Kekerasan Seksual di Malut Tak Bisa Diselesaikan Secara Kekeluargaan

Konten Media Partner
12 Desember 2019 13:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Peserta diskusi publik "Lawan Rape Kulture di Kota Ternate" menunjukkan stop kekerasan terhadap perempuan dan anak. Foto: Rizal Syam/cermat
zoom-in-whitePerbesar
Peserta diskusi publik "Lawan Rape Kulture di Kota Ternate" menunjukkan stop kekerasan terhadap perempuan dan anak. Foto: Rizal Syam/cermat
ADVERTISEMENT
Tindak kekerasan seksual yang belakangan marak terjadi di Maluku Utara (Malut), menarik perhatian dari sejumlah pihak.
ADVERTISEMENT
Nurdewa Syafar, Ketua Harian Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), menegaskan, setiap kekerasan seksual semestinya dibawa ke ranah hukum.
"Kalau kasus pemerkosaan, itu tidak ada kata untuk penyelesaian. Harus diselesaikan pada tingkat peradilan hukum. Karena itu adalah pidana murni yang tak bisa diselesaikan secara non litigasi. Harus diselesaikan secara litigasi. Karena ini adalah kejahatan kemanusiaan," tegas Nurdewa usai diskusi publik di JMG Cafe, lingkungan BTN, Kelurahan Maliaro, Ternate Tengah, Kamis (11/12/2019).
Diskusi publik yang diberi tajuk "Lawan Rape Culture di Kota Ternate" itu, dihadiri oleh sejumlah lembaga/organisasi perempuan. Dua Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPA), yakni Khadijah Tukuboya sebagai kadis PPA Kota Ternate dan Musrifa Alhadar yang merupakan Kadis PPA Maluku Utara, turut hadir dalam diskusi tersebut.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), lanjut Nurdewa, yang mana tujuannya untuk mengharmonisasikan kembali keluarga yang berkonflik. Kasus pemerkosaan wajib menempuh jalur hukum.
"Jadi kita lihat, kasus pelanggaran hak perempuan di dalam konteks rumah tangga itu, ada yang bisa diselesaikan ada yang tidak bisa diselesaikan. Karena tujuan besarnya itu mengharmonisasikan keluarga itu," jelasnya.
"Tapi kalau kasus pemerkosaan, itu tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Perintahnya harus diselesaikan pada tingkat peradilan hukum," tegasnya.
Menurut Nurdewa, selama tahun 2019 ini, ada 21 kasus terkait kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak yang ditangani P2TP2A. 7 di antaranya sudah tahap putusan.
Tak hanya terfokus pada kasus hukumnya saja, lanjut Nurdewa, P2TP2A juga intens mendampingi korban dalam menghilangkan rasa trauma. Caranya, diberikan penanganan oleh tenaga psikolog, sehingga psikis kembali pulih dan dapat kembali ke tengah masyarakat.
ADVERTISEMENT
Sementara, Kadis PPA Maluku Utara, Musrifa Alhadar mengakui, dari angka kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak, jenis kekerasan seksual berada pada posisi teratas.
Musrifa berkomitmen akan terus menekan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Ia mengklaim, saat ini telah ada para aktivis di tiap kelurahan dan desa yang akan membantu Dinas PPA, dalam hal mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak.
"Kita sudah aktifkan seluruh Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) yang merupakan gabungan antara LSM, tokoh masyarakat, dan tokoh agama, untuk sama-sama mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak di lingkungannya masing-masing," tandasnya.