Menelusuri Jejak Komunitas Tionghoa di Ternate

Tim cermat
Cerita Maluku Utara | Partner Kumparan 1001 Media Online
Konten dari Pengguna
6 Februari 2019 14:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tim cermat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menelusuri Jejak Komunitas Tionghoa di Ternate
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Sebagai pulau yang sedikit banyak mengubah wajah dunia dengan kekayaan rempahnya, wajar jika Ternate memiliki masyarakat yang heterogen. Namun, tak seperti di beberapa kota pesisir di Pulau Jawa dan wilayah lainnya, sampai saat ini belum ditemukan bukti sahih kapan tepatnya komunitas Tionghoa menginjakkan kaki di Ternate.
ADVERTISEMENT
Maulana Ibrahim, akademisi sekaligus pemerhati pusaka Ternate, menyebut bahwa dalam sebuah penelitian yang ia lakukan, terdapat bukti bahwa komunitas China sudah ada di Ternate pada titimangsa 1300-an.
“Saya tidak tahu tepatnya kapan, tapi sekitar 1300-an itu komunitas Tionghoa sudah ada di sini (Ternate). Artinya, itu kan sebelum kolano terakhir menjadi sultan,” Kata Maulana, Selasa (5/2).
Sedangkan dalam sebuah artikel yang ditulis oleh dosen Sejarah Universitas Khairun Ternate, Irfan Rahmat, disebutkan bahwa pada abad ke-18 tercatat ada sekitar 500 orang Tionghoa yang sudah mendiami Ternate.
Namun, boleh jadi jauh sebelum itu para etnis Tionghoa yang merupakan pedagang internasional ini sudah mampir di kaki Gamalama. Dalam buku Hoakiau di Indonesia, Pramoedya Ananta Toer secara yakin mengatakan bahwa sejak Dinasti Sung (960-1279) sudah ditemukan berita-berita terkait kegiatan perniagaan bangsa Tionghoa di laut Nusantara.
ADVERTISEMENT
Tak berlebihan jika kemudian ada anggapan kalau pada tahun itu bangsa Tionghoa juga sudah mendiami Pulau Ternate, mengingat kedudukannya sebagai episentrum rempah dunia. Mereka datang dan kemudian mengisi posisi dalam struktur sosial yang dibiarkan lowong oleh masyarakat pribumi. Dalam hal ini adalah kedudukan sebagai kelas menengah pedagang yang cukup kuat waktu itu.
Awalnya, menurut Maulana, para pedagang Tionghoa ini hanya datang membeli rempah dan kemudian kembali lagi ke wilayah mereka.
“Waktu itu, jangan kira mereka seperti pedagang sekarang, yang datang besoknya langsung pulang. Saat itu pelayaran sangat bergantung pada arah angin. Jadi, para pedagang Tionghoa ini menunggu arah angin berbalik agar bisa kembali ke tanah mereka. Dan itu membutuhkan waktu sampai lebih dari enam bulan,” ujar pendiri komunitas Ternate Heritage Society (THS) itu.
ADVERTISEMENT
Waktu yang cukup panjang untuk menunggu arah angin itu dimanfaatkan para pedagang untuk tetap memperoleh keuntungan. Saat itu, para pedagang tak hanya datang membeli rempah semata, tetapi mereka juga membawa berbagai macam barang-barang untuk dijual.
Kedatangan VOC dan Upaya Mengontrol Pedagang Tionghoa
Pada masa awal, pedagang asal Tionghoa ini hanya mendiami pesisir pantai Ternate. Mereka membuat semacam gubuk sederhana yang kemudian dipakai sebagai kediaman untuk menunggu waktu kembali ke wilayah asal. Namun seiring waktu, kedatangan VOC mengubah peta perdagangan di Nusantara, wabil khusus di Ternate, dengan monopoli yang mereka terapkan.
Tak seperti pedagang sebelumnya, VOC datang dengan persenjataan lengkap. Para pedagang Tionghoa lantas ditempatkan di sebuah lokasi yang sudah disediakan oleh VOC. Tak hanya di Ternate, kebijakan wijkenstesel ini diberlakukan di setiap wilayah jajahan mereka.
ADVERTISEMENT
Wijkenstesel sepintas memang terlihat baik, bahwa VOC menyediakan wilayah tinggal dengan alasan agar para pedagang Tionghoa gampang melakukan proses perniagaan. Namun di balik itu, ada wajah khas penjajah, di mana kebijakan tersebut dilakukan juga demi keuntungan VOC itu sendiri. Dalam artian, para etnis Tionghoa ditempatkan dalam suatu wilayah hanya agar mereka gampang dikontrol.
“Berbeda dengan China Town di berbagai negara, yang mana mereka bangun sendiri. Di Indonesia, khususnya di Ternate, mereka ditempatkan oleh VOC untuk kepentingan monopoli. Agar setiap tingkah laku etnis Tionghoa ini bisa diawasi kompeni,” kata Maulana.
Menurut Pramoedya, Wijkenstesel biasanya dibikin dekat dengan benteng utama VOC. Sebab, bagi Perusahaan dagang asal Belanda ini, China adalah saingan dalam hal perniagaan, sehingga penting untuk dikontrol. Tak heran, jika kemudian dalam Hoakiau di Indonesia Pram menulis, “..perkampungan China selalu dekat dengan jangkauan meriam”. Hal ini bisa dilihat dari lokasi Kampung China yang berada tepat di sebelah selatan Benteng Oranje.
ADVERTISEMENT
VOC memandang kedua bangsa (pribumi dan Tionghoa) ini sama-sama belum memiliki nasionalisme. Jadi, penting untuk dipisahkan. Hal inilah yang kemudian melahirkan kebijakan Wijkenstesel tersebut.
Asimilasi kedua bangsa ini dianggap dapat memperburuk proses monopoli VOC. Pada masa itu, etnis Tionghoa kerap kali dijadikan sebagai kambing hitam demi kelancaran dagang VOC. Maka dari itu, tak mengherankan jika Pram menyebut bahwa baik pribumi maupun Tionghoa, sama-sama korban imperialisme Belanda.
Asimilasi Budaya
Walau berada di dalam pengawasan ketat VOC, akan tetapi asimilasi budaya komunitas Tionghoa dengan masyarakat Ternate berjalan sangat kental. Hal itu bisa dilihat dari serapan bahasa. Beberapa diksi yang dipakai sampai hari ini merupakan serapan dari Bahasa China.
ADVERTISEMENT
Penyebutan ‘Ci’ untuk tante atau ‘Ko’ untuk paman/om adalah bukti paling terang bagaimana akulturasi terjadi. Selain itu, ada pula penyebutan ‘Fang’ untuk uang.
Dalam busana pernikahan pun sama. “Jika kita perhatikan, busana pernikahan wanita Ternate itu identik sekali dengan aksen China. Ada rumbai-rumbai yang dipasang menutupi wajah mempelai wanitanya. Persis seperti di Betawi, karena kedua daerah ini punya hubungan yang sama erat dengan komunitas China,” ujar Maulana saat ditemui Cermat.
“Kemudian soal marga. Di Kampung Makassar sekarang, kita tahu ada marga yang masih punya garis dengan komunitas Tionghoa. Ada Can misalnya, dan Bopeng,” tambahnya.
Proses asimilasi ini berjalan cukup intens. Menariknya, kedua etnis ini saling menghargai satu sama lain. Hal ini terlihat dari tradisi Hela Kereta yang biasa dilakukan oleh keluarga Tionghoa setiap menyambut Tahun Baru Imlek.
ADVERTISEMENT
Hela Kereta adalah perayaan di mana seorang anak kecil Tionghoa menaiki sebuah kereta untuk kemudian diarak keliling kampung. Di kereta tersebut dipasangi buah-buahan yang diperuntukkan bagi masyarakat.
Selain itu, kata Maulana, para komunitas Tionghoa ini kerap kali mengundang tetua lokal yang beragama Islam untuk terlibat dalam acara mereka. Misalnya untuk pembacaan doa penyembelihan kambing, dilakukan oleh orang muslim.
Bahkan, masih menurut Maulana, ada hal yang tidak diketahui banyak orang bahwa kepala tukang bangunan Kadaton Kesultanan Ternate adalah orang China. Makamnya berada di bagian belakang Kadaton.
Dalam strukur Kesultanan Ternate pun ada jabatan yang diberikan khusus untuk etnis Tionghoa, Kapita China namanya, yang bertugas sebagai Pemimpin Komunitas China.
ADVERTISEMENT
***
Sikap saling menghormati satu sama lain yang ditunjukkan oleh kedua bangsa ini patut dirawat baik-baik. Bahwa komunitas Tionghoa, secara tidak langsung, sudah menjadi bagian penting dalam lembar sejarah Ternate. Hanya saja, dinamika politik kiwari yang sedikit banyak memengaruhi proses asimilasi tersebut.
“Tradisi Hela Kereta berhenti karena situasi pasca-tragedi 65,” kata Maulana mengutip ucapan salah satu tetua komunitas Tionghoa.
---
Penulis: Rizal Syam
Editor: Faris Bobero