news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Cerita Menghidupkan Kembali Tenun Tidore (1)

Konten Media Partner
1 Juli 2019 10:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Salah seorang penenun sibuk menyelesaikan kain tenun pesanan konsumen. Foto: Olis/cermat
zoom-in-whitePerbesar
Salah seorang penenun sibuk menyelesaikan kain tenun pesanan konsumen. Foto: Olis/cermat
ADVERTISEMENT
Berbekal Semangat, menenun pun menjadi kegiatan sehari-hari di Rumah Tenun Puta Dino Kayangan Tidore, di Kelurahan Soasio, Kota Tidore Kepulauan, Provinsi Maluku Utara.
ADVERTISEMENT
Saat ini, kerajinan itu mampu bertahan berkat kegigihan 7 orang laki-laki dan 5 orang perempuan.
Mereka adalah Desi Ramla M. Nur, Sri Wahdania Sangadji, M. Nur Usman, Renaldi Ridwan, Meianisaa Odesila, Herlina Ridwan, M. Riyan Dj Thaib, Mustaiyn Rahmat Agung, Fatahi Is Mahmud, M. Noval Mahmud, Sada, Abdul Aziz, dan Rizkha Pritami.
Rumah Tenun Puta Dino Kayangan Nfofa Tidore. Foto: Olis/cermat
"Kalau jumlah relawan banyak, tara (tidak) bisa hitung," ucap Anita, sapaan karib Boki Anita Gatmir, sosok yang mempelopori aktivitas tenun ini.
Kepada cermat, Minggu (31/6), Anita mengaku berupaya menjaga tradisi tenun ini sebagai bentuk tanggung jawab kebudayaan. "Karena Puto Dino sempat hilang sekitar seratus tahun lalu," ujarnya.
Saat ini, kata M. Nur Usman, aktivitas menenun di Rumah Tenun Puta Dino Kayangan Tidore sudah berjalan hampir 2 tahun.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanannya, kearifan lokal Tidore lebih ditonjolkan. "Karena hilang, maka kami coba mengembalikan lagi," ujar Om Nu, sapaan akrab M. Nur Usman.
Menurut dia, para tetua kerap menggunakan pelepah pohon sebagai bahan dasar untuk melukis motif. "Kalau motif Tidore itu bercirikan gambar mahkota," katanya.
Sedangkan kualitas benang, kata Renaldi Ridwan, Rumah Tenun Puta Dino Kayangan Tidore mengunakan kapas.
Sebab beberapa kain tenun tidak 100 persen dari tetumbuhan. "Rata-rata dicampur bahan lain. Kalau kami murni kapas," katanya.
Alat tenun yang tersedia di Rumah Tenun Puta Dino Kayangan Nfofa Tidore. Foto: Olis/cermat
Renaldi bilang, jika beberapa daerah lain bermotif hewan, semisal ikan di Maluku Tengah, kuda di Nusa Tenggara Timur, maka Maluku Utara sangat minim mencerminkan simbolik hewan sebagai motif pada kain tenun.
"Kebanyakan mensimbolisasikan air, gunung, tapi itu tidak sama persis. Jadi metaforanya justru lain," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Nilai di antara Pilihan Warna Tenun Tidore
Di awal menenun, mereka sempat berkonsultasi ke tokoh adat di Kedaton Kesultanan Tidore. Tujuannya untuk mencari tahu, bagaimana bentuk pakaian orang - orang terdahulu.
"Jadi saat itu ada pertanyaan, zaman dulu orang pakai kain yang bagaimana, dorang (mereka) jawab ya kain," katanya.
Namun itu belum mengobati rasa penasaran. Sebab ada alasan tertentu yang terus meneror benak pikiran mereka.
"Karena kemajuan sebuah kerajaan ditandai dengan budaya fashion yang maju. Jadi saya pikir ada sesuatu yang putus di sini," ujar Anita.
Lantas Anita dan ke 12 penenun tersebut tidak menyerah. Mereka bertanya ke beberapa tetua. Saat itu, para tetua menyebut Dino. Pun dari situ terdapat beberapa orang yang tidak menyebut Puta. "Ternyata sebutan lengkapnya Puta Dino," katanya.
Rumah Tenun Puta Dino Kayangan Nfofa Tidore. Foto: Olis/cermat
Puta, kata Anita, adalah kain. Sedangkan Dino kata dasarnya Din, yang berarti menjahit atau menganyam. "Jadi misalkan bahasa Tidore bilang, 'oro puto lah din', itu artinya ambil kain untuk jahit. Kalau sebutan 'o' di belakang itu ejaan saja," terangnya.
ADVERTISEMENT
Dalam menenun, pesan para tetua, tidak boleh serampangan menggunakan varian warna. Hal ini kembali memicu rasa penasaran mereka. "Setelah ditelusuri, ternyata di Tidore ini, warna juga mengandung arti dan nilai spiritual," katanya.
Lagi-lagi terbentur pada persoalan ini. Mereka pun berupaya mencari tahu ke beberapa tetua yang paham atas perihal ini. "Saat itu saya perlihatkan salah satu contoh warna. Jadi saya tanya, apakah ini bisa, mereka bilang tidak bisa," katanya.
Ternyata, kata Anita, warna yang mengandung nilai spiritual tidak bisa satu unsur, tapi harus dipadukan dengan warna lain. Salah satunya putih atau merah.
Aktivitas di Rumah Tenun Puta Dino Kayangan Nfofa Tidore. Foto: Olis/cermat
Sebab sebuah marga di Tidore menandakan status sosial. Nyatanya, persoalan warna juga berlaku demikian. “Jadi warna ini untuk marga ini, warna ini untuk marga ini, begitu," terangnya.
ADVERTISEMENT
Setelah dipadukan antara hitam dan putih, hitam dan merah, hasil kain tenun mereka pun diterima. "Karena secara spiritual kami harus menghormati itu. Tidak boleh asal bikin," katanya.
Sementara, M. Riyan Dj Thaib mengaku, saat ini terdapat beberapa kain tenun yang diproduksi diluar dari ciri ke-Tidore-an. Seperti bermotif purba, motif lama, dan motif yang dikembangkan.
"Yang dikembangkan itu diluar dari konteks kepercayaan tadi, seperti gambar cengkeh dan pala. Termasuk motif tuan guru yang ada di Afrika sana," kata Anang, sapaan karib M. Riyan Dj Thaib.
Sekadar diketahui, di Afrika Selatan terdapat sosok penting penyebar Islam yang berasal dari Tidore. Dia adalah Imam Abdullah Kadi Abdus Salaam (1712-1807), yang dikenal dengan sebutan Tuan Guru.
ADVERTISEMENT
"Kebetulan kami sempat lihat gambar salawaku-nya (perisai), jadi akhirnya kami coba mengimplementasikan ke dalam motif tenun," katanya.
Saat itu, kata Anang, ada hal menarik saat menggambar motif tuan guru tersebut. Kebetulan Bams yang merancang. Saat itu, gambar tidak pernah jadi selama beberapa hari.
"Padahal itu digambar di atas kertas, dan itu hal yang paling mudah. Tapi tidak pernah jadi. Bams coba bermeditasi, salat, Alhamdulillah berhasil," ujar Anang. (Olis)
Lanjut bagian dua: