Laut, Bahasa, dan 'Igi' dalam Puisi-puisi Ibrahim Gibra

Konten Media Partner
12 Desember 2019 18:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sesi pemberian buku untuk para peserta. Foto: Rajif Duchlun/cermat
zoom-in-whitePerbesar
Sesi pemberian buku untuk para peserta. Foto: Rajif Duchlun/cermat
ADVERTISEMENT
Ibrahim Gibra akhirnya meluncurkan antologi puisi pertamanya. Buku berjudul “Karang Menghimpun Bayi Kerapu” ini dibedah langsung Hasan Aspahani, pemenang Anugerah Hari Puisi Indonesia 2016.
ADVERTISEMENT
“Imaji laut yang ada dalam karya ini berbeda dengan imaji laut yang ada pada karya-karya lain. Laut dalam karya Ibrahim Gibra ini sangat personal, kesannnya, pengalamannya,” ujar Hasan dalam sesi bedah yang digelar di Hotel Velya Ternate, Kamis pagi (12/12).
Peluncuran dan bedah buku ini sendiri dibuat oleh Kantor Bahasa Maluku Utara bersama Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Khairun (Unkhair) Ternate.
Hasan, yang juga penerima Anugerah Sastra Badan Bahasa 2018 itu mengatakan puisi-puisi yang berada di dalam buku sebagian besar bertema laut dan masa lalu seorang Ibrahim Gibra.
Ibrahim Gibra, nama pena dari Prof Gufran A Ibrahim, bahkan disebut Hasan sebagai penyair yang menyamar menjadi profesor. Ia sangat metaforis menulis masa kecilnya.
ADVERTISEMENT
“Puisi-puisi ini membuat saya berhak menikmatinya dengan sepersonal mungkin. Dan setiap orang saat menemukan puisi-puisi ini mereka juga berhak menikmatinya,” ucap Bang Acang, sapaan akrab yang disematkan Ibrahim kepadanya.
Foto bersama usai peluncuran buku. Foto: Rajif Duchlun/cermat
Menurut dia, kata-kata lokal yang dipakai Ibrahim menambah pengetahuan bahasanya. “Banyak kata-kata di sini, memperkaya bahasa saya. Seperti kata ‘babubu’ yang berarti mandi hujan. Satu kata ‘babubu’ saja bisa menjelaskan kalimat mandi hujan,” ungkapnya.
Mengenai bahasa lokal, menurut Kepala Kantor Bahasa Maluku Utara, Syarifuddin, buku ini sangat membantu pihaknya dalam mengusulkan bahasa dari Maluku Utara untuk masuk dalam KBBI.
“Dari antologi puisi beliau (Ibrahim) sangat membantu kami. Karya-karyanya luar biasa. Kami tentu memberikan apresiasi atas karya ini,” kata Syarifuddin.
ADVERTISEMENT
Ibrahim sendiri mengaku, sebagian besar puisi-puisi yang ada di buku ini terinspirasi dari pengalaman hidupnya semasa masih bersama kakeknya di Waigitang, Halmahera Selatan. Ibrahim kecil memang banyak menghabiskan waktu bersama kakeknya di laut.
“Masa kecil ikut tanam dan tarik igi (alat tangkap) di laut. Pengalaman dengan arus, dengan ombak, dengan aroma karang, menyelam, dan seterusnya. Pengalaman-pengalaman itu di usia saya yang sudah 50-an ini, saya putar kembali dan menuliskannya,” tuturnya.
Karya puisi ini, kata dia, dibuat pada rentang tahun 2013 hingga 2018. Namun, hampir 90 puisi dari 100 puisi yang ada di dalam buku ini dibuatnya pada 2018. Tingkat produktivitas semakin meningkat, diakuinya saat ia bekerja di Jakarta, sebagai Kepala Pengembangan dan Perlindungan Bahasa dan Sastra di Kemendikbud.
ADVERTISEMENT
“Andaikan saya tidak ke Jakarta dan andaikan saya tidak berinteraksi dengan teman-teman dari badan bahasa dan para sastrawan di Jakarta, saya kira mungkin saja, sajak-sajak itu tidak akan lahir. Dari situlah gairah semangat menulis saya ada lagi, setelah sempat terhenti sejak 2002,” tutur Mantan Rektor Unkhair masa jabatan 2009-2013 ini.
Ia menambahkan, tidak semua puisi di dalam buku yang diterbitkan Jual Buku Sastra (JBS) ini mengangkat tema laut. “Ada juga sajak tentang kegalauan kota,” katanya.
Suasana bedah yang dipandu Wildan Andi Mattara, dosen FIB Unkhair itu, sempat hening dalam beberapa menit, saat pada sesi bertanya, seorang perempuan bernama Aida Radar, mencoba menafsirkan arti dari judul buku.
Aida yang juga dikenal sebagai seorang cerpenis ini mengatakan kata ‘karang’ dipahaminya sebagai ibu yang sedang menghimpun—merangkum bayi kecilnya. Sebagaimana sosok ibu yang menjaga hingga membesarkan anaknya.
ADVERTISEMENT
“Saya saat ini sedang punya anak, masih bayi. Saat membaca ini, saya membayangkannya, bagaimana seorang ibu yang menghimpun anaknya, merawatnya,” kata Aida, suaranya sempat terhenti, seperti sedang menahan kesedihan. Benar saja, bola matanya berkaca-kaca kala terus berusaha menafsirkan makna judul buku ini.
Suara riuh tepuk tangan para peserta di forum itu seketika memberinya kekuatan. Aida lalu berusaha menuntaskan kalimatnya dengan suara parau.
Bedah yang berlangsung sekitar tiga jam lebih ini ditutup dengan pemberian buku untuk para peserta yang sempat bertanya. Selain itu, bagi peserta yang bagian bawah tempat duduknya terdapat kupon, turut mendapat buku.