluku Utara menjadi provinsi sendiri.
Enam belas hari setelah meneken UU tersebut atau tepatnya tanggal 20 Oktober 1999, Habibie melepas jabatannya sebagai Presiden. Ia memilih tak mencalonkan diri setelah laporan pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR.
ADVERTISEMENT
---
Reporter: Rizal Syam