Menelusuri Kehidupan PSK di Ternate

Konten Media Partner
14 Mei 2019 14:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi transaksi prostitusi. (Foto: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi transaksi prostitusi. (Foto: Shutterstock)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menjelang sahur, di salah satu lorong di Bastiong Talangame, Ternate, Maluku Utara, tampak dua perempuan duduk disinari lampu jalan seadanya, menunggu sambil menawarkan jasa mereka.
ADVERTISEMENT
"Di sini Rp 150 ribu. Short time. Itu sekaligus dengan (biaya) kamar," tutur Bella (bukan nama sebenarnya), salah satu perempuan, sembari menunjuk salah satu kamar di lantai dua kos-kosan, yang tak jauh dari lokasinya mangkal.
Minggu (12/5) cermat mencoba menelusuri cerita mereka dengan hadir di tengah dua wanita itu. Bella mulai mengajak. “Kemampuan duit berapa?” tanya Bella.
"Saya kasih Rp 120 ribu sudah. Itu so (sudah) murah itu. Dari pada ngana (kamu) dapat yang (harga) Rp200 ribu-Rp300 ribu," tutur Bella menggoda.
Bella merinci, tarif kamar untuk sekali short time Rp 25 ribu. Sedangkan sisanya masuk ke kantongnya. Di lokasi ini, tidak ada muncikari atau germo. Harga yang dipatok bervariasi. "Paling mahal itu Rp 300 ribu," katanya.
ADVERTISEMENT
Bella berujar agar berhati-hati dalam memilih pasangan kencan. Sebab, sudah ada beberapa yang diduga terjangkit penyakit menular seperti HIV-AIDS.
Bella mengaku, akan menyiapkan alat kontrasepsi berupa kondom, jika pelanggan membutuhkan. "Jadi santai saja nyong (panggilan untuk pria remaja di Ternate)," ucap Bella.
Sepekan lalu, Pemerintah Kota Ternate telah mengeluarkan imbauan terkait aktivitas selama Ramadan. Selain menutup aktivitas pengelolaan rumah makan pada siang hari, juga menutup tempat hiburan malam selama Ramadan.
Namun, dugaan praktik prostitusi masih bebas. Salah seorang warga setempat berinisial SF, kepada cermat, mengatakan praktik prostitusi di tempat tersebut tidak ada perantara. Segala bentuk tawar-menawar hingga berujung sepakat berlangsung di tempat. Termasuk kamar.
Bahkan, kata dia, para PSK di sini nekat beroperasi di siang hari. Namun, jejak mereka sulit terlihat. Selain dilakukan secara sembunyi-sembunyi, penginapan atau kos-kosan tempat mereka 'melampiaskan hasrat' berdempetan dengan rumah warga.
ADVERTISEMENT
Dari amatan, nyaris sulit dipetakan, mana wisma, penginapan, kos-kosan, dan rumah warga. Saat malam hari, kehadiran para pekerja seks baru nampak sekitar pukul 23.00 WIT.
"Dorang/mereka (PSK) baru pulang menjelang salat subuh," ujar SF.
Ilustrasi PSK Foto: Helmi Afandi/kumparan
Terjepit Kebutuhan Ekonomi
Malam itu, sekitar 6 perempuan duduk berjejer di pojok kiri emperan rumah tokoh, yang tak jauh dari lokasi salah satu Bank Unit Bastiong, Ternate Selatan.
Beberapa di antaranya mondar-mandir menyapa pengendara roda dua yang melintas. Cermat mengajak salah satunya bercerita.
Moni (bukan nama sebenarnya) terlebih dahulu membuka harga. "Sekali shot time Rp 250 ribu. Itu sekaligus dengan biaya kamar, tarifnya Rp 25 ribu," tutur perempuan yang mengaku tinggal di Kelurahan Toboko, Ternate Selatan ini.
ADVERTISEMENT
Harga yang dipatok Moni sedikit lebih mahal dibanding yang lain. Menyentil perbedaan harga itu, Moni bilang, ini soal usia.
"Yang so (sudah) tua-tua itu memang Rp 100ribu," tutur perempuan yang mengaku baru berusia 25 tahun ini.
Moni bilang, dalam beraktivitas, pemilik penginapan bekerjasama dengan mereka. Rata-rata pemilik penginapan berasal dari luar Maluku Utara.
"Kamar memang disiapkan untuk torang (kami) begitu (berhubungan)," tutur Moni.
Saat berbincang, jemari kanan dari janda anak dua ini, tak berhenti mengapit rokok. Ia mengaku canggung kalau bercerita tanpa mengisap rokoknya.
"Saya begini (jadi PSK) karena saat suami saya kerja di Sanana, ternyata nikah di sana. Torang dua (kami berdua) sudah berpisah sejak 1 tahun lalu. Jadi saya stres," tutur Moni, berkisah.
ADVERTISEMENT
Dia mengaku terbebani dengan kebutuhan ekonomi serta dua anaknya yang masih kecil. "Anak-anak juga pe (punya) kemauan banyak sekali. Jadi terpaksa saya kerja begini," paparnya.
Memilih terjun di dunia hitam, tak membuat Moni merasa risih. Semua ia sembunyikan dari anak dan keluarganya. Terutama kedua orang tua.
"Ada yang kenal biasa tegur, 'ngana (kamu) bikin apa di sini', saya cuma bilang tunggu teman. Makanya saya agak lat (larut malam) baru keluar," tuturnya.
Beroperasi di Bulan Ramadan tak membuat dirinya khawatir. Sebab tidak ada larangan dari siapapun. "Pernah sih dilarang sama pak RT, tapi setelah itu dibiarkan," ungkapnya.
“Sudah, itu ngoni (kalian) punya rejeki. Mencari sudah, tapi jangan buat keributan," tuturnya, menirukan pak RT.
Ilustrasi prostitusi. Foto: Basith Subastian/kumparan
Moni bilang, di penginapan tidak hanya rekan-rekannya, tetapi ada juga perempuan dari luar. Bahkan kedok mereka disiasati dengan mengenakan hijab.
ADVERTISEMENT
"Dorang (mereka) pake jilbab. Cadar. Tutup muka (wajah). Datang sendiri naik motor. Masuk di dalam kamar, so ada laki-laki di dalam. Saya tahu semua itu," tuturnya.
Di tengah perbincangan, Moni tiba-tiba melompat dari bangku, lalu membungkuk dan mengambil secarik kertas warna hijau. Dikiranya duit pecahan Rp 20 ribu. "Ternyata karcis pas masuk pelabuhan, hehe," Moni tersenyum.
Sejak 2 jam menunggu, Moni mengaku belum ada satu pun pria yang datang menyapa. Moni bilang, di setiap Ramadan, jumlah pelanggan berkurang. Berbeda dengan hari biasa.
"Kalau hari biasa satu malam bisa dapat Rp 500 ribu, dipotong biaya kamar. Tapi kalau pelanggan minta kurang, paling ya Rp 225 ribu. Jadi Rp 200 ribu saya punya, Rp 25 ribu untuk kamar," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Moni bilang, di lokasi ini tidak ada muncikari, germo, atau oknum-oknum tertentu yang bertugas membekingi aktivitas mereka.
"Semua inisiatif dari torang (kami) sendiri," tuturnya.
Kendati tak dapat memastikan berapa angka pasti jumlah PSK yang beroperasi di wilayah terpadat ini, namun ia memperkirakan di atas belasan orang.
"Rata-rata dari Bitung, Manado, Jawa, dan Ternate sini sudah. Tapi itu campuran juga," ungkapnya.
---
Penulis: Olis Editor: Faris Bobero