Orang Tongole di Ternate Bertahan Hidup dengan Air Tege-Tege

Konten Media Partner
19 Maret 2019 20:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kru cermat saat melihat Orang Tongole secara swadaya, membuat aliran air dari Air Tege-Tege ke pemukiman. (Foto: Rajif Duclun/cermat)
zoom-in-whitePerbesar
Kru cermat saat melihat Orang Tongole secara swadaya, membuat aliran air dari Air Tege-Tege ke pemukiman. (Foto: Rajif Duclun/cermat)
ADVERTISEMENT
Air Tege-Tege, salah satu titik mata air di Ternate, Maluku Utara, memang sudah cukup familiar. Kendati begitu, tidak banyak yang tahu kondisinya saat ini.
ADVERTISEMENT
cermat mendatangi sebuah pemukiman di lereng Gunung Gamalama, Kelurahan Tongole, Ternate, pada Selasa (19/3). Berada 600 meter di atas permukaan laut (mdpl), pemukiman ini sejak dahulu tak dialiri air oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
Kampung ini memang memiliki sumber mata air sendiri. Air yang bersumber dari lereng gunung api aktif, sejak dahulu sudah digunakan warga Tongole. Warga menyebutnya “Air Tege-Tege”. Dalam bahasa Ternate sendiri, “Tege-Tege” dapat diartikan sebagai “menetes” atau “air jatuh”.
Jauhar A Mahmud, Ketua RW, yang juga tokoh masyarakat Tongole ketika bercerita pada kru cermat, soal bagaimana menjelaskan proses aliran air Tege-Tege ke pemukiman. (Foto: Rajif Duchlun/cermat)
Berkendara dari pusat kota ke Tongole sekira hanya 10 menit. cermat tiba pukul 15.20 WIT. Sesampainya di pemukiman, sempat bertanya ke beberapa warga posisi mata air. Mereka mengarahkan untuk bertemu lebih dulu dengan Ketua RT 06.
ADVERTISEMENT
Tidak sulit menemukan rumahnya. Tepat di depan rumahnya, terdapat sebuah papan bertuliskan “Ketua RT 06”. Ketika masuk, cermat disambut baik sembari diminta duduk oleh dua perempuan paruh baya. Tak lama, ketua RT, Safrin Sabtu, keluar dan menyapa.
Safrin kemudian mengajak cermat ke rumah Ketua RW, sosok yang menurut Safrin banyak mengetahui cerita mengenai air Tege-Tege. Jauhar A Mahmud, namanya. Benar saja, saat tiba di rumahnya, yang berjarak hanya 50 meter itu, banyak informasi yang didapat darinya.
Jauhar mulai memperkenal dirinya dan mulai menceritakan sumber mata air warga Tongole itu. Ia bilang, Tongole ditempati sekira 300 lebih kepala keluarga. Sementara, yang masih menggunakan atau mengonsumsi Air Tege-Tege, berkisar 200 lebih kepala keluarga.
ADVERTISEMENT
“Karena RT 01, mereka dapat air dari PDAM. Sementara yang berada di ketinggian, menggunakan air yang bersumber dari Air Tege-Tege,” ujarnya.
Jauhar bercerita, air ini memang sejak zaman dulu tidak hanya dinikmati warga Tongole saja, melainkan mencukupi kebutuhan air sebagian warga Ternate. Tepat saat masuknya bangsa Belanda di Ternate.
“Air ini dikelola sejak zaman Belanda. Dan itu dibuktikan dengan bak besar peninggalan Belanda. Saat itu Belanda membangun bak tersebut dan mengaliri air hingga ke pusat kota untuk melayani aktivitas pemerintahan,” tuturnya.
Salah satu bak penampung yang dibuat Belanda. Bak ini dulunya mengaliri air hingga ke pemukiman kota. Foto diambil dari atas bak induk yang juga peninggalan Belanda. (Foto: Rajif Duchlun/cermat)
Menurut Jauhar, sekira tahun 1970-an, debit Air Tege-Tege cukup besar. Bahkan, saking besarnya debit air, bunyi aliran air terdengar hingga ke pemukiman warga. “Tapi sekarang debitnya menurun. Saya tidak tahu apa penyebabnya,” tuturnya dengan nada sedih.
ADVERTISEMENT
Ia pernah mengusulkan ke Pemerintah Kota Ternate, agar segera mencari jalan untuk memperbaiki sumber mata air. Usulan itu dijawab dengan dibuatkan sejumlah bak kecil, tepat di sisi mata air, dan satunya lagi berada di dekat pemukiman.
Bak yang berada di sisi mata air berfungsi sebagai tangkapan rembesan air hujan. Sementara bak yang dibangun di dekat pemukiman sebagai bak kontrol. Bak kontrol sendiri sebagai bak penampung air yang dialiri dari bak induk.
Hanya saja, menurut Jauhar, semua bak yang dibangun itu belum dapat difungsikan. Sebab belum dilakukan serah terima dari pemerintah ke warga Tongole untuk mengelola.
“Rencananya akan ada serah terima dari pemerintah ke warga. Pembicaraan awalnya, proyek ini diberikan kepada warga yang mengelola. Tapi sampai sekarang belum jalan. Sehingga warga secara swadaya menggunakan pipa seadanya saja, yang penting bisa menikmati air,” katanya.
ADVERTISEMENT
Proses serah terima itu, diakuinya, dimaksudkan agar pemerintah tidak lepas tangan terhadap pengelolaan air bersih yang bersumber dari Air Tege-Tege. Harus ada yang mendampingi. Sehingga pengelolaannya dapat dilakukan secara serius dari sumbernya.
“Mungkin perlu ada perhatian dari pemerintah, karena sumber air ini juga bersejarah. Bila perlu harus membuat kajian-kajian dan penelitian untuk mengembalikan debit air seperti dulu lagi,” ujarnya.
Jauhar kemudian mengajak cermat ke lokasi mata air. Sekira 100 meter dari rumahnya. Berada di bantaran hutan Tongole, kondisi mata airnya cukup memprihatinkan. Tidak seperti dulu lagi. Debit airnya benar-benar menurun.
Jauhar bilang, dulu meskipun saat kemarau panjang pun, debit Air Tege-Tege tetap banyak. Sementara sekarang, kendati sering hujan, penggunaan air tersebut mesti diatur. Bahkan dialiri ke pemukiman secara bergiliran saat debit air berkurang. “Ya semoga ada perbaikan saja,” pungkasnya.
ADVERTISEMENT
---
Rajif Duchlun, Rizal Syam