Nasib Peternak Ayam Potong di Ternate

Tim cermat
Cerita Maluku Utara | Partner Kumparan 1001 Media Online
Konten dari Pengguna
15 Februari 2019 16:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tim cermat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Salah satu lokasi ternak di Kelurahan Sasa, Ternate Selatan. Foto: Rajif Duchlun
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu lokasi ternak di Kelurahan Sasa, Ternate Selatan. Foto: Rajif Duchlun
ADVERTISEMENT
Peternak ayam broiler atau ayam potong di Ternate, Maluku Utara mengeluh tingginya biaya produksi. Mahalnya biaya produksi itu membuat beberapa peternak nyaris gulung tikar, bahkan ada yang mengaku sudah tidak dapat melanjutkannya lagi.
ADVERTISEMENT
Jumat (15/2) siang, cermat bertandang ke Gambesi Jaya, salah satu agen ayam potong terbesar di Ternate, tepatnya di Kelurahan Gambesi. Ono, seorang pekerja di agen tersebut mengaku, biaya produksi yang mahal memang kadang membuat peternak sering merugi. “Harga pakan sekarang saja mahal. Sering rugi. Rp450.000 per karung atau 50 kilo,” Kata Ono.
Gambesi Jaya, agen ayam potong di Ternate. Foto: Rajif Duchlun
Pakan tersebut didatangkan dari luar Maluku Utara (Malut), yakni dari Surabaya dan Makassar. Ono bilang, proses pengiriman pakan juga cukup lumayan lama, menggunakan kapal, yang memakan waktu sekiranya sebulan lebih. Selain masalah pengiriman, juga mengenai waktu proses produksi pakan.
Sementara itu, bibit ayam per ekor atau biasa disebut dengan Day Old Chicken (DOC), kata Ono, saat ini dijual di Ternate kisaran Rp14.500. Harga DOC yang diambil dari Manado, Makassar atau Surabaya kisaran Rp12.000. “Tapi sekarang bibit ayam susah, kosong,” katanya.
ADVERTISEMENT
Kesulitan Mengakses Pasar
Fandi, salah satu pemuda dari Kelurahan Kastela, Ternate Pulau, yang pernah menjalankan usaha ternak ayam potong, saat dihubungi, bercerita, ketika masih menjalankan usahanya, ia kesulitan mengakses pasar.
Tiba masa panen, ia hanya menjual ke agen ayam potong dengan kisaran Rp32.000 hingga Rp35.000 per ekor. Dan biasanya pihak agen menjual ke pasar dengan harga berbeda atau bisa lebih dari harga itu.
Masalahnya, Fandi mengaku, pihak agen kadang membeli sebagiannya saja. Sehingga sebagian ayam yang belum laku terjual harus terus diberikan pakan. “Agen ayam ambil sedikit-sedikit saja, makanya kalau sampai waktu panen tapi ayam belum habis rugi, karena kasih makan terus,” ujarnya.
Ketika pakan habis, ia bersama kelompok ternak lain biasa mencari alternatif dengan membuat pakan sendiri dari bahan lokal. Hanya saja, menurutnya, itu pun kadang proses produksi pakan yang dibuat tidak berjalan maksimal.
ADVERTISEMENT
Fandi berharap, pemerintah daerah mesti menjawab keluhan maupun masalah pasar yang kerap dihadapi para peternak kecil di Ternate.
Sulasmi, dosen Peternakan di Fakultas Pertanian Unkhair, mengatakan, bahwa peternak kecil menengah memang sulit mengakses pasar. Sebab pasar di Ternate rata-rata bergantung pada ayam beku yang didatangkan dari luar Malut.
Selain itu, diakuinya, tingginya harga pakan dan stok DOC yang jarang didapat akhir-akhir ini juga membuat para peternak kesulitan menjalankan usahanya. “Kita masih bergantung pakan dari luar, karena memang diproduksi dari laur. Apalagi belakangan, bibit itu susah,” jelasnya.
Ia mengaku, sempat mengantongi beberapa data peternak di Kelurahan Sasa, Ternate Selatan, yang sebenarnya cukup banyak, hanya saja, beberapa tahun terkahir, sebagiannya mulai gulung tikar.
ADVERTISEMENT
Data yang dikantongi itu berkisar 22 peternak. Sebagian besar memelihara 200-300 ekor. Saat ini, kata Sulasmi, yang masih menjalankan dan bertahan hanya separuh dari itu. “Sudah jarang lihat ya, memang agak susah jalankan usaha ternak,” ujarnya.
---
Rajif Duchlun