Kisah Korban Gempa Maluku Utara, Bertahan di Hutan Meski Patah Tulang

Konten Media Partner
17 Juli 2019 13:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Yanti Haer, korban gempa yang patah tulang kaki kanan, mendapat pengobatan tradisional saat mengungsi di hutan. Foto: Faris Bobero/cermat.
zoom-in-whitePerbesar
Yanti Haer, korban gempa yang patah tulang kaki kanan, mendapat pengobatan tradisional saat mengungsi di hutan. Foto: Faris Bobero/cermat.
ADVERTISEMENT
Yanti Haer, korban gempa patah tulang di bagian kaki kanan asal Desa Tomara, Kecamatan Gane Timur Tengah, Halmahera Selatan, Maluku Utara, masih bertahan di lokasi pengungsian. Ia dan 163 korban lainnya kini masih mengungsi di hutan yang jaraknya sekitara 300 meter dari desa.
ADVERTISEMENT
Yanti mengatakan, saat gempa 7,2 magnitudo mengguncang kampungnya pada Minggu (14/7), ia sedang memilah buah cengkeh, sementara putrinya yang berusia dua tahun berada di kamar.
Salah satu bapak korban gempa di Desa Tomara sedang menidurkan anaknya di tenda pengungsian di hutan. Foto: Faris Bobero/cermat.
“Saat itu saya berlari menyelamatkan anak saya. Tiba-tiba bangunan runtuh, kena kaki kanan saya. Saya teriak-teriak minta tolong. Namun orang sudah tidak ada,” ungkap Yanti ketika ditemui cermat di hutan, Selasa (16/7).
Meski begitu, beberapa saat kemudian, salah satu saudara Yanti datang menolong. “Saya dibawa menggunakan gerobak, kemudian digendong ke hutan,” ungkap Yanti.
Saat ini, sudah terhitung empat hari warga Desa Tomara menyebar di 11 titik lokasi pengungsian di hutan dengan membangun tenda seadanya.
Kondisi warga Desa Tomara saat mengungsi di hutan. Foto: Faris Bobero/cermat.
Ketika ditemui cermat, kaki kanan Yanti sedang diobati menggunakan ramuan tradisional berupa daun dan pelepah pohon kelapa untuk menahan kaki yang patah. Ia mengaku sudah didatangi tim medis dari pemerintah. Namun, ia memilih bertahan dengan pengobatan tradisional karena kesulitan berjalan.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, warga lainnya di lokasi pengungsian mengaku enggan kembali ke rumah, karena hampir sebagian rumah di desa mereka runtuh. Bahkan, akses jalan retak dan jembatan menuju dermaga pun ambruk. Saat ini, warga mulai kesulitan makan, air bersih, dan obat-obatan.
Salah satu rumah warga Desa Tomara, yang ambruk. Foto: Faris Bobero/cermat
Ulil Halil, Kepala Desa Tomara, mengaku saat ini mereka baru terima bantuan lima buah selimut dari pemerintah. Ia pun sudah mulai khawatir sebab banyak bayi, anak-anak, dan lansia yang masih bertahan di hutan akibat rumah mereka runtuh.
“Memang kami memerlukan selimut, terutama obat-obatan. Kalian lihat saja kondisi di sini. Jika malam bagaimana,” ungkap Ulil.
Jembatan laut di Desa Tomara yang retak akibat gempa 7,2 magnitudo mengguncang Halmahera Selatan. Foto: Faris Bobero/cermat
Irma, salah satu pedagang di Babang, Halmahera Selatan, mengaku saban harinya mereka merasakan gempa. “Setiap pagi ada gempa. Khawatir pasti. Namun mau bagaimana lagi. Kondisi sudah begini,” ungkap Irma.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, BMKG Maluku Utara mencatat sudah 103 kali gempa susulan terjadi setelah gempa 7,2 magnitudo mengguncang Halmahera Selatan hingga Rabu (17/7).
Kepala BMKG, Kastoro Hariyatmoko, mengatakan kekuatan gempa susulan (aftershock) tersebut berkekuatan mulai dari 3,1 hingga 5,9 magnitudo.