Cerita Fahri, Penjaga Pulau Tulang dari Bahaya Sampah Plastik

Konten Media Partner
16 Agustus 2020 8:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pulau Tulang di Tobelo, Halmahera Utara. Foto: Faris Bobero/cermat
zoom-in-whitePerbesar
Pulau Tulang di Tobelo, Halmahera Utara. Foto: Faris Bobero/cermat
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hujan baru saja reda. Di langit, bintang mulai Nampak. Malam itu, saya menuju Pulau Tulang. Tak jauh dari pusat Kota Tobelo, Halmahera Utara. Hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari 5 menit, menggunakan perahu bermesin ketinting, untuk sampai ke pulau itu.
Malam hari di Pulau Tulang. Foto: Ipang Mahardhika/ jalamalut.
Di Pulau kecil yang daratannya hanya berukuran 80 meter di sebelah utara dan 20 meter di sebelah timur dan barat itu, saya bertemu dengan Fahri Lolahi (24 tahun).
Foto udara Pulau Tulang yang berdekatan dengan pelabuhan Tobelo. Foto: Faris Bobero/cermat
Ari saat menunjukan plang tentang bahaya sampah plastik. Foto: Faris Bobero/cermat
Ari adalah sarjana strata satu Ilmu Politik di Universitas Muhammadiyah Maluku Utara. Ia bercerita, awal mula membangun lokasi wisata Pulau Tulang, pulau peninggalan Almarhum kakeknya itu. “Sekira delapan bulan mulai membangun lokasi ini,” ungkapnya.
Ari bersama Kevin, pemuda berusia 17 tahun asal Pulau Kumo. Ia bekeja membawa perau ketinting. Mereka bersahabat dan bertakat membangun Pulau tulang, dan memberikan edukasi tentang bahaya sampah plastik. Foto: Faris Bobero/cermat
Pada Awal Februri 2020, Ari dan kakanya, Fami Lolahi mulai membangun Pulau itu. Mereka memanggil beberapa teman yang juga aktif mengelola Rumah Baca Sepijar di Dufa-Dufa, Tobelo. Tempat mereka tinggal, tak jauh dari Pulau Tulang.
Salah satu anak saat mandi di pantai Dufa-Dufa Tobelo. Di daerah tersebut, masyrakat membangun rumah panggung, sejak lama. Faris Bobero/cermat.
Ari berkisah, sejak dahulu, Dufa-Dufa menjadi tempat bertemunya masyarakat antar pulau. Mereka saling memberi hasil panen. Bahkan, anak-anak dari Pulau Kumo, Kakara, mempunyai orangtua angkat di Dufa-Dufa, sebab mereka bersekolah di Kota Tobelo.
Sertiap sore hari, di Dufa-Dufa terlihat aktivitas pemuda di sana bersampan. Foto: Faris Bobero/cermat
Dufa-Dufa begitu heterogen. “Orang-orang dari pulau menjalin hubungan kekeluargaan di sini. Ada yang menjadikan anak dan orangtua angkat. Hubungan seperti ini sudah sejak lama. Dari zaman orang tua kita,” kata Ari.
ADVERTISEMENT
Ari menceritakan ketakukannya, jika pembangunan atau reklamasi akan terjadi di Dufa-Dufa, maka akan menghilangkan rekam jejak kehidupan orang laut di sana.
Pulau Tulang. Foto: Faris Bobero/cermat
Semangat mereka membangun destinasi wisata di Pulau Tulang adalah agar pemerintah daerah melihat, ada potensi kelautan yang harus dikelola secara baik. Tak harus reklamasi menjadi arah pembangunan ekonomi.
Badan Pusat Stastistik Tahun 2016 mencatat, Halmahera Utara merupakan kabupaten bahari, terletak di timur Indonesia, berbatasan dengan Samudera pasifik, memiliki 216 pulau. Luas keseluruhan mencapai 22.507,32 km2 (22%) dan lautan 17.555,71 km2 (78%).
Pulau Kumo yang berdekatan dengan Pulau Tulang. Foto: Faris Bobero/cermat
Dari Dufa-Dufa Tobelo, selain Pulau Tulang, beberapa pulau bisa diakses dengan mudah seperti Pulau Pawole, Rarangane, Tolonuo, Kakara, bahkan akses ke Kabupaten Pulau Morotai. Pulau dengan sejarah Perang Dunia ke dua.
ADVERTISEMENT
Melihat potensi itu, Ari bertekat membangun wisata pulau. Selain itu, Ari juga memberikan edukasi pada pengunjung tentang bahaya sampah plastik. “Saya buka internet. Cari edukasi tentang bahaya sampah. Di situ, saya pun belajar,” ungkapnya.
Ari pun membuat sistem untuk mahasiswa dan pelajar, jika berkunjung ke Pulau Tulang, cukup membayar karcis masuk menggunakan sampah botol plastik.
Suasana di Pulau Tulang. Foto: Faris Bobero/cermat
Dari karcis sampah botol plastik, Ari dan teman-temanya membangun dasar bangunan menggunakan botol plasktik sebanyak 5024 botol dicampur semen. Bangunan rumah bertingkat dua itu juga berbahan kayu beratapkan seng. Di lantai dua, Ari membuat satu kamar untuk pengunjung yang akan menginap. Juga membuat semacam teras, yang akan ditaru beberapa buku, untuk dijadikan perpustakaan di pulau itu.
ADVERTISEMENT
Sebelum Ari tinggal di pulau kecil itu, dulunya, tak sedikit orang mencari ikan dan habitat laut lainnya dengan cara illegal. Akibat dari itu, banyak terumbu karang yang rusak. Meski begitu, masih ada endemik yang hidup di situ, seperti hiu berjalan atau walking shark.
Pulau Pawole, salah satu destinasi wisata yang kami kunjung setelah dari Pulau tulang. Butuh waktu sekira 20 menit lebih menggunakan perahu ketinting ke pulau ini. Foto: Faris Bobero/cermat
“Kalau kita mancing ikan, sering dapat hiu berjalan. Kami lepas. Hiu jenis ini bisa kita temu di sebelah kiri pulau ini, hingga ke pulau tetangga, Pulau Kumo,” ungkapnya.
Pagi tiba, Selasa (13/8), beberapa orang terlihat berdatangan. Ada yang berswafoto. Ari tak meminta karcis masuk. Ia hanya menaru dus bertuliskan ‘Karcis Sukarela, untuk lab. Sampah Plastik’.
Suasana malam hari di Pulau Tulang. Foto: Ipang Mahardhika/jalamalut
Saya melihat, beberapa pengunjung hari itu tak ada satupun yang menaruh uang di dus tersebut. Hingga sore hari, pengunjung terus berdatangan. Ada yang duduk berlama-lama, hingga larut malam. Mereka memesan pisang goreng untuk disantap. Ari menyediakannya.
ADVERTISEMENT
Sore itu, beberapa keluarga pun datang. Ada yang membawa anak-anak. Membawa makanan ringan dari luar. Saya melihat mereka membuang botol plastik bekas minuman, ke laut. Ari dan kawan-kawan selalu mendapati itu.
Ari saat bermain ukulele sambil bercerita tentang pulau tulang. Foto: Ipang Mahardhika/jalamalut
“Sungguh. Edukasi tentang bahaya sampah memang berat. Butuh waktu lama dan kesadaran bersama,” ungkap Ari.
Ari bilang, ia sudah bertemu beberapa teman, yang kuliah di luar Maluku Utara. Katanya, temannya itu tahu mendaur sampah plastik menjadi bahan bakar minyak. “Kami akan membuat bahan bakar dari plaktik,” kata Ari.
Membantu Dagangan Para ibu
Sabtu dan Minggu adalah hari yang paling ramai dikunjungi pengunjung. Beberapa ibu-ibu di Dufa-Dufa bahkan menitipkan dagangan mereka untuk dijajakan di Pulau Tulang. Ada yang menitipkan jagung rebus hingga rujak.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, Ari tak meminta imbalan dari hasil dagangan para ibu-ibu. Bahkan, jika jagung dijual dengan harga Rp8 ribu. Ari akan menaikkan harganya jadi Rp10 ribu. “Dari hasil jualan, para ibu kasih uang untuk membeli cet Rp1000 rupiah,” ungkapnya.
Menjadikan spot foto bertaburan bintang malam di Pulau Tulang. Foto: Ipang Mahardhika/jalamalut
“Hari Sabtu dan Minggu adalah hari paling ramai dikunjungi. Sekira 20 lebih orang akan datang ke sini,” tambahnya. Dalam sehari, jika terus ramai, Ari bisa mendapat Rp1 juta bahkan lebih, dari hasil berdagang pisang goreng dan minuman seperti kopi, teh, dan lainnya.
Memang, masih banyak kekurangan soal membangun pulau tersebut. Ari mengaku akan terus belajar mengembangkan pariwisata yang berbasis lingkungan.
Ia bahkan membangun jaringan antar orang muda dari berbagai pulau. Ia memulainya dengan pemuda yang berada di Pulau Kumo, tak jauh dari Pulau Tulang. Di sana, mereka memulainya dengan membuat rumah baca, mengkampanyekan literasi, dan menyelamatkan pulau-pulau dari ancaman abrasi.
ADVERTISEMENT